Pajak dalam Pusaran Viral

ADVERTISEMENT

Kolom

Pajak dalam Pusaran Viral

TANSEN SIMANULLANG - detikNews
Selasa, 07 Mar 2023 10:00 WIB
Ilustrasi Setoran Pajak Tekor
Ilustrasi: Mindra Purnomo/detikcom
Jakarta -
Beberapa hari belakangan ini, banyak pemberitaan media arus utama maupun media sosial terkait aparat pajak yang diduga mempunyai kekayaan fantastis dan diduga tidak sesuai dengan LHKPN yang telah dilaporkan. Berita ini merebak sebagai akibat dari kasus yang menjerat anak pejabat pajak yang kini ditangani oleh pihak kepolisian. Pemberitaan pun berkembang dan menyasar ke mana-mana. Riuh rendah narasi menghajar satu instansi besar Kementerian Keuangan.

Pun demikian, Direktorat Jenderal Pajak sebagai salah satu institusi di bawah Kementerian Keuangan mendapat getahnya. Pajak pun viral, mulai dari media cetak, online, televisi maupun radio tidak ketinggalan untuk memberitakan dari sudut pandang masing-masing tergantung narasumbernya. Tidak sedikit yang mengkritik praktik-praktik pamer kekayaan para pejabat. Para netizen yang gemar menulis dalam media sosial meramaikan pemberitaan terkait pajak. Sudah dapat kita duga, informasinya pasti lebih banyak ke arah negatif. Sepanjang yang saya amati, netizen di media sosial kanal Twitter paling banyak menuliskan dan membahas pajak ini.

Kekhawatiran pun muncul, jangan sampai ada ajakan untuk mengganggu pekerjaan institusi Direktorat Jenderal Pajak. Jelas saja, beberapa netizen yang aktif menulis di kanal tersebut akhirnya menggaungkan tagar boikot pajak. Perhatian publik tertuju pada aparat pajak yang disebut sebagai pegawai sultan. Tidak bisa dipungkiri, bagaimana mekanisme pajak itu dikerjakan oleh pegawai sultan turut menjadi perhatian masyarakat.

Tiba-tiba banyak orang yang membahas pajak walau dari kacamatanya sendiri. Benar salahnya narasi yang disampaikan tidak jadi urusan. Ajaibnya, mendadak muncul orang-orang yang mengaku bahwa selama ini telah membayar pajak dan tidak akan ikhlas jika pajak yang disetornya itu dikemplang para pegawai pajak. Atau, narasi yang menyatakan ketidaksetujuan bayar pajak jika pajak yang disetorkan tersebut dipakai pegawai pajak untuk membeli mobil mewah ataupun moge.

Fenomena ini sangat menguras tenaga instansi Kementerian Keuangan. Menteri Keuangan sampai pejabat di bawahnya harus turun tangan untuk menanggapi informasi yang berseliweran. Mulai dari penjelasan terkait LHKPN pejabat dan kewajiban pegawai dalam melaporkannya adalah bentuk respon Menteri Keuangan terhadap isu yang berkembang. Bahkan Wakil Presiden KH Maruf Amin harus turut serta meluruskan ajakan seruan boikot pajak. Hal ini dipandang sangat penting, karena kesalahan narasi dan informasi terkait pajak akan berakibat fatal terhadap kinerja Kementerian Keuangan, khususnya Direktorat Jenderal Pajak.

Secara khusus Dirjen Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo harus bersilaturahmi dengan Ketua Umum PBNU Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya), Kamis (2/3) untuk memastikan bahwa seruan tak perlu bayar pajak adalah sesuatu yang keliru. Komisi XI DPR juga ikut mengecam gerakan boikot bayar pajak karena gerakan itu bisa berdampak pada pembangunan nasional. Masyarakat diminta untuk bisa memisahkan kasus anak pejabat pajak dengan kegiatan pembayaran pajak. Jusuf Hamka, Bidang Kesra PBNU, menganalogikan andai ada putra dari pengurus amal zakat yang menyalahgunakan dana zakat, tidak layak menyerukan kepada umat untuk tidak membayar zakat.

