Polemik terjadi di masyarakat setelah terdakwa dalam kasus koperasi simpan pinjam (KSP) Indosurya divonis lepas (onslag) oleh Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Barat. Polemik terjadi menyoal putusan lepas yang dianggap janggal tersebut.
Sebenarnya jika ditelusuri lebih lanjut, putusan (vonis) hakim tidak berdiri sendiri. Dalam sistem peradilan pidana vonis hakim akan sangat tergantung pada dakwaan dan tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) beserta pembuktian yang dihadirkan di persidangan.
Putusan lepas PN Jakarta Barat ini bisa dilihat dari dua perspektif; pertama, perspektif substansi hukum; kedua, berkaitan dengan rasa keadilan dan kemanfaatan pada sebuah putusan hakim. Pertanyaan kritisnya bukan sekadar menilai bahwa putusan PN Jakarta Barat terkait dengan vonis lepas KSP Indosurya adalah janggal, namun lebih lanjut yang perlu digali mengapa ada ruang bagi hakim untuk memberikan vonis lepas tersebut.
Sulit bagi majelis hakim untuk memutus lepas jika dakwaan dan tuntutan JPU sempurna dan didukung oleh pembuktian yang menguatkan. Jika menelaah kasus pidana KSP Indosurya di PN Jakarta Barat, ada hal menarik terkait substansi hukum yang dapat mengantarkan kesimpulan pada pemahaman mengapa vonis lepas yang kini dipersoalkan terjadi.
Jika mengamati dakwaan dan tuntutan JPU yang menggunakan Pasal 46 ayat 1 UU RI Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU RI Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP, maka tampak bahwa kejanggalan justru terletak pada dakwaan dan tuntutan yang dibuat oleh JPU itu sendiri.
Badan hukum KSP Indosurya adalah koperasi simpan pinjam, dengan demikian KSP Indosurya tidaklah tunduk pada UU RI Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU RI Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Dengan demikian secara substansi tampaklah jika dakwaan dan tuntutan yang dibuat JPU tersebut kurang cermat dengan mendakwa KSP Indosurya dengan UU Perbankan padahal jelas bahwa KSP Indosurya berbadan hukum koperasi.
Upaya
Akibat dari penerapan UU Perbankan pada kasus KSP Indosurya tersebut adalah majelis hakim berpendapat bahwa UU Perbankan tidak dapat diterapkan dan meskipun perbuatan yang didakwakan JPU terbukti, maka perbuatan tersebut tidak diklasifikasikan pada perbuatan pidana. Perbuatan terdakwa diklasifikasikan pada ranah perdata.
Secara hukum, dengan bentuk badan hukum KSP Indosurya adalah koperasi, maka sesuai Pasal 44 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 Tentang Koperasi (UU Koperasi), maka koperasi memang berhak menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali dalam kegiatan investasi.
Pengumpulan dana dari masyarakat beserta pengembaliannya dengan jumlah (termasuk bunga) yang diperjanjikan dipandang sebagai perbuatan perdata yang jika terjadi gagal bayar, maka diselesaikan melalui Pengadilan Niaga (guna penyelesaian piutang anggota KSP Indosurya yang belum terbayar). Artinya jika kini kejaksaan mengajukan upaya hukum dengan mempertahankan konstruksi dakwaan dan tuntutan yang dipergunakan pada persidangan di PN Jakarta Barat, maka akan terdapat banyak celah hukum yang melemahkan upaya hukum yang dilakukan kejaksaan.
Saat ini banyak pejabat publik, seperti misalnya Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) yang memberi atensi khusus pada vonis lepas KSP Indosurya. Maka seandainya pun upaya hukum yang dilakukan kejaksaan berhasil, hal ini bukanlah karena argumentasi hukum yang solidamun, lebih pada adanya political pressure dan majelis hakim yang mengadili akan memilih putusan populis meskipun berdasarkan tuntutan yang 'kurang cermat'.
Dalam kasus KSP Indosurya yang saat ini mendapat sorotan publik dan atensi para pihak, mungkin saja majelis hakim yang memeriksa perkara ini menggunakan pendekatan keadilan dan kemanfaatan serta mengabaikan esensi hukum (kepastian hukum dari upaya hukum berdasarkan tuntutan yang kurang cermat dari JPU).
Gustav Radburch (1960), seorang ahli peradilan menjelaskan bahwa putusan hakim akan mendasarkan pada keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum, meskipun ketiganya seperti pendulum yang tidak mungkin dipenuhi oleh majelis hakim secara bersamaan. Dalam hal ini jika JPU mengajukan upaya hukum atas tuntutan yang mendasarkan pada UU Perbankan, jika hakim agung pada Mahkamah Agung (MA) menggunakan pendekatan keadilan pada korban dan kemanfaatan, maka kemungkinan upaya hukum kasasi akan diterima.
Sebaliknya jika hakim agung pada MA menggunakan pendekatan kepastian hukum, maka kemungkinan vonis PN Jakarta Barat akan ditegaskan dalam upaya hukum kasasi yang dilakukan JPU.
Alternatif
Seandainya upaya hukum kasasi yang dilakukan oleh JPU dengan berdasarkan UU Perbankan gagal dan Putusan Kasasi pada MA akhirnya menguatkan vonis PN Jakarta Barat, maka upaya yang dapat dilakukan untuk mengejar keadilan adalah kembali membuat laporan pidana baru terhadap KSP Indosurya. Meskipun, laporan pidana yang baru akan memakan waktu yang tidak singkat serta perlu dibuat secara cermat agar nantinya tidak dinyatakan nebis in idem yakni seorang terdakwa tidak boleh diadili dua kali untuk tindak pidana (perbuatan) yang sama.
Perspektif yang harus dibangun jika para korban membuat laporan baru adalah adanya dugaan penipuan yakni ketika adanya janji atau tindakan dari KSP Indosurya sehingga membuat para korban berinvestasi padahal janji tersebut diketahui nyata-nyata tidak benar adanya. Sehingga hal ini akan berbeda dengan tuntutan sebelumnya yang mengkualifikasi aktivitas KSP Indosurya illegal berdasarkan UU Perbankan.
Jika perkara ini difokuskan pada adanya janji atau tindakan yang nyata-nyata diketahui tidak benar adanya serta KSP Indosurya menerima manfaat dari janji atau tindakan tersebut, maka selain adanya argumentasi yang kuat untuk menghindari nebis in idem, perkara ini juga cukup pemenuhan unsur pada tindak pidana penipuan, penggelapan serta tindak pidana pencucian uang.
Dengan demikian mengacu pada konstruksi hukum di atas ,maka proses hukum terhadap tindak pidana yang baru dapat mulai untuk dilakukan. Hal ini mengingat proses hukum yang memakan waktu yang panjang hingga adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap.
Proses hukum untuk tindak pidana baru perlu dilakukan selain sebagai double cover jika upaya hukum yang dilakukan kejaksaan kandas atau hukuman tidak mencerminkan rasa keadilan pada masyarakat korban khususnya. Dalam hal ini tujuan proses hukum yang dilakukan oleh para korban selain mengembalikan dana investasinya, pelaku investasi ilegal dapat dihukum maksimal sehingga terdapat efek jera pada pelaku atau calon pelaku agar tidak terulang kembali investasi ilegal yang merugikan masyarakat.
Dr. Rio Christiawan, S.H, M.Hum, M.Kn Associate Professor, ahli hukum investasi dan pembiayaan
(mmu/mmu)