Selamat Datang Masa Depan Uang

ADVERTISEMENT

Kolom

Selamat Datang Masa Depan Uang

Abraham Wahyu Nugroho - detikNews
Selasa, 21 Feb 2023 15:30 WIB
a hand hold a smart phone and pay with it.
Foto: iStock
Jakarta -

Lompatan teknologi telah menandai wajah baru ekonomi keuangan kita. Pasar valas, pasar uang, pasar modal, pasar komoditas, sampai dengan pasar barang dan jasa setidaknya saling berkaitan dalam suatu infrastruktur yang tersentralisasi. Di sini, fungsi klasik suatu bank sentral berperan, di mana bank sentral suatu negara sebagai sentral nadi perekonomian khususnya dalam penerbitan dan sirkulasi mata uang.

Seiring perubahan waktu, fungsi tersebut seolah 'terdisrupsi' dengan pemikiran bahwa fungsi tersebut dapat pula terdesentralisasi. Ekonomi digital yang digital yang ditandai kemunculan aset kripto dengan segala turunannya menjadi tonggak momentum ini. Hal ini turut didorong oleh ekosistem penunjangnya, seperti defi (decentralized finance), web 3.0, sampai dengan kemunculan metaverse. Kata kunci yakni desentralisasi adalah keniscayaan masa depan, maka banyak pengambil kebijakan di berbagai negara mengambil posisi atas fenomena ini.

Merujuk demografi Indonesia di mana terdapat 370,1 juta penggunaan seluler (jauh di atas jumlah penduduk saat ini sebanyak 240 juta jiwa), 205 juta pengguna internet, serta 191 juta pengguna media sosial adalah gambaran singkat semakin mendigitalnya masyarakat kita. Belum lagi melihat salah satu indikator data pertumbuhan ekonomi digital berupa uang elektronik dan e-commerce yang semakin progresif sejak Covid-19 di pengujung 2020.

Data dan fakta tersebut setidaknya menjadi dasar awal pemikiran bagi otoritas ekonomi keuangan bagaimana menyusun lanskap dan road map ekonomi digital masa depan. Otoritas harus mampu membawa breakthrough perubahan digitalisasi ini dengan tetap berpijak pada kesejahteraan masyarakat dan kemaslahatan bersama.

Pemikiran Bersama

Selayaknya keping logam dan kerang yang lambat laun tergantikan oleh mata uang logam dan kertas, menjadi pemikiran bersama apakah uang yang saat ini kita pegang dan simpan akan tergantikan, atau setidaknya berdampingan dengan ciri konsep ekonomi digital yakni digital rupiah? Bagi sebagian pembaca, mungkin konsep digital rupiah agak sulit dibedakan dengan uang elektronik yang sehari-hari kita gunakan.

Berdasarkan peruntukannya, digital rupiah ditujukan sebagai mata uang yang sah, berfungsi berdampingan atau dapat menggantikan rupiah fisik, serta diterbitkan oleh bank sentral. Sedangkan uang elektronik merupakan salah satu jenis sistem pembayaran berbentuk elektronik, terdapat mekanisme perubahan bentuk fisik ke elektronik sebelum digunakan, serta diterbitkan oleh bank umum.

Kesamaan digital rupiah dan uang elektronik adalah penerbitan dan peredarannya sama-sama dikontrol oleh bank sentral. Dibandingkan dengan aset kripto, mengutip dari kajian white paper bertajuk Proyek Garuda yang dilakukan bank sentral kita saat ini, digital rupiah memiliki dasar penciptaan yang berbeda dengan tujuan aset kripto. Kepastian hukum, dilindungi dan diawasi peredarannya oleh bank sentral, serta nilainya yang tidak spekulatif adalah contoh pembeda digital rupiah dengan aset kripto.

Memberikan Efisiensi

Terdapat banyak faktor kenapa otoritas mulai melirik digital rupiah ini. Faktor kecepatan distribusi, efektivitas peredaran dalam mendukung ekonomi digital, kemudahan pencatatan transaksi, dukungan infrastruktur teknologi secara cross border, serta mengurangi efek shadow currency, shadow central banking, dan shadow economy.

Permasalahan yang selama ini terjadi di masyarakat misalnya masih tingginya peredaran uang palsu serta minimnya keterjangkauan uang di wilayah masyarakat terluar setidaknya dapat dikurangi dengan kehadiran digital rupiah. Namun begitu, digital rupiah juga masih terdapat blind spot. Antisipasi risiko keamanan serta keandalan infrastruktur dan ekosistemnya (baik dari sisi wholesale maupun retail side) menjadi prasyarat penting.

Dari sisi keuangan negara, Mulyono (2022) menyampaikan bahwa digital rupiah dapat memberikan efisiensi dalam modul penerimaan negara dalam bentuk pajak/bukan pajak serta modul pembayaran negara. Hal ini tentunya berkorelasi dalam kecepatan (velocity) penyerapan anggaran pusat ke seluruh Nusantara.

Sebagai sebuah milestone, digital rupiah saat ini masih dalam tahap kajian pengembangan. Pun, belum banyak bank sentral negara maju yang berani mengimplementasikan secara penuh (misalnya hanya di Tiongkok dan Swedia). Pengamat mengingatkan bahwa dibutuhkan kajian lebih dalam dengan mempertimbangkan lanskap ekonomi keuangan suatu negara dalam mengaplikasikan mata uang digital.

Hal tersebut tentunya bukan menjadi halangan bagi otoritas di Indonesia untuk terus berinovasi. Koordinasi erat antar otoritas ekonomi keuangan, lembaga keuangan, pelaku usaha, dan publik sebagai end user harus turut dilibatkan.

Dari sisi payung hukum, UU Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK) yang baru saja disahkan pemerintah telah memasukkan digital rupiah sebagai salah satu mata uang yang sah dalam salah satu pasalnya. Hal ini memberikan kepastian dan jaminan bahwa Indonesia tidak lama lagi dapat disejajarkan dengan negara maju lainnya di mana paparan optimalisasi penetrasi ekonomi keuangan digital menjadi salah satu prasyaratnya.

(mmu/mmu)


ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT