Saat isu tunda pemilu sudah mulai mereda, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) tiba-tiba membuatnya gaduh kembali. Melalui putusannya, pengadilan di Ibu Kota Negara itu memerintahkan KPU untuk menunda Pemilu 2024. Tentu, putusan ini amat begitu mengecewakan.
Kasus bermula ketika Partai Prima menggugat KPU ke PN Jakpus. Alasannya, grup politik ini tidak terima dengan keputusan KPU. Keputusan yang dimaksud adalah keputusan yang menyatakan partai ini tidak lolos verifikasi administrasi sebagai calon peserta pemilu. Imbasnya, jangankan menjadi peserta pemilu, ikut verifikasi faktual saja mereka tak berhak.
Tak terima dengan keputusan itu, partai besutan Agus Jabo Priyono tersebut menggugat KPU ke PN Jakpus. Dalam petitumnya, mereka meminta PN Jakpus memerintahkan KPU untuk menunda pemilu. Nahasnya, pengadilan mengabulkan gugatan itu sehingga babak baru isu tunda pemilu kembali dimulai.
Saat menulis artikel ini, saya tengah membaca buah karya Christopher Reenock, Jeffrey K. Staton, dan Jordan Holsinger berjudul Can Courts be Bulwarks of Democracy? (2022). Dalam karyanya ini, ketiga ilmuwan politik itu menguji klaim Anthony Romero yang menyebut pengadilan sebagai benteng demokrasi.
Saya tak perlu berpanjang lebar menjelaskan isi buku mereka. Saya pun tak perlu menunjukkan apakah tesis Anthony Romero tentang pengadilan benar atau tidak. Sebab, putusan PN Jakpus sudah menunjukkan di mana posisi pengadilan ketika demokrasi terancam. Ya, betul, kali ini pengadilan adalah aktor yang terlibat membunuh demokrasi.
Keterlibatan Aktor Politik?
Saya pertama kali mendapati berita tentang putusan itu dari pesan Whatsapp seorang kawan. Reaksi pertama saya membacanya adalah kaget. Karena, bagaimana pun sejarah pengadilan adalah sejarah pembela demokrasi. Begitu yang saya pahami selama ini.
Saat hak-hak Anda dilanggar oleh pemerintah dan korporasi, kepada siapa Anda mengadu? Saat Anda tak setuju dengan hasil pemilu karena merasa dicurangi, kepada siapa Anda mengadu? Tentu saja jawabannya adalah pengadilan. Jadi, saya merasa aneh ketika pengadilan justru berbalik arah melawan demokrasi.
Keanehan itu membuat saya curiga ada aktor politik yang mempengaruhi putusan hakim pengadilan negeri itu. Tujuannya jelas agar orang yang saat ini duduk di kursi kekuasaan senantiasa terus berkuasa. Dengan kata lain, mereka ingin menjadi diktator yang konstitusional.
Saya tidak ingin menuduh siapa aktornya, karena saya juga tidak tahu siapa. Tapi yang pasti, setelah gagal mengupayakan amendemen batas masa jabatan presiden, aktor politik memang biasanya beralih ke pengadilan. Itu ditunjukkan oleh beberapa contoh tindakan aktor politik di negara lain.
Misalnya, pada 2009, setelah gagal mengubah konstitusi, Presiden Ortega membawa kasus batas masa jabatan ke Mahkamah Agung (MA) Nikaragua. Ia membawanya dengan secercah harapan mendapat kemenangan. Dan, saat putusan pengadilan tertinggi di negeri itu diucapkan, harapannya terkabul.
MA Nikaragua yang dipercaya sebagai pelindung demokrasi justru telah merusak demokrasi melalui putusannya. Putusannya menyatakan pembatasan masa jabatan dua periode adalah inkonstitusional. Akibatnya, Presiden Ortega mencalonkan diri kembali pada pemilu berikutnya dan memenangkan jabatan periode ketiga.
Begitu pula di Bolivia, setelah kalah dalam referendum konstitusi, Presiden Bolivia Evo Morales beralih ke pengadilan. Ia berniat merusak tatanan demokrasi demi masa jabatan periode keempat. Dan, niat itu nyatanya diamini oleh Mahkamah Konstitusi (MK) Bolivia.
Namun, lebih parah dari putusan MA Nikaragua, MK Bolivia membuka jalan bagi Morales untuk menjabat sebagai presiden seumur hidup. Melalui putusannya, MK Bolivia menyatakan batasan masa jabatan adalah aturan yang inkonstitusional karena melanggar hak Morales untuk dipilih kembali.
Di Indonesia, kita tahu rencana aktor politik untuk mengamendemen konstitusi demi perpanjangan masa jabatan presiden sudah diupayakan sejak 2020 lalu. Berbagai argumen pragmatis diluncurkan. Namun, upaya itu disambut dengan protes publik dan berakhir dengan kegagalan. Jadi, logis kalau mereka beralih ke pengadilan.
Seperti kata David Landau dan Rosalind Dixon (2020), pengadilan adalah legitimator yang baik atas tindakan inkonstitusional semacam itu. Stempel pengadilan dibutuhkan agar tindakan menunda pemilu terlihat sah secara hukum, kendati sebenarnya ia bertentangan dengan konstitusi.
Investigasi
Pertanyaan yang mungkin ada di kepala Anda saat ini adalah mengapa hakim PN Jakpus setega itu melawan demokrasi? Apa motivasinya? Argumentasi hukum para hakim bisa Anda baca dalam salinan putusannya. Namun, mengapa argumen itu yang dipilih sang hakim, bukan yang lain, tak bisa Anda ketahui kalau sekedar membaca salinan putusan.
Pemilihan argumentasi hukum ada dalam hati dan pikiran sang hakim. Apakah pilihan itu murni untuk mencapai keadilan dan kepastian hukum atau jangan-jangan dikotori oleh kepentingan pribadi hanya sang hakim yang tahu. Kendati demikian, satu cara untuk mengetahui motivasi itu adalah dengan melakukan investigasi.
Investigasi secara perlahan akan mengumpulkan kepingan-kepingan bukti. Nanti akan terkuak apa yang sebenarnya motivasi sang hakim. Apakah memang begitu logika hukumnya, atau dugaan saya tentang keterlibatan aktor politik benar.
Pun, saat dugaan keterlibatan aktor politik itu benar, investigasi bisa berlanjut mempertanyakan motivasi mengapa hakim menerima intervensi itu. Sangat mungkin sang hakim ditawari sejumlah uang oleh aktor politik. Apalagi, baru-baru ini Mahkamah Agung yang menjadi "rumah" bagi Pengadilan Negeri Jakarta Pusat diserang badai megakorupsi.
Sebanyak 14 tersangka yang terdiri dari hakim, panitera, pegawai, dan staf di Mahkamah Agung dijerat oleh KPK. Mereka didakwa terlibat dalam kasus korupsi penanganan perkara peradilan. Jadi, sangat beralasan kalau saya menduga motivasi hakim PN Jakpus menerima intervensi (jika benar) aktor politik itu adalah karena uang juga.
Oleh karena itu, untuk menguak fakta di balik putusan kontroversial PN Jakpus, Komisi Yudisial (KY) harus segera bertindak. Institusi penjaga marwah peradilan itu harus memanggil dan memeriksa para hakim yang mengadili gugatan perkara perdata Partai Prima. KY harus menginvestigasi kasus ini agar pertanyaan publik tentang mengapa PN Jakpus melawan demokrasi terjawab.
Rino Irlandi alumnus Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya