Revolusi Mental di KRL dan MRT

ADVERTISEMENT

Kolom

Revolusi Mental di KRL dan MRT

Achmad Hasmy - detikNews
Rabu, 01 Mar 2023 13:00 WIB
Ilustrasi pelecehan seksual di KRL.
Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom
Jakarta -

Sepagi itu di perjalanan menuju pekerjaan mobile di Jakarta, saya menumpang moda angkutan paling populer di regional Jabodetabek, yakni KRL Commuter Line. Tak bosan-bosannya saya menumpang kaleng setrum, begitu para rombongan kereta Jabodetabek pernah menamainya. Selain tarifnya murah meriah, fasilitas yang disajikan setara layanan premium di masa lampau yang hanya bisa dijangkau oleh kalangan menengah atas dengan nama KRL Express --yang kini sudah tinggal nama alias dihapus dari layanan.

Selang beberapa hari lalu, saya naik MRT Jakarta untuk keperluan yang sama. Moda angkutan kereta listrik kemarin sore ini benar-benar membuat ketagihan. Lintasannya memang masih minimalis, tapi sensasinya sangat lumayan, sebagian subway dan sebagian lagi layang. Tentu bagi saya momen yang paling berkesan adalah saat kereta MRT transit, berpindah suasana dari subway ke layang selepas stasiun Senayan.

Sensasi melihat sinar matahari dan gedung-gedung tinggi Jakarta setelah gelap gulita di bawah tanah sudah cukup membikin anak-anak kecil berteriak kegirangan dan orang dewasa celingak-celinguk melihat kaca. Begitupun saya, walau kegirangannya cukup di dalam hati saja dan celingak-celinguk juga ke arah kaca.

Namun, tak hanya itu yang menarik perhatian di duo KRL dan MRT ini. Ada yang bergerak berubah dengan keberadaan dua kereta listrik ini. Selain tujuan program pemangku kepentingan yang ingin agar horor kemacetan segera menghilang atau setidaknya berkurang drastis dari regional metropolitan ini, budaya dan perilaku orang di dalamnya pun perlahan sanggup bergerak ke arah peradaban tinggi.

Mari kita sebut peradaban membuang sampah di tempatnya dan mempersilakan tempat duduk untuk yang membutuhkan sebagai peradaban yang lazim ada di negeri-negeri maju dan berkesadaran tinggi. Keduanya sudah mulai menjadi kebiasaan dan adat besar di KRL Commuter Line dan MRT Jakarta, baik di trainset maupun di stasiun.

Peradaban pertama adalah cerminan kesadaran tinggi tentang kebersihan dan kepedulian lingkungan, sedangkan peradaban berikutnya adalah tentang ketidakegoisan dan kepedulian besar terhadap sesama. Sekarang benar-benar sulit menemukan sampah berserakan dan benar-benar sulit menemukan orang egois di KRL apalagi di MRT.

Kenapa pakai kata apalagi? KRL Jabodetabek dulu tidaklah seperti ini. Sejarah KRL yang sangat panjang selalu diselimuti peradaban di mana-mana sampah dan di mana-mana keegoisan, dan semua perlahan namun pasti berubah semenjak 2009 saat revolusi kereta api di bawah Ignasius Jonan berlangsung hingga jadinya seperti sekarang.

Kalau MRT beda lagi ceritanya. Moda angkutan ini lahir saat KRL sudah berubah sangat maju, sangat modern, dan memang dikonsep sebagai angkutan modern. Jadi MRT tak punya riwayat peradaban kelam seperti KRL. Yakin seyakin-yakinnya, keduanya adalah hal mahalangka di kehidupan Nusantara, bahkan di regional sekelas metropolitan Jakarta.

Menemukan orang yang membuang sampah di tempatnya dan melihat orang mempersilakan bangku duduknya untuk orang lain yang membutuhkan adalah hal mahaajaib pada beberapa tahun silam, dan bahkan mungkin juga hingga di masa sekarang.

Sambil berdiri di dalam kereta menuju lokasi tujuan, saya menangkap sebuah konklusi menarik. Stasiun dan rangkaian kereta di dalamnya kini tak hanya berfungsi sebagai moda transportasi belaka, tapi juga menjelma sebagai sekolah umum besar dengan didikan perilaku unggul di dalamnya.

Di dalam kereta KRL dan MRT itu tak ada tempat sampah dan kedua kereta itu nyaris tak pernah sepi penumpang, tapi sampah dan sisa-sisa lain-lainnya amat jarang dijumpai di sana. Bahkan, empati tumbuh sangat subur di dalamnya, di mana sudah menjadi kelaziman besar untuk segera bangkit memberi tempat duduk tatkala ada penumpang lansia ataupun ibu dengan anaknya naik di dalamnya.

Dan, kini saat saya turun dari kereta, terdapat dua pembentukan adat peradaban maju lainnya sedang terjadi, masyarakat komuter KRL dan MRT mulai terbiasa mengantre di pinggir pintu kereta, mempersilakan dan memberi jalan untuk penumpang yang turun, lalu membentuk barisan tertib saat naik eskalator, yang diam berdiri di kiri, yang buru-buru berjalan di kanan.

Batin ini tersenyum nyaman, dan membayangkan serta menjadi sangat berharap pendidikan sekolah umum besar ini bisa menular ke penjuru Nusantara Raya dengan cara mungkin membangun dengan masif angkutan berbasis rel seperti ini minimal di kota-kota besar lain di luaran Jabodetabek dan menyebarluaskan sistem dan budaya ini ke seluruh moda angkutan terutama angkutan massal di darat.

Mungkin Menteri Pendidikan kita juga harus mengucap terima kasih kepada Menteri Perhubungan dan juga Direksi PT MRT Jakarta dan PT Kereta Api Indonesia, terkhususnya untuk mantan Direktur Utama Ignasius Jonan karena revolusi kereta apinya pada dekade 2009 silam sudah membuka sekolah umum besar yang bisa diakses siapa saja di sepanjang lintasan rel-rel baja ini, yang mengajarkan dan juga mempraktikkan kurikulum unggul dari mulai kebersihan hingga empati, sesuatu yang menjadi pekerjaan rumah cukup besar di ranah mentalitas negeri ini.

Achmad Hasmy pemerhati transportasi massal, penyuka kereta listrik

(mmu/mmu)


ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT