Batang nalar terhentak dengan tanya, mengapa hidup menjadi serepot ini? Berbilang-bilang peristiwa yang memporakporandakan kepatutan adab dan akal sehat telah lazim jadi tontonan dan sajian berita. Semua orang tahu. Bahwa ada aparat pajak yang hidup tenteram nun lalu sisi tak eloknya tersingkap akibat kejahatan anaknya.
Lalu tentang oknum dosen bahkan calon guru besar yang lancung dan tercebur dalam kubangan kotor perjokian karya ilmiah. Tak ketinggalan peradilan seorang jendral polisi nan penuh ironi.
Rasanya wajar saja jika lalu publik bertanya. Telah sesakit itukah nurani kita saat ini? Semburat kelam tragedi kehidupan menghembas laksana air bah. Pengeroyokan, pembunuhan, pemerkosaan, hingga kekerasan di jalan raya telah menjadi lukisan fakta biasa. Menguji kerentanan pemaknaan kita atas batasan nilai dan moral. Simpul pertaruhan yang menuntut nyali keberpihakan penegakan kebenaran.
Ujian Kesehatan nurani kita tidak berhenti sampai di situ. Karena bersamaan dengan itu kita sedang berada di tahun politik. Tahun depan akan menjadi momen sangat besar pemilihan umum dan pemilihan presiden. Dampak psikologisnya telah mulai kita rasakan. Dinamikanya riuh oleh ekspresi pilihan politik yang gaduhnya dahsyat.
Porak porandanya nurani pada diri seseorang yang diliputi keyakinan menggenggam kuasa akal adalah pangkal dari perbuatan keji. Bersengaja merangkai siasat dalam nalar dan nafas jahat. Semata demi menghancurkan karakter pihak lain karena tidak selarasnya pandangan politik. Merekayasa kebenaran diskursif atas nama kebebasan berekspresi dan demokrasi. Seolah publik mudah dibodohi. Kini tak sedikit kalangan yang merisaukan bahwa bukan mustahil hal semacam itu akan terulang.
Apakah alam semesta sudah sedemikian murka dan lalu mencemooh naifnya daya nalar kita? Mengapa justru kaum terpelajar tercebur ke dalam lumpur ilusi dan keculasan sedemikian memalukan?
Koherensi Kebenaran Alam Semesta
Saya mengimani bahwa membaca dan mengenal alam adalah bagian dari cara yang bijak untuk memahami kebenaran. Bentang semesta adalah tebaran bermiliar-miliar ayat yang dihamparkan Tuhan. Menantang akal budi untuk menyingkap bulir ilmu pengetahuan.
Sebutlah cahaya misalnya. Sumbangan Jean Baptiste Joseph Fourier (1768-1830) membantu kita untuk mengenalnya secara lebih dalam dan rinci. Sifat cahaya menjadi petunjuk sahih bahwa entitas apa pun di alam semesta tidak penah maujud dalam ketunggalan.
Ekspresi kesejatian dan cirinya selalu berbentuk superposisi dari tak berhingga harmonik. Untaian keunikan dalam kesatuan yang menghadirkan kesan dan makna esensial. Bersifat spesifik yang kita kenal sebagai spektrum. Itulah ayat semesta. Selaras dalam kebersamaan justru karena keberagaman.
Ilmu pengetahuan menyebut daya untuk berselaras itu sebagai koherensi. Sebuah besaran yang merujuk kepada sifat penciri dan kemampuan berserempaknya dua atau lebih ragam entitas berebeda untuk bergerak bersama. Sederap menghadirkan dampak menguatkan.
Berkat pengetahuan yang disingkap oleh Fourier itu kemudian para fisikawan dapat membuktikan bahwa cahaya putih sejatinya tersusun oleh jumlah tak behingga warna yang berbeda. Setiap warna mewakili satu nilai frekuensi dan panjang gelombang.
Disamping itu, analisis kuadratik atas spektrum gelombang memberikan gambaran besarnya energi yang dirambatkannya. Menariknya, pembandingan spektral atas dua entitas berbeda dapat menjadi jalan efektif untuk mengenal apakah terdapat kecocokan ciri antara keduanya. Kaidah pembandingan spektral semacam itu disebut dengan analisis koherensi.
Keadaan itu menunjukkan betapa sempurnanya alam semesta mematri besaran energi sebagai vektor penciri entitas apa pun. Sifatnya spesifik dan melekat seperti DNA, iris mata, dan sidik jari seseorang. Sesuatu yang merujuk kepada karakter khas yang tak berubah meski dalam balutan beragam atribut apa pun.
Kemampuan berselarasnya vektor penciri yang kuasa menimbulkan penguatan seperti inilah yang sering terabaikan.
Hal tersebut sejalan dengan penjelasan Peter Schwardmann dan Joel van der Weele. Bahwa kuasa nalar dapat membuat seseorang merasa mampu mempersuasi dan memperdaya orang lain demi kepentingan pribadi dan atau kelompoknya.
Orang-orang yang sedang dihinggapi perasaan dalam kuasa pengetahuan semacam itu cenderung mudah merekayasa kesejatian diri dengan sajian atribut artifisial yang dalam nalar mereka ternilai selaras dengan kebenaran.
Mereka abai terhadap ayat semesta bahwa atribut artifisial tidak mungkin berselaras dengan penciri esensial. Kebenaran hanya resonan dengan kebenaran. Pun demikian kejahatan cuma berselaras dengan kejahatan. Mustahil keduanya berada dalam keserempakan fase yang sama. Hal lain yang kerap pula terabaikan adalah bahwa energi itu dapat dirambatkan.
Kebaikan adalah benih untuk kebaikan yang lebih besar. Begitu pun keculasan akan menyertakan keculasan lain sebagai penutupnya.
Tidakkah semua ini elok menjadi alasan yang baik bagi siapa pun untuk hanya berselaras dengan kebenaran? Begitulah cara alam bekerja. Hikmahnya selalu terpetik dalam kongsi waktu.
Petugas pajak di Jakarta itu mungkin tak pernah menyangka bahwa kuasa semesta akan menjadikan kejahatan anaknya sebagai kunci penjejak tipak borok masa lalunya.
Oknum dosen yang curang pun demikian. Kepalsuan pasti meninggalkan lubang yang menuntun penelusuran kebenaran. Pun demikian dengan Ferdy Sambo. Dia yang menggenggam kuasa jabatan dan akal pasti tidak pernah menyangka bahwa semua upaya persuasinya akan luluh lantak karena ketiadaan koherensi dengan ciri dan energi kebenaran yang digenggam kuat Bharada Eliezer anak buahnya.
Semua itu mempertegas bahwa terkoyaknya nurani seseorang menyebabkan lubanglubang adab yang lalu diisi oleh sesat kuasa nalar. Menjadikan seseorang itu abai bahwa besaran energi adalah ciri kebenaran mustahil terkelabui oleh atribut artifisial sehebat apa pun. Jika pun ia ditutupi dengan beragam dalih persuasi, maka alam selalu memiliki cara memunculkan entitas dari keberagaman lain yang selaras untuk menguak kesejatian tersebunyi.
Kekuatan koherensi alam semesta adalah misteri ruang waktu yang selamanya akan melampaui kuasa insani siapa pun. Wallahualam.
Iwan Yahya. Dosen dan Peneliti The Iwany Acoustics Research Group (iARG) Program Studi Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sebelas Maret Surakarta.