Masyarakat Indonesia mempunyai tradisi kongkow-kongkow, omong-omong, ataupun obrol-obrol. Mereka menjalin silahturahmi secara informal; ini bisa terjadi di warung kopi, gardu ronda, atau tempat-tempat tak terduga.
Kongkow-kongkow bukanlah omong kosong. Walau dalam "forum" ini adakalanya ngomongnya saling nyerocos, namun keakraban lebih diutamakan, penuh kebersamaan. Yang diperbincangkan banyak hal, terutama yang lagi ramai diberitakan media arus utama ataupun media sosial. Termasuk dalam tahun politik ini.
Politik hari-hari ini menjadi tema percakapan yang menarik dalam kongkow. Hal ini seiring dengan begitu tinggi intensitas pemberitaan seputar politik dari media arus utama maupun media sosial. Maka omong-omong soal politik sudah merembes sampai di gardu ronda ataupun warung kopi. Tidak lagi semata-mata dalam acara-acara talkshow di televisi, ataupun diskusi dalam mimbar akademis di kampus maupun seminar.
Ngomongin Politik
Biasanya, kalangan masyarakat kelas "warung kopi" atau kelas "gardu ronda" ogah berbicara politik. Tidak seperti halnya masyarakat kelas "kampus" ataupun kelas "seminar", membicarakan soal politik sudah menjadi makanan empuk sehari-hari. Adapun masyarakat kelas "warung kopi" tidak suka membicarakan politik karena dua hal. Pertama, bagi mereka urusan perut lebih utama; kesibukan keseharian fokus ke sini. Kedua, menganggap urusan politik adalah urusan orang "gedean".
Namun, belakangan ini mereka gemar juga ngomongin politik. Tentu dengan takaran dan kapasitas intelektualnya masing-masing. Masyarakat dari lapisan ini membicarakan politik –walau perkara ini bukan urusan dasarnya— sama sekali tidaklah ganjil. Ketika media sosial maupun media arus utama menyuguhkan berita-berita partai politik bersama elite-elitenya begitu gencar, maka masyarakat menganggap "turut" memperbincangkan soal politik adalah hal yang wajar.
Bersama ini sekaligus menandakan bahwa zaman telah berubah. Apa yang dibicarakan dan siapa yang membicarakan siapa, begitu gampang diketahui dalam era digital. Era inilah suatu era atau zaman yang sudah mengalami kondisi perkembangan kemajuan dalam ranah kehidupan. Maka perbincangan masyarakat terhadap soal-soal politik pada era digital ini senantiasa menghiasi media sosial (medsos).
Bermutu atau mubazir, akadamis atau kampungan, konyol atau sotoy, bukanlah hal yang utama untuk menilai gemuruhnya perbincangan politik dalam era digital di medsos. Selain di medsos, kita sedang menyaksikan betapa maraknya politik menjadi bahan pergunjingan. Di kedai-kedai kopi, gardu roda, atau tempat-tempat informal lainnya, mereka seperti "pandai" menganalisis dan otak-atik politik.
Semiotika itu memberi isyarat: siapa saja punya hak untuk ngomongin politik –bahkan semau-maunya. Apalagi masyarakat acapkali menonton acara televisi yang menghadirkan elite-elite politik berdebat, seperti ngomong semau-maunya. Manakala sejumlah acara diskusi di televisi membawakan tema-tema politik, menghadirkan elite-elite politik, lantas perdebatan yang terjadi sama sekali tidak mengusung ide-ide besar, maka yang terjadi: politik semacam menu yang bikin muak.
Sepertinya kita tengah memasuki musim kongkow politik yang penuh sindrom. Lantas dunia politik yang secara esensial demikian luas membentang seiring luas cakrawala pikir, dan begitu menyeluruh dalam sendi-sendi kehidupan, ketika dipadatkan dalam pengertian urusannya "itu-itu saja" dan orangnya "itu-itu lagi" yang lebih banyak diberitakan, maka dunia politik menjadi dunia gosip dan gibah.
Dunia politik yang diasumsikan menjadi dunia gosip dan gibah pernah dicibir Napoleon Bonaparte (1769-1821) sang kaisar dari Prancis. Dia bilang, "Dalam politik, kedunguan itu bukanlah halangan." Abad ke-18 kala itu dunia politik Prancis tidak progresif, diskusi-diskusi akademisnya bersifat gosip. Tahun 1789 di Prancis, konstelasi politiknya mengalami goncangan. Wakil rakyat dari berbagai golongan tidak sinkron. Politisi dari kalangan bangsawan dan kalangan rakyat biasa saling mencekik hak asasi, tidak ada lagi pertukaran gagas-gagasan besar, "kedunguan bukanlah halangan" dalam berpolitik.
Tetapi kini abad ke-21, di Indonesia, apa yang dicibirkan Napoleon terasa ada relevansinya. Lantas menelisik musim kongkow-kongkow politik di tahun politik ini –baik ini yang terjadi di pojok-pojok warung kopi, medsos, maupun tayangan debat politik di televisi— merosot menjadi percakapan gosip dan gibah, membuat sejumlah kalangan ilmuwan politik cemas.
Kongkow Politik di TV
Menonton siaran televisi pada dasarnya mengasyikkan dan menambah pengetahuan. Tapi tidak sedikit acara televisi yang nilainya justru sampah peradaban dan mubazir. Untuk kebutuhan orang dewasa guna mengetahui kontekstual politik dan memperluas wawasan, maka tayangan talkshow diskusi politik seperti Rosi, Mata Najwa, Catatan Demokrasi, maupun Satu Meja The Forum sangat banyak pemirsanya.
Dalam tayangan-tayangan itu akademisi, pengamat, peneliti, bahkan elite partai tampil memberikan informasi dan gagasan, ada kalanya saling adu debat. Sayangnya, kalangan terdidik ini bilamana debat politik di televisi kelewat nyerocos, mau menang-menangan. Dalam tayangan talkshow diskusi politik di televisi acapkali kita saksikan elite politik dengan elite politik saat berdebat, seperti orang tak mau berhenti berbicara.
Mengetahui tata cara debat yang mirip perdebatan di warung kopi dan di pojok-pojok gardu ronda, masyarakat tentu saja tidak dapat edukasi politik. Dalam tahun politik ini intensitas begitu demikian tinggi, maka ada sebagian masyarakat beranggapan bila debat politik, ya nyerocos begitu.
Dalam tradisi kebudayaan intelektual orang Indonesia, debat yang nyerocos bukanlah cirinya. Sekalipun bernama kongkow-kongkow, ngobrol-ngobrol, ataupun omong-omong, dalam format diskusi begini tetaplah terlekat ciri kaum intelektual Indonesia yang "sersan" --serius tapi santai. Tidak saling nyerocos.
Ketika terjadi perdebatan politik di kedai kopi maupun di gardu ronda, sifatnya kongkow-kongkow. Walaupun perdebatan ini datang bukan dari kalangan akademis, namun serius tapi santai tetap terjadi karena sistem nilai kebudayaan bangsanya telah membentuk. Maka kita patut bertanya-tanya, mengapa para elite-elite politik yang saling berdebat di acara televisi itu pada saling nyerocos, dan sama sekali tidak terlihat serius tapi santai?
Yang terlihat malah ekspresi ambisi yang meletup-letup untuk memenangkan pