Kompetensi Bahasa Inggris Orang Indonesia: Catatan untuk Menteri Nadiem

ADVERTISEMENT

Kolom

Kompetensi Bahasa Inggris Orang Indonesia: Catatan untuk Menteri Nadiem

Chairil Anwar Korompot - detikNews
Senin, 27 Feb 2023 16:10 WIB
Jakarta -

Wawancara berjudul "Pantang Putar Balik" dengan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Menristek) Nadiem Anwar Makarim baru-baru ini di podcast "Endgame" di Gita Wirjawan yang dilanggan lebih dari setengah juta pengguna, cukup sarat gagasan dan makna yang patut didiskusikan lebih lanjut.

Dalam wawancara berdurasi lebih satu jam itu, yang telah tayang sejak pertengahan Januari 2023, dan saat tulisan ini disusun telah ditonton 542 ribu kali, disukai 16 ribu penonton, serta dihiasi 1674 komentar tersebut, Menristek mengemukakan berbagai pencapaian kementerian yang dipimpinnya dan sejumlah gagasan yang dianggapnya jitu untuk memajukan pendidikan nasional. Wirjawan pun kagum dan beberapa kali menanggapi dengan pujian, "Keren!"

Bagi saya pribadi sebagai akademisi pendidikan bahasa asing dan pendidik guru (teacher educator) bahasa Inggris, segmen terakhir wawancara ini, kira-kira di menit ke-49 dan seterusnya, adalah bagian yang paling menarik sekaligus kontroversial. Bagian ini dimulai dengan pengantar pertanyaan dari Wirjawan yang menyoroti lemahnya kompetensi berbahasa Inggris orang Indonesia pada umumnya, yang kemudian diamini oleh Menristek dengan penuh semangat.

Wirjawan membuka wacana dengan menyebut bahwa Nadiem Makarim merupakan bagian dari segelintir masyarakat Indonesia yang beruntung memperoleh kesempatan belajar dan hidup di luar negeri sehingga memiliki kemampuan berbahasa Inggris yang sangat baik. Selanjutnya, ia "memprovokasi" dengan mencontohkan bahwa jumlah warga negara Indonesia yang punya paspor dan bisa berbahasa internasional hanya 10 persen dari jumlah penduduk Indonesia.

Lalu dia mengajak Menristek membayangkan, seandainya 100 juta saja orang Indonesia, yang negaranya dianugerahi kekayaan alam yang mahakaya, memiliki kemampuan berbahasa asing khususnya bahasa Inggris sama baiknya dengan warga beberapa negara tetangga seperti India, Filipina, dan Singapura. "Provokasi" itu ditanggapi oleh Menteri Nadiem dengan pernyataan, "Itu sudah game over itu," yang langsung diamini Wirjawan dengan pernyataan yang sama: "Game over."

Implikasi dari pertukaran gagasan kedua tokoh besar ini adalah bahwa bangsa kita sesungguhnya dapat mengungguli bangsa-bangsa tetangga seandainya kita secara keseluruhan memiliki kemampuan berbahasa asing, khususnya bahasa Inggris sama baiknya atau lebih baik daripada mereka.

Wirjawan kemudian melanjutkan "provokasinya" dengan menceritakan pengalaman pribadinya. Katanya, dia menyaksikan sendiri bagaimana sejumlah orang di suatu wilayah di bagian timur Indonesia mampu meningkatkan taraf hidup mereka setelah memperoleh pelatihan berbahasa Inggris vokasi (kejuruan) yang mereka ikuti selama satu-dua bulan. Di antaranya ada yang berhasil memperoleh pekerjaan sebagai staf concierge di sebuah hotel, yang mungkin sering menjamu tamu-tamu asing penutur bahasa Inggris, sehingga mereka kemudian mampu menafkahi keluarga mereka dari pekerjaan itu.

Ada juga peserta yang setelah mengikuti pelatihan bahasa Inggris itu langsung memiliki rasa percaya diri yang tinggi dan siap berkarya demi masa depan yang lebih baik. Oleh Wirjawan situasi ini digambarkan dengan istilah "low hanging fuit" (sesuatu yang mudah dilakukan dan dapat dijamin keberhasilannya). Menteri Nadiem menanggapi pernyataan Wirjawan itu dengan mengatakan bahwa inilah masalah yang membuatnya terus berpikir sampai larut malam, yaitu bagaimana meningkatkan kemampuan berbahasa Inggris bangsa Indonesia.

Dan, katanya lagi, kementeriannya saat ini sedang menggagas suatu program untuk mencapai tujuan itu, yaitu meningkatkan kemampuan berbahasa Inggris para guru bahasa Inggris kita dengan menghadirkan penutur asli (native speakers) atau orang yang kemampuannya mendekati (semi-native speakers) untuk melatih mereka. Menteri Nadiem bahkan menganggap program ini lebih baik daripada rencana penerapan pengajaran bahasa Inggris sejak SD yang tahun lalu sempat dibicarakan dalam hiruk-pikuk kontroversi mengenai Rancangan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas).

Sebagai akademisi dan pendidik guru bahasa Inggris, saya tercengang mendengar rencana Menristek tersebut. Memang, program pelatihan guru bahasa Inggris tersebut masih dalam tahap awal perencanaan, belum diluncurkan. Namun, karena yang menyampaikan hal ini adalah seorang menteri, ada kemungkinan cepat atau lambat program itu akan jadi kenyataan, dan kita patut mendebat rationale yang mendasarinya.

Setidaknya ada dua pertanyaan utama yang dapat kita ajukan kepada Menteri Nadiem sebagai pemilik ide luar biasa itu. Pertama, benarkah bahwa lemahnya kecakapan berbahasa Inggris orang Indonesia disebabkan hanya oleh kecakapan berbahasa Inggris guru bahasa Inggris kita yang masih rendah? Kedua, benarkah kelemahan guru bahasa Inggris kita akan langsung meningkat jika diberi pelatihan oleh instruktur yang berstatus native speakers atau semi-native speakers?

Lingkar Dalam dan Lingkar Luar

Native speakers
(NS) adalah istilah yang lazim disematkan kepada kelompok masyarakat penutur asli suatu bahasa. Dalam dunia bahasa Inggris, yang dimaksud dengan penutur asli biasanya adalah orang-orang yang lahir dan dibesarkan di negara-negara yang oleh Braj Bihari Kachru, pakar linguistik India-Amerika disebut sebagai the inner circle. "Lingkar dalam" ini dihuni oleh negara atau wilayah utama penutur asli bahasa Inggris, yaitu Inggris, Amerika Serikat, Irlandia, Australia, Selandia Baru, wilayah-wilayah berbahasa Inggris (anglofon) di Kanada, serta beberapa bagian Kepulauan Karibia. Penutur asli bahasa Inggris di lingkar dalam ini diperkirakan sekitar 380 juta orang dari 8 miliar penduduk dunia.

Selain itu, istilah penutur asli (NS) bahasa Inggris juga dapat disematkan kepada orang-orang yang orangtuanya atau pengasuhnya berasal dari negara-negara lingkar dalam dan aktif menggunakan bahasa Inggris dalam kehidupan sehari-hari sekalipun mereka kini telah bermukim di negara-negara yang bukan lingkar dalam bahasa Inggris.

Sedangkan, semi-native speakers (SNS) adalah istilah lain dari apa yang mungkin dimaksud oleh Menteri Nadiem sesungguhnya, yaitu near-native speakers. SNS mengacu kepada orang-orang yang bukan NS bahasa Inggris namun memiliki kecakapan berbahasa Inggris yang mendekati kecakapan berbahasa Inggris NS, antara lain karena mereka merupakan penutur English as a second language (ESL) atau bahasa Inggris sebagai bahasa kedua. Oleh karena itu kecakapan mereka berbahasa Inggris masih dapat dibedakan dari NS karena faktor-faktor seperti kefasihan, pelafalan, dan akurasi tata bahasa yang mungkin masih dipengaruhi bahasa ibu.

Pada umumnya, SNS adalah orang-orang yang oleh Kachru dianggap sebagai bagian dari the outer circle ("lingkar luar") yang diisi oleh negara-negara seperti India, Nigeria, Filipina, Banglades, Pakistan, Malaysia, Singapura, Tanzania, Kenya, wilayah non-anglofon Afrika, dan lain-lain. Jumlah penutur bahasa Inggris di lingkaran ini diperkirakan sekitar 150-300 juta orang. Dalam lingkaran ini, bahasa Inggris bukan bahasa asli penduduk tapi memiliki jejak sejarah yang panjang sejak zaman kolonialisme dan berperan penting dalam institusi kenegaraan, baik sebagai bahasa resmi negara, bahasa kedua negara, dan lain sebagainya.

SNS bisa juga mengacu ke orang-orang dengan kecakapan berbahasa Inggris sangat baik walaupun mereka berasal dari negara-negara yang oleh Kachru disebut sebagai the expanding circle (saya terjemahkan bebas menjadi "lingkar luas"). Mereka mungkin pernah hidup cukup lama di negara-negara lingkar dalam dan menyerap bahasa Inggris layaknya NS. Bisa juga mereka tidak pernah ke luar negeri namun memiliki "bakat berbahasa Inggris" yang luar biasa dan akhirnya mampu berbahasa Inggris layaknya NS.

Warga lingkar luas pada umumnya merupakan pengguna bahasa Inggris sebagai bahasa asing (English as a foreign language) atau EFL. Kachru menggunakan istilah expanding circle di sini karena memang jumlah penutur EFL dan jumlah negara pengguna EFL di dunia kian hari kian bertambah dan meluas. Dalam lingkar luas ini, Kachru menempatkan negara-negara seperti Brazil, Rusia, Tiongkok, Jepang, sebagian besar wilayah Eropa, Timur Tengah, dan Indonesia.

Walaupun jumlah penutur EFL di lingkar ini sulit ditentukan, ada estimasi penuturnya berjumlah 150 juta hingga 1 miliar orang. Jika angka-angka ini benar adanya, bukan tidak mungkin penutur asli (NS) bahasa Inggris hari ini sudah dapat digolongkan sebagai minoritas ("hanya" sekitar 500-an juta dari seluruh penduduk dunia saat ini). Entahlah.

Yang pasti, perkembangan terkini di lingkar luas telah melahirkan jenis-jenis baru bahasa Inggris seperti English as an international language (EIL), English as a global lingua franca (ELF), dan world Englishes (WE), yang sejatinya merupakan bidang kepakaran Kachru selama hidupnya.

Banyak penutur EIL, ELF, dan WE di seluruh dunia yang memiliki karakteristik linguistik sesuai dengan bahasa ibu mereka masing-masing (misalnya Arab, India, Singapura, Jepang, Cina, Rusia, Brazil, Nigeria) ketika berbahasa Inggris. Buat mereka, tidak penting bisa berbahasa Inggris seperti bule-bule asal Inggris, Amerika, atau Australia, karena mereka hanya menggunakan bahasa Inggris dengan sesama non-native speakers (non-penutur asli, misalnya ketika orang Jepang bertemu dengan orang Nigeria, orang Cina dengan Arab, orang Brazil dengan Singapura). Yang terpenting bagi orang non-penutur asli pengguna EIL, ELF, dan WE adalah keberhasilan komunikasi, interaksi, dan transaksi bahasa, bukan kefasihan lafal dan akurasi tatabahasa Inggris yang mereka gunakan.

Namun demikian, harus diakui bahwa sebagian besar penutur EFL, EIL, ELF, dan WE di negara-negara lingkar luas memang memiliki kecakapan berbahasa Inggris yang tidak sebaik sesamanya yang SNS. Cara mereka berbahasa Inggris masih sangat dipengaruhi oleh bahasa ibu mereka, sehingga ketika berkomunikasi dalam bahasa Inggris, lawan bicara mereka kadang-kadang sulit memahami apa yang mereka maksud.

Memang Masih Rendah

Memang tidak terbantahkan bahwa kecakapan berbahasa Inggris (English language proficiency) bangsa kita secara keseluruhan masih rendah. Menurut EF English Proficiency Index (EF EPI) 2022 yang mencermati kemampuan berbahasa Inggris warga negara-negara non-bahasa Inggris di seluruh dunia dengan lima kategori kecakapan (Very High Proficiency, High Proficiency, Moderate Proficiency, Low Proficiency, dan Very Low Proficiency), kemampuan berbahasa Inggris orang Indonesia berada di urutan ke-81 dari 111 negara yang disurvei.

Dengan posisi tersebut, Indonesia berada dalam kategori Low Proficiency, jauh di bawah Belanda dan Singapura yang menduduki tempat pertama dan kedua sebagai negara non-bahasa Inggris dengan tingkat kecakapan berbahasa Inggris paling baik. Untuk benua Asia, posisi Indonesia ada di urutan ke-15, jauh di bawah Singapura sebagai pemuncak daftar. Di kawasan Asia Tenggara, dari 9 negara ASEAN yang disurvei, Indonesia menduduki posisi ke-5, dan Singapura masih tetap menduduki tempat teratas.

Kembali ke pertanyaan pertama kita di atas: Apakah rendahnya kecakapan kita berbahasa Inggris disebabkan hanya oleh kemampuan berbahasa Inggris guru bahasa Inggris kita yang masih dianggap rendah?

Saya yakin, Gita Wirjawan, Nadiem Makarim, dan banyak orang di Indonesia sependapat dengan saya bahwa jawabannya tidak. Rendahnya kecakapan berbahasa Inggris bangsa Indonesia, menurut pemahaman saya, disebabkan oleh kombinasi tiga faktor, yaitu faktor-faktor historis, linguistik, dan politik yang "tidak menguntungkan" dalam konteks penguasaan bahasa Inggris.

Faktor Historis. Kita mungkin "tidak seberuntung" bangsa-bangsa jiran kita yang pernah dijajah atau sangat dipengaruhi secara sosial, budaya, dan politik oleh beberapa negara di lingkar dalam bahasa Inggris. Sebagai contoh, berdasarkan hasil survei EF EPI 2022 yang dikutip di atas, untuk wilayah ASEAN, Indonesia (posisi 5) kalah dari Singapura (posisi 1), Filipina (2), Malaysia (3), dan Vietnam (4) yang memang pernah dijajah/diduduki oleh dan masih memperoleh pengaruh kuat dari Inggris (Singapura dan Malaysia) dan Amerika Serikat (Filipina dan Vietnam). Kita hanya lebih unggul dari Myanmar (6), Thailand (7), Kambodia (8), dan Laos (9) yang dalam sejarahnya memang paling sedikit dipengaruhi oleh negara-negara lingkar dalam bahasa Inggris.

Faktor Linguistik. Latar belakang sejarah itu, dan berbagai penyebab lain, kemudian memberi pengaruh "negatif" secara linguistik pada kecakapan berbahasa Inggris bangsa kita. Secara linguistik, Indonesia tumbuh dengan karakteristiknya sendiri, yang ditandai dengan luasnya penggunaan bahasa Melayu (yang kemudian menjadi bahasa Indonesia) sejak zaman pra-Hindia Belanda hingga saat ini, dan pengaruh berbagai bahasa lain, khususnya Belanda, Arab, Cina, Portugis, Spanyol, dan Jawa.

Dalam proses pertumbuhannya, bahasa Indonesia tentu mendapat pengaruh bahasa Inggris, namun sebagian besar lebih disebabkan oleh perkembangan ilmu pengetahuan, politik, ekonomi, dan sosial-budaya sejumlah negara lingkar dalam (khususnya Amerika Serikat) pasca-kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945.

Akibatnya ya itu tadi, bahasa Inggris di Indonesia benar-benar tumbuh sebagai bahasa asing yang hanya digunakan secara terbatas dalam masyarakat dan diajarkan dalam pendidikan sebagai mata pelajaran/kuliah saja. Kemampuan kita menggunakan berbagai bahasa ibu, lingua franca (khususnya berbagai variasi lokal bahasa Melayu), dan bahasa Indonesia sendiri menimbulkan rasa aman dan nyaman sehingga sebagian besar orang Indonesia tidak merasa perlu belajar menggunakan bahasa asing untuk berkomunikasi.

Tentu ada tren translanguaging bahasa Inggris seperti yang terjadi pada fenomena "bahasa Jaksel", namun tren ini hanya bersifat urban dan lebih banyak terpusat pada kelompok masyarakat dan usia tertentu dan serta hanya marak di ibu kota Jakarta dan kota-kota besar lain di Indonesia. Ada juga tren munculnya "Indolish" atau "bahasa Inggris Indonesia" namun penggunaannya masih belum semasif bahasa Inggris dialek India, Singapura, Malaysia, dan Filipina, serta Papua Nugini dengan bahasa Tok Pisin.

Faktor Politik. Penggunaan (atau kurangnya penggunaan) bahasa Inggris di Indonesia juga turut disebabkan oleh faktor politik (dalam pengertian kebijakan), khususnya dalam pemerintahan dan pendidikan. Dalam pemerintahan kita, bahasa Inggris konon pernah diberi status khas sebagai "bahasa asing pertama" dalam dokumen "Politik Bahasa Nasional" di era 1970-an. Dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan, status khas bahasa Inggris itu tidak mendapat penguatan dan peningkatan. Yang ada hanya pengakuan atas fungsi-fungsi tertentu bahasa Inggris dalam masyarakat dan institusi di Indonesia.

Dalam bidang pendidikan, bahasa Inggris masih merupakan salah satu mata pelajaran wajib, khususnya pada jenjang pendidikan menengah. Sementara itu, pada jenjang pendidikan tinggi bahasa Inggris pernah menjadi salah satu mata kuliah umum (MKU) wajib walaupun hanya diajarkan dalam satu semester. Sayangnya, saat ini bahasa Inggris sudah bukan lagi MKU atau mata kuliah wajib kurikulum (MKWK), dan karena itu penerapannya di perguruan tinggi bersifat pilihan saja bagi institusi masing-masing.

Secara umum, menurut peraturan yang berlaku, tujuan pembelajaran bahasa Inggris di Indonesia adalah membangun kecakapan linguistik, komunikatif, dan strategis. Namun dalam praktiknya, pembelajaran bahasa Inggris di berbagai satuan pendidikan formal masih terlalu banyak berkutat pada aspek linguistik (bentuk dan tata bahasa) dan kurang memperhatikan aspek-aspek komunikatif dan strategis (berinteraksi secara komunikatif dan kontekstual dalam bahasa Inggris).

Pada akhirnya, ketiga faktor inilah yang membuat bahasa Inggris masih tetap sebagai bahasa asing secara umum dan sebagai mata pelajaran/kuliah dalam dunia pendidikan di Indonesia. Dengan situasi ini, akan sangat sulit berharap dan akan makan waktu yang sangat panjang untuk mewujudkan impian Wirjawan dan Menteri Nadiem tentang minimal 100 juta orang Indonesia mampu berbahasa Inggris sehebat mereka berdua. Sebagai pendidik saya menolak asumsi bahwa kelemahan ini dapat disalahkan begitu saja kepada guru-guru bahasa Inggris kita yang selama ini sudah berusaha sekuat tenaga mengajarkan bahasa Inggris kepada anak-anak bangsa kita dengan semua kekurangan yang belum bisa kita atasi bersama sebagai bangsa dan negara.

Pertanyaan Selanjutnya

Pertanyaan kedua yang perlu kita tanyakan kepada Menteri Nadiem: Apa benar bahwa peningkatan kemampuan guru bahasa Inggris kita dalam berbahasa Inggris dan/atau mengajarkan bahasa Inggris hanya dapat diatasi dengan mengerahkan instruktur NS-SNS?

Sambil menantikan jawaban dari Menristek, saya pikir jawaban atas pertanyaan di atas seharusnya didahului dengan jawaban atas sejumlah pertanyaan lain di sini. Misalnya, jika ingin mengerahkan instruktur NS-SNS, sebenarnya bahasa Inggris seperti apa yang harus dikuasai guru-guru bahasa Inggris kita agar mereka menjadi guru bahasa Inggris yang hebat bagi peserta didik mereka?

Selain itu, haruskah guru-guru kita mengajarkan bahasa Inggris dalam ragam NS-SNS sementara dalam kenyataan mereka dan peserta didik adalah non-native speakers (NNS) dan pembelajar EFL? Bukankah mereka juga bagian dari penutur EIL, ELF, dan WE secara global yang sangat beragam tingkat kefasihan, akurasi, dan kebermaknaan berbahasa Inggrisnya?

Untuk memenuhi kebutuhan pelatihan guru bahasa Inggris yang mungkin diinginkan Makarim, maka berdasarkan uraian di atas, masih ada sederet pertanyaan lain yang harus dijawab Menteri Nadiem. Misalnya, apakah instruktur NS harus direkrut dari negara-negara lingkar dalam? Kemudian, apakah instruktur SNS harus didatangkan dari negara-negara lingkar luar? Bisakah instruktur SNS ini direkrut dari negara-negara lingkar luas, termasuk Indonesia, selama si kandidat memenuhi kriteria tertinggi dalam hal kecakapan berbahasa Inggris dan syarat-syarat lain?

Pertanyaan selanjutnya: Jika instruktur harus NS-SNS seperti kemauan Makarim, lalu adakah kesempatan bagi ribuan dosen seperti saya yang sudah belasan atau puluhan tahun mendidik dan melatih guru dan calon guru bahasa Inggris di berbagai lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) di Tanah Air namun secara kefasihan mungkin tidak sebaik NS-SNS bahasa Inggris?

Lebih lanjut: Apakah akan ada gunanya Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris pada jenjang sarjana, magister, dan doktoral, serta pada jenjang profesi di Program Studi Pendidikan Profesi Guru (PPG) di LPTK sebagai institusi dalam skema pelatihan guru bahasa Inggris seperti yang sedang dibayangkan sang Menteri? Melihat cara Makarim mengemukakan gagasannya, saya pikir sudah saatnya beliau mengajak bicara para akademisi LPTK pendidikan bahasa Inggris dan fungsionaris organisasi profesi pendidikan bahasa Inggris di tingkat nasional seperti The Association for the Teaching of English as a Foreign Language in Indonesia (TEFLIN) tentang rencananya ini.

Chairil Anwar Korompot
dosen Jurusan Bahasa Inggris Universitas Negeri Makassar

Simak juga 'Sandiaga Uno Bakal Berikan Pelatihan Bahasa Inggris Usai Insiden di Desa Sade':

[Gambas:Video 20detik]



(mmu/mmu)


ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT