Juristokrasi Mahkamah Konstitusi

ADVERTISEMENT

Kolom

Juristokrasi Mahkamah Konstitusi

Helmi Chandra SY - detikNews
Rabu, 08 Mar 2023 13:00 WIB
Gedung Mahkamah Konstitusi
Foto: Ari Saputra
Jakarta -
Jika merasa tidak puas terhadap UU ini, silakan uji ke Mahkamah Konstitusi (MK). Seperti itu kalimat yang sering didengar dalam beberapa tahun terakhir dari pemerintah dan DPR sebagai pembentuk UU. Kalimat tersebut terucap atas respons dari banyaknya penolakan masyarakat terhadap produk legislasi, seperti UU KPK, UU Cipta Kerja hingga UU KUHP. Situasi ini membuat MK menjelma menjadi penyelesaian akhir dari tanggung jawab menciptakan UU yang baik.

Tidak jarang, bahkan MK dijadikan hanya sebagai jalan pelarian oleh pembentuk UU untuk meloloskan UU yang ditolak masyarakat tersebut. Dampaknya, MK melalui putusannya turut mempengaruhi hal-hal politis dalam kebijakan negara. Kondisi MK yang ikut mengambil peran pembentuk UU ini dapat disebut sebagai juristokrasi (juristocracy) di tubuh MK.

Rans Hirschl dalam bukunya yang berjudul Toward Juristocracy: The Origins And Consequences Of The New Constitutionalism menuliskan bahwa fenomena juristokrasi terjadi akibat amandemen terhadap konstitusi sebuah negara yang secara tidak langsung juga telah mengalihkan kekuasaan lembaga perwakilan ke lembaga peradilan.

Untuk Indonesia tentu dengan dibentuknya MK sebagai peradilan konstitusi. MK menjadi turut serta dalam pengambilan kebijakan penting seperti hak asasi manusia, pemilu dan kebijakan negara lainnya, bahkan seringkali harus berseberangan dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh pembentuk UU karena dianggap bertentangan dengan konstitusi.

MK yang diberikan kewenangan untuk menilai konstitusionalitas norma juga menjadi aktor penentu, terutama dalam memainkan peranannya dalam menguji suatu UU terhadap UUD 1945 terkait kebijakan publik hingga urusan politik. Kewenangan untuk mengadili persoalan politik ini kemudian mengubah MK layaknya sebuah institusi politik (political judicialization). Padahal MK tidak mendapat mandat langsung dari rakyat dalam pemilu seperti DPR atau Presiden.

Rachel Sieder dalam paper-nya yang berjudul Cultures of Legality: Judicialization and Political Activism in Latin America menyebutkan bahwa kondisi ini sesungguhnya tercipta karena dua aspek berbeda yang saling berkaitan. Pertama, karena munculnya MK yang terpisah dari Mahkamah Agung sebagai pemangku kekuasaan kehakiman. Kedua, karena meningkatnya penggunaan hukum secara pragmatis oleh berbagai aktor politik; hal inilah yang tampaknya sedang terjadi di Indonesia saat ini.

Contoh paling sempurna dapat dilihat dari keberadaan Perppu Cipta Kerja saat ini, di mana secara historis berawal dari disahkannya UU Cipta Kerja oleh DPR dan pemerintah. Produk legislasi ini kemudian diprotes oleh masyarakat karena dianggap dibentuk tidak sesuai ketentuan dan tanpa partisipasi publik. Akibatnya, UU Cipta Kerja kemudian digugat ke MK dan dinyatakan cacat secara formil. Namun MK dalam putusannya masih memberi waktu selama dua tahun kepada pembentuk UU untuk dapat memperbaikinya. Tindakan ini seakan jalan kompromi dari MK agar UU tersebut masih bisa diberlakukan.

Putusan MK tersebut ternyata tidak ditaati oleh pemerintah dengan mengeluarkan Perppu Cipta Kerja yang isinya sama persis dengan UU Cipta Kerja. Sekali lagi masyarakat protes dan dijawab oleh pemerintah jika tidak puas silakan uji di MK. Kepercayaan diri pembentuk UU untuk selalu menyuruh masyarakat yang tidak puas terhadap sebuah UU ke MK tentu beralasan. Selain dapat mengalihkan sorotan dan protes, tindakan ini dilakukan juga karena MK dianggap dapat melegitimasi UU yang diinginkan secara paksa oleh pembentuk UU.

Apalagi independensi hakim MK seringkali diganggu, seperti melakukan penambahan masa jabatan hakim, mengganti hakim dalam masa jabatannya hingga yang terbaru ada dugaan pemalsuan isi putusan oleh oknum di MK. Padahal kemerdekaan kekuasaan kehakiman bukan hanya terkandung pengertian bahwa hakim harus bebas dari pengaruh eksekutif dan legislatif, tetapi bebas juga dari segala bentuk tekanan. Artinya, kekuasaan kehakiman yang merdeka harus bebas dari intervensi politik dan bebas menegakkan keadilan. Tanpa kemerdekaan sebagai mahkota maka hakim tidak akan mungkin mampu menegakkan hukum dan keadilan.

Paradigma Judicial Activism


Juristokrasi di tubuh MK semakin diperparah oleh pergeseran paradigma hakim MK melalui judicial activism. Istilah judicial activism pertama kali diperkenalkan oleh Arthur Schlesinger pada Januari 1947 dalam Majalah Fortune. Paradigma ini selalu dilekatkan dalam konteks di mana hakim membuat aturan hukum (judges making law) dalam putusannya. Para hakim di pengadilan konstitusi menggunakannya sebagai kontrol atau pengaruh terhadap pembentuk UU.

Hal ini dapat dilihat secara teoretik, hubungan MK dengan pembentuk UU adalah hubungan antara positive legislature dan negative legislature. Pemahaman MK sebagai negative legislature merujuk pada kewenangan MK "membatalkan" UU yang bertentangan dengan norma UUD. Sedangkan DPR berfungsi sebagai pembuat UU (positive legislature). Jadi dalam konstruksi itu, di samping ada positive legislature yakni organ negara pembuat UU, ada juga negative legislature yaitu organ negara yang berwenang membatalkan UU dalam hal ini adalah MK.

Paradigma judicial activism di MK sesungguhnya akibat adanya perkembangan konsep mengadili yang diambil oleh hakim MK dari sekadar menjalankan hukum yang prosedural menjadi hukum yang bersifat substantif. Paradigma hakim MK ini menitikberatkan mengenai bagaimana seorang hakim menemukan keadilan substantif dengan cara memberikan perlakukan yang adil terhadap hak dan kewajiban.

Dalam konteks Indonesia saat ini dapat disimpulkan bahwa judicial activism dapat terjadi setidaknya karena tiga faktor. Pertama, faktor persaingan antarpartai politik sehingga menyebabkan kegaduhan. Akibatnya, para politisi akan selalu membawa permasalahan tersebut ke pengadilan untuk mendapat putusan yang adil. Saat hal itu terjadi maka MK mau tidak mau harus terseret ke dalam ranah politik untuk memberikan perbaikan substantif melalui putusan yang dibuatnya.

Kedua, faktor kepercayaan masyarakat kepada MK. Faktor ini dapat terjadi jika masyarakat sudah kehilangan rasa percaya terhadap pembentuk UU karena banyak kebohongan dan kegaduhan yang diciptakan. Maka dari itu MK dianggap menjadi satu-satunya lembaga yang dipercaya masyarakat untuk memutus perkara secara adil untuk masyarakat.

Ketiga, faktor paradigma berpikir hakim MK. Apabila hakim MK sudah mulai dominan menuju hukum progresif yang mementingkan keadilan substantif dibanding keadilan prosedural, maka dapat dikatakan judicial activism sudah mulai diterapkan dalam peradilan di MK. Namun hal ini perlu diawasi, sebab jika paradigma judicial activism diterapkan berlebihan oleh MK, boleh jadi banyak kepentingan politik praktis menyertainya. Akibatnya MK terjebak dalam fenomena juristokrasi yang dapat mengubah MK menjadi hanya sekadar tukang stempel kepentingan oknum politik semata.

Helmi Chandra SY dosen Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta, peneliti Pusat Kajian Bung Hatta Anti Korupsi (BHAKTI)

(mmu/mmu)


ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT