Kontribusi agama untuk menyelesaikan persoalan perubahan iklim semakin relevan untuk didorong. Secara global, ikhtiar awal dan komitmen nyata dari institusi keagamaan terhadap persoalan itu bisa dicermati. Misalnya, ensiklik Laudato Si' dari Paus Fransiskus yang menginterupsi percakapan mengenai perubahan iklim di ruang publik global. Lalu, komitmen nyata dari Church of England (asosiasi gereja-gereja di Inggris) yang menetapkan agenda net zero church (Gereja bebas emisi karbon) pada 2030.
Sementara di Indonesia, peran institusi keagamaan masih parsial dan belum merata dalam mengartikulasikan pentingnya menjawab tantangan perubahan iklim ke dalam kehidupan beragamanya. Terkait ini, satu pertanyaan penting diajukan oleh Pamela R. McCaroll (2022) dalam tulisannya di Jurnal Religions: bagaimana kita membangun praktik keagamaan yang tidak menyangkal kenyataan perubahan iklim?
Di Inggris, pimpinan institusi agama telah berhasil dalam mendorong program konkret untuk diterapkan dalam konteks agamanya yang beragam. Yang menjadi tujuan utama bersama adalah agenda besar pemangkasan carbon footprints (jejak karbon). Misalnya, penggunaan lampu LED (Light Emitting Diode) sebagai mode penerangan paling efisien dan desain kebun di lingkungan tempat beribadah.
Lebih jauh, upaya melibatkan teknologi pro-lingkungan juga dilakukan: penampungan air hujan sebagai suplai toilet gedung ibadah, menyediakan tempat isi ulang mobil listrik, juga penggunaan energi solar sebagai sumber energi.
Dalam salah satu wawancaranya dengan Sky News pada 2021, Justin Welby, pemimpin Gereja Inggris (Archbishop of Cartebury) menggarisbawahi pentingnya kesepakatan elite dan pemimpin agama dalam merumuskan gerakan yang sistematis dan kolektif.
Di Indonesia, komitmen nyata seperti itu belum tampak. Gedung-gedung dan fasilitas ibadah kita belum sepenuhnya menggunakan energi dengan pertimbangan proporsional. Penggunaan AC (air conditioner) masih dan makin dominan terutama di kota-kota besar. Sementara teknologi ini sebagian besarnya tergolong amat boros energi. Pada hari Minggu, ibadah dilaksanakan mulai pagi sampai siang hari, sehingga memerlukan pendingin untuk ruangan ibadah.
Persoalannya, pendingin ruangan menyumbang penggunaan energi yang sangat banyak. Padahal, peringatan tentang ini telah datang sejak riset pada 2013 oleh Karin Lundgren dan Tord Kjellstorm (Sustainability, 2013) yang meneliti mengenai efek buruk penggunaan AC bagi masalah-masalah perubahan iklim di Asia Tenggara.
Selain itu, mereka mengatakan bahwa wilayah tropikal berisiko paling besar ketika terjadi kenaikan suhu global terutama bagi kesehatan masyarakat perkotaan. Perlu ada siasat menurut perencanaan perkotaan dan arsitektur untuk mengatur agar kebutuhan pendingin bisa cukup bagi masyarakat yang membutuhkan tanpa perlu mengandalkan AC.
Perlu disadari bahwa secara nasional, institusi keagamaan lintas agama belum memiliki gerakan terpadu untuk mengatasi persoalan yang menyelimuti dunia sekarang ini. Meski demikian, dalam tataran lokal, sudah ada komitmen nyata dari institusi keagamaan seperti mengadakan pesantren ekologi yang mendidik rekan-rekan muslim untuk peduli dengan isu-isu lingkungan hidup.
Lalu pendirian organisasi yang memang fokus untuk menangani bencana isu perubahan iklim seperti yang dilakukan oleh organisasi Nadhlatul Ulama. Begitu juga dengan isu mengenai Ketidakadilan ekologis yang sudah beberapa kali dibicarakan di lingkungan gereja Indonesia. Tapi secara umum belum ada gerakan bersama untuk merespon persoalan perubahan iklim.
Beberapa solusi yang bisa ditawarkan misalnya merenovasi atau membangun gedung ibadah yang ramah terhadap suhu panas dari kondisi alam Indonesia. Salah satu contoh bisa disebut di sini adalah Masjid Al Risyad karya arsitek cum Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil. Ventilasi udara di masjid tersebut dirancang sedemikian rupa agar dapat membuat gedung ibadah itu menjadi sejuk tanpa perlu adanya pendingin ruangan.
Contoh lain dari ini misalnya membangun gedung peribadatan yang menimba inspirasi dari kebudayaan lokal. Semisal, membangun tempat ibadah yang mengambil konsep Rumah Wale Minahasa yang menjamin agar penghuninya tidak kepanasan saat berada di dalamnya. Pelajaran pentingnya adalah bahwa kebudayaan lokal dan kearifan di dalamnya memiliki sensitivitas lingkungan yang baik.
Alternatif solusi lain dengan mencontoh institusi agama Kristen di Inggris adalah dengan memindah waktu ibadah. Beberapa institusi keagamaan Kristen di Indonesia memang sudah punya jam ibadah beberapa kali dalam sehari. Perlu dipikirkan lagi soal konsep ibadah yang memanfaatkan tenaga solar, misalnya melaksanakan ibadah pada waktu sore hari setelah tenaga solar selesai dipanen dalam hari tersebut.
Pemindahan jam ini tentu memerlukan pertimbangan teologis dan konteks terkait yang serius. Tapi ini penting untuk dilihat misalnya oleh Gereja Katholik Indonesia, Gereja Protestan Indonesia bagian Barat-GPIB dan Gereja Masehi Injili di Minahasa-GMIM, serta institusi keagamaan lain di Indonesia yang mewarisi gedung yang berumur tua. Persoalan dari warisan fasilitas tua ini adalah masalah perubahan iklim belum menjadi kepedulian para pendiri gedung ibadah kita.
Selain solusi yang sudah disebutkan, tentu langkah jelas yang perlu diambil oleh institusi keagamaan di Indonesia adalah memprioritaskan penggunaan teknologi pro lingkungan semisal alat penerangan LED, memulai penggunaan tenaga solar dan pemanfaatan air hujan. Institusi keagamaan di Indonesia sudah seharusnya memulai keterlibatannya dalam persoalan ini. Semua ini demi menghindari penyangkalan terhadap kondisi yang ada di hadapan kita. Harapannya semoga hasrat beragama orang Indonesia yang menggebu bisa dibarengi dengan kepedulian terhadap persoalan nyata ini.
Yan Okhtavianus Kalampung kandidat Doktoral Teologi dan Studi Keagamaan di University of Leeds, UK
Simak juga Video: Startup di California Optimalkan Batu Kapur untuk Serap CO2 Lebih Cepat