Mengenal Pajak

Apakah seluruh warga harus membayar pajak? Apakah pajak yang dibayarkan masyarakat bisa dipakai aparat pajak untuk membeli moge ataupun mobil mewah? Ketika masyarakat membayar pajak, ke rekening siapakah uangnya masuk? Bagaimana petugas menghitung pajak?

Itulah beberapa pertanyaan yang muncul dalam benak masyarakat dalam beberapa hari terakhir ini. Jika jawaban dari pertanyaan tersebut tidak diketahui dengan tepat berdasarkan aturan yang berlaku, maka masyarakat akan mudah tergiring opini ke arah yang tidak benar, seperti yang terjadi saat ini seruan setop bayar pajak.

Menurut Undang-Undang Nomor 28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Pasal 1 Nomor 1, Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2022 tentang APBN disebutkan bahwa dalam APBN 2023 terdapat Pendapatan Negara sejumlah Rp 2.463 triliun yang terdiri dari penerimaan pajak Rp 1.718 triliun, dari Kepabeanan dan Cukai Rp 303,2 triliun, dari penerimaan PNBP sebesar Rp 441,4 triliun serta bersumber dari Hibah senilai Rp 0,4 triliun. Dari komposisi tersebut, diketahui bahwa pajak mempunyai andil sebesar 69,8 % dari total pendapatan negara.

Pajak dalam hal ini adalah pajak yang dikelola oleh Kementerian Keuangan Direktorat Jendral Pajak yakni Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPN PPnBM), Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Perkebunan, Sektor Perhutanan, Sektor Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, Sektor Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi, Sektor Pertambangan Mineral atau Batubara, dan Sektor Lainnya (PB P5L).

Warga negara yang melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan disebut Wajib Pajak dan memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Warga negara yang telah memiliki NPWP tidak otomatis harus membayar pajak. Jika Wajib Pajak Orang Pribadi usahawan yang omset brutonya tidak sampai Rp 500 juta dalam setahun tidak perlu membayar pajak. Jika dalam setahun omset kotor melebihi Rp 500 juta namun masih di bawah Rp 4,8 miliar, maka perhitungan pajaknya hanya dikenakan tarif 0,5% dari penghasilan bruto.

Sementara itu, jika Wajib Pajak adalah karyawan, di mana atas gajinya telah dilakukan pemotongan pajak oleh pemberi gaji, maka karyawan tersebut cukup melaporkan SPT Tahunan Nihil saja tanpa perlu membayar lagi.

Bayar Pajak di Bank Persepsi atau Kantor Pos

Seluruh pembayaran pajak dilakukan di Bank atau Kantor Pos yang ditunjuk oleh pemerintah sebagai Bank Persepsi. Masyarakat dalam hal ini Wajib Pajak tidak diperkenankan membayar pajak di kantor pajak karena kantor pajak tidak ada sarana menerima pembayaran tersebut, apalagi kepada pegawai pajak. Seluruh pembayaran dilakukan melalui kode billing yang dibuat oleh Wajib Pajak sendiri melalui akun masing-masing.

Jumlah yang dibayarkan oleh Wajib Pajak adalah besaran pajak yang dihitung sendiri, karena azas pajak di Indonesia adalah Sistem Self-assessment yaitu memberikan kepercayaan kepada Wajib Pajak untuk menghitung/memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri jumlah pajak yang seharusnya terutang berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Seluruh pajak yang telah disetor Wajib Pajak masuk ke Rekening Kas Umum Negara dan akan disalurkan dan dipergunakan seluruhnya dalam bentuk APBN untuk pembangunan nasional. Semakin banyak pajak yang dibayarkan oleh Wajib Pajak, semakin besar pula dana yang dipakai untuk membangun jalan tol, jalan raya, membeli alutsista, mendanai pendidikan, kesehatan, dan seluruh aktivitas pembangunan nasional.

Bagaimana mungkin jalan tol dapat dibangun, alutsista modern dan canggih, pendidikan yang maju, kesehatan yang unggul, kualitas ASN yang andal jika warga negara tidak membayar pajak? Padahal lebih dari separuh sumber uang negara ini adalah dari pajak. Ya, pajak yang dibayar oleh warga negara.

Tansen Simanullang Penyuluh Pajak pada Direktorat Jenderal Pajak
Simak Video 'Kusam Lagi Wajah Penagih Upeti di Mata Warga +62':

(mmu/mmu)


ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT