Membangun Keunggulan Korporasi dengan Multigenerasi

ADVERTISEMENT

Kolom

Membangun Keunggulan Korporasi dengan Multigenerasi

Kun Wahyu Wardana - detikNews
Jumat, 03 Mar 2023 09:30 WIB
work life balance word cloud - handwriting on a napkin with a cup of coffee
Ilustrasi: thinkstock
Jakarta -

Berkumpulnya empat generasi yang berbeda (baby boomers, Generasi X, Generasi Y/Milenial, dan Generasi Z) dalam satu masa dan tempat kerja yang sama merupakan kenyataan di hampir semua korporasi. Heterogenitas generasi ini tentunya bisa menjadi berkah atau malah bencana bagi korporasi, bergantung bagaimana manajemen meramu atau mengelolanya. Bisa dibayangkan bagaimana kompleksitas yang dihadapi korporasi.

Multigenerasi tersebut tentu membawa DNA-nya masing-masing dengan karakteristik yang beragam. Hasil survei LinkedIn terkait keseimbangan kehidupan kerja (work-life balance) misalnya, menunjukkan perbedaan ekspektasi. Survei tersebut mengungkapkan bahwa meskipun setidaknya setengah dari responden dari semua generasi menganggap keseimbangan kehidupan kerja masuk dalam top lists saat mempertimbangkan pekerjaan baru, Milenial dan Generasi X yang justru paling menghendaki hal itu. Generasi ini juga paling mengharapkan adanya pengaturan kerja yang fleksibel, dengan 35% Generasi Milenial dan 32% Generasi X mengatakan opsi ini adalah pertimbangan utama, dibandingkan dengan 28% Generasi Baby Boomer dan Generasi Z.

Hasil survei tersebut meski hanya mendeteksi secuil dari perbedaan yang ada, mengindikasikan potensi konflik antargenerasi berdasar perbedaan preferensi. Di tengah perbedaan tersebut, mereka dituntut menjadi teamwork yang solid untuk bekerja sama menopang going concern korporasi. Oleh karena itu, penting bagi korporasi untuk bagaimana mengelola keberagaman dari multigenerasi agar menjadi keunggulan bukan menjadi titik lemah korporasi.

Langkah Awal

Disadari sepenuhnya, setiap generasi memiliki kelebihan dan keunikan yang membedakan generasi yang satu dengan generasi lain. Oleh karena itu, mengenali kelebihan dan keunikan dari setiap generasi menjadi langkah awal yang menentukan untuk bisa mengkonversi keragaman menjadi keunggulan. Generasi "baby boomers" (1946-1964) dikenal karena etos kerja yang kuat, dedikasi, orientasi layanan dan menilai pengalaman bersifat otoritatif.

Kelompok "Generasi X" (1965-1980) terkenal karena nilai kemandirian dan keseimbangan kehidupan kerja yang didukung dengan pendidikan dan memiliki kemampuan berteknologi (technology savvy). "Generasi Y atau Milenial" (1981-1996) diidentifikasi sebagai digital natives sehingga mereka menjelma menjadi pekerja global dalam pengalaman dan pandangan sehingga cenderung mempertanyakan status quo, menerima multikulturalisme, dan komunikasi instan sebagai cara hidup.

Menurut penelitian dari Workfront, 61% pekerja milenial internasional mengatakan bahwa kolaborasi menjadi hal yang penting agar mereka tetap bekerja. Adapun Generasi Z (1997-2015) dicirikan dengan keinginan bekerja dengan serba berteknologi, pendapatan yang stabil namun berharap lingkungan kerja yang fleksibel baik segi tempat maupun waktu.

Jika Anda sempat menyaksikan film Top Gun: Maverick yang menutup tahun 2022 menjadi film box office mengungguli Avatar dan Jurassic World Dominion, ada plot cerita yang menarik. Top Gun sepintas memberikan gambaran kompleksitas yang dihadapi dalam interaksi lintas generasi tersebut. Maverick yang diperankan dengan apik oleh Tom Cruise mewakili generasi X ditugaskan untuk melatih para pilot muda yang notabene generasi Y. Awalnya di antara mereka timbul kesangsian. Maverick di mata para pilot muda dianggap sudah tidak lagi memiliki kemampuan menerbangkan pesawat tempur yang termutakhir. Sedangkan bagi Maverick, para pilot muda ini hanyalah kumpulan pilot amatir yang minim pengalaman, kurang keberanian, dan enggan bekerja sama.

