Penundaan pemilu seharusnya tidak dapat diputuskan oleh Pengadilan Negeri melalui sengketa keperdataan, sebab prinsip dalam putusan sengketa perdata hanya mengikat para pihak yang berperkara (inter parties) dan tidak diperkenankan untuk berdampak luas pada pihak yang tidak bersengketa di pengadilan (erga omnes).
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst yang menentukan penundaan/pengulangan pelaksanaan tahapan pemilu menjadi 2 tahun, 4 bulan, 7 hari pasca pembacaan putusan tersebut merupakan ketentuan yang didasari pada argumentasi yang dangkal dan sesat fikir (logical fallacy). Sebab, pelaksanaan pemilu baik persiapan, pelaksanaan, dan penyelesaian hasil pemilu tidak hanya mengenai urusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Partai Prima semata, melainkan seluruh Partai Peserta Pemilu 2024.
Secara faktual Putusan PN Jakarta Pusat yang baru-baru ini menentukan penundaan pemilu telah menghidupkan kembali optimisme publik terhadap adanya upaya beberapa pihak yang mencoba untuk menunda Pemilu 2024, seperti yang pernah dikemukakan oleh Mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana. Oleh karenanya, sudah menjadi hal yang lumrah ketika berbagai akademisi mencoba mengkritisi putusan tersebut.
Isu penundaan pemilu bukan hanya sebatas permasalahan persengketaan (keperdataan) dua pihak atau lebih, melainkan juga terdapat permasalahan konstitusionalitas. Artikel ini secara sistematis dan sederhana mencoba menjelaskan mengapa penundaan pemilu tidak dapat dilakukan dalam konteks saat ini. Lebih lanjut, tulisan ini akan terfokus pada pembahasan isu hukum yang berkelindan dengan putusan PN Jakarta Pusat sehubungan dengan dikabulkannya gugatan dari Partai Prima.
Memahami Gugatan
Permasalahan mengenai penundaan pemilu yang diputus (vonis) PN Jakpus bukanlah suatu peristiwa hukum yang berdiri sendiri. Dalam sengketa tersebut Partai Prima memang mendasari gugatannya terhadap KPU karena telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) dengan menetapkan Partai Prima sebagai pihak yang Tidak Memenuhi Syarat (TMS) berdasarkan Sistem Informasi Partai Politik (SIPOL) dalam verifikasi administrasi, sehingga berdampak tercoret sebagai peserta Pemilu 2024.
Namun demikian, sebelum gugatan di PN Jakpus, Partai Prima telah mengajukan upaya administratif kepada Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dan telah mendapatkan putusan berupa diberikan kesempatan untuk melakukan perbaikan verifikasi data persyaratan. Namun kendati telah diberikan kesempatan oleh KPU, hingga batas waktu yang ditentukan, akhirnya KPU tetap menjadikan Partai Prima sebagai Pihak yang TMS.
Dalam perspektif Partai Prima, hal tersebut merupakan bentuk pembangkangan terhadap putusan Bawaslu, sebab kendati telah diberikan kesempatan berdasarkan putusan Bawaslu, namun perbaikan yang lazimnya dapat dilakukan melalui SIPOL justru secara praktis tidak memudahkan dan cenderung tidak fleksibel, alhasil dirinya tetap dinyatakan TMS oleh KPU.
Dengan ditetapkannya status TMS yang kedua, akhirnya Partai Prima mengajukan upaya hukum kembali kepada Bawaslu dan dinyatakan tidak dapat diterima karena hal tersebut sudah pernah diajukan, sehingga upaya berikutnya yang ditempuh adalah dengan mengajukan gugatan administrasi kepada Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) dengan objek sengketa berupa Berita Acara verifikasi administrasi.
Namun demikian, gugatan tersebut tidak diterima oleh PTUN Jakarta melalui proses dismissal dan dinyatakan bukan merupakan kewenangan PTUN Jakarta. Alhasil upaya terakhir yang dilakukan Partai Prima berlabuh pada PN Jakpus sebagai peradilan residual yang dinilai berwenang menangani sengketa tersebut.
Dari berbagai rangkaian alur sengketa yang ditempuh oleh Partai Prima terlihat bahwa hal tersebut secara substansi merupakan sengketa administrasi yang justru secara praktis diadili melalui sengketa keperdataan dalam Pengadilan Negeri. Hal ini terlihat ketika PN Jakpus dalam berbagai pertimbangannya merujuk pada putusan Bawaslu serta prinsip kecermatan dalam Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB).
Pertimbangan Konstitusional
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, ketentuan mengenai program, jadwal dan tahapan pemilu ditetapkan oleh KPU, yang secara administratif merupakan badan pemerintahan yang memiliki tugas pokok dan fungsi menyelenggarakan urusan pemilihan umum yang langsung, umum, bebas serta Jujur dan adil. Namun demikian, penetapan jadwal maupun program yang dilakukan oleh KPU tidak hanya bersifat sebagai program strategis pemerintahan, melainkan juga merupakan isu konstitusional sebab berdasarkan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945, pemilu diselenggarakan setiap lima tahun sekali.
Dengan demikian, persoalan mengenai penundaan atau pengulangan proses yang sedang berlangsung tidak hanya didasari pada kondisi strategis pemerintahan, melainkan juga harus didasari pada pertimbangan konstitusional. Dalam konteks demikian, pengadilan harus secara arif dan bijaksana membatasi putusannya berdasarkan wewenang yang dimiliki dan yang bukan merupakan kewenangannya (judicial restrein).
Dalam konteks pemilu, peran hakim/peradilan justru harus mengikuti program dan tahapan yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Seperti halnya dalam sengketa administratif kepemiluan yang berdasarkan UU Pemilu telah ditentukan jangka waktunya, bahkan dalam tahapan penyelesaian hasil pemilu dikenal adanya peradilan yang cepat atau speedy trial.
Hal demikian menggambarkan bahwa di satu sisi pengadilan dengan fungsinya memeriksa, mengadili, dan memutus persengketaan kepemiluan. Namun, di lain sisi peradilan juga terikat pada rambu-rambu yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Robert Posner misalnya menggambarkan paradigma tersebut dengan mengatakan bahwa pengadilan bukanlah primary custodian dalam skema politik suatu negara.
Dengan kata lain, keberadaan pengadilan bukanlah satu-satunya institusi yang dapat menentukan kesejahteraan sosial. Oleh karenanya hakim/pengadilan hanya diperkenankan untuk mengadili perkara-perkara yang ditentukan secara limitatif berdasarkan ketentuan hukum positif yang berlaku (limited jurisdiction).
Doktrin mengenai judicial restrain juga telah mempengaruhi dimensi peradilan administrasi yang kemudian membentuk suatu prinsip bahwa hakim tidak boleh duduk di kursi eksekutif (dat de rechter niet op de stoel van het bestuur mag gaan zitten). Pengertian asas tersebut adalah bahwa peradilan tidak diperkenankan menentukan mana kebijakan strategis yang harus dilaksanakan dan mana kebijakan strategis nasional yang tidak boleh dilaksanakan oleh penyelenggara negara.
Bahkan ketika seorang hakim atau peradilan tidak sependapat dengan kebijakan yang dibentuk oleh organ pemerintah, pengadilan hanya berwenang untuk menilai suatu kebijakan dari aspek hukum semata (ordeel over de rechtmatigheid). Konsep tersebut tidak terlepas dari adanya ajaran pemisahan atau pembagian kekuasaan negara yang menempatkan organ-organ pemerintahan dan kenegaraan berjalan sesuai dengan kewenangan masing-masing.
Jika dikaitkan dengan putusan PN Jakpus, saya menilai bahwa pengadilan telah terlalu jauh mencampuri urusan-urusan kebijakan strategis nasional yang menjadi wewenang dari eksekutif maupun KPU. Dengan adanya putusan tersebut, proses penyelenggaraan Pemilu 2024 akan sedikit banyak bergeser tidak sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan, sehingga secara langsung bertentangan dengan prinsip konstitusionalitas yang telah dijamin berdasarkan Pasal 22E ayat 1 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa "Pemilihan Umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali."
Alif Fachrul Rachman Associate at Indrayana Centre For Government, Constitution, and Society (INTEGRITY) Law Firm
Simak Video 'Jokowi Bicara soal Putusan PN Jakpus Tunda Pemilu':
(mmu/mmu)