Hal yang serupa terjadi dalam korporasi saat ini. Memasuki era industri 4.0 yang sarat dengan digitalisasi, membuat Generasi Baby Boomers seakan tertatih-tatih dalam beradaptasi. Tetapi mereka merasa paling memiliki pengalaman dan paling mengerti nilai-nilai dari korporasi serta berdedikasi kuat. Sedangkan Generasi X yang sebenarnya terlahir dalam masa teknologi yang sudah maju, cukup terbiasa, dan memiliki keterampilan digital memadai. Prioritasnya bagaimana menyeimbangkan antara kerja dan kehidupan pribadi (work-life balance). Adapun Generasi Milenial dan Generasi Z yang merupakan digital native merasa ini adalah era mereka. Merekalah yang memiliki adaptabilitas tinggi terhadap perkembangan teknologi dan kreatif dalam bekerja namun menghendaki jam kerja yang fleksibel (flexy time).

Sepintas, karakteristik yang bertolak belakang antargenerasi tersebut hanyalah konflik semata yang bakal timbul dalam korporasi. Berbagai kerumitan dalam membangun kerja sama kerap membayangi. Dalam derajat tertentu, pandangan tersebut terkonfirmasi dalam kenyataan. Namun, ketika dipahami kemajemukan generasi tersebut sebagai anugerah, maka kondisi tersebut menjadi modal penting sebuah korporasi membangun keunggulannya.

Masih melanjutkan cerita film Top Gun, ketika mereka menyadari keunggulan dan kelemahan masing-masing, terbangunlah kolaborasi yang solid. Misi yang awalnya dianggap mustahil, pada akhirnya berhasil dijalankan. Bahkan ada adegan yang menarik, ketika pesawat Maverick jatuh dan hidupnya di ujung tanduk di tengah kepungan musuh. Goose, pilot milenial datang dengan pesawatnya menghalau musuh-musuh dan menyelamatkan Maverick, sang pilot generasi X. Padahal di awal, seakan Maverick menjadi sosok penentu keberhasilan misi. Film ini menggambarkan bahwa aksi heroik dan berkontribusi menyelamatkan tim, bukanlah monopoli satu generasi saja. Semuanya punya kesempatan yang sama dengan menggunakan kemampuan yang dimilikinya.

Dapat Dijembatani

Emma Waldman dalam tulisannya How to Manage a Multi-Generational Team (Harvard Business Review, 31 Agustus 2021) mengatakan bahwa "There are ways to bridge the generational gap. It begins with communication, humility, and a deeper curiosity about the strengths and limitations of our team members and ourselves. It begins with the acceptance that we are fundamentally different people with equally valuable insights to offer."

Pandangan Emma menunjukkan sebuah optimisme bahwa kesenjangan yang terjadi dari multigenerasi dapat dijembatani dengan membangun komunikasi yang lebih efektif di antara mereka. Sehingga timbul kesadaran bahwa karyawan dari setiap generasi dapat saling bertukar pengalaman dan pengetahuan.

Agar pola komunikasi yang dibangun lebih terstruktur dan terarah, menggunakan pendekatan mentoring dan coaching menjadi salah satu pilihan terbaik bagi perusahaan. Dengan pendekatan tersebut, pengembangan potensi, keterampilan, dan pengetahuan ditujukan untuk dapat meningkatkan prestasi dan produktivitas dalam bekerja sebagai sebuah tim. Dari situ akan melahirkan penerimaan satu generasi terhadap generasi lainnya menjadi budaya harmonis dan kolaboratif. Pada akhirnya, timbul kesadaran yang sama bahwa mereka memiliki tanggung jawab yang setara terhadap korporasi.

Kun Wahyu Wardana Direktur Kepatuhan SDM dan MR PT Asuransi Kredit Indonesia

Simak juga 'Kamus Jaksel, Literally Sebuah Keresahan?':

[Gambas:Video 20detik]



(mmu/mmu)


ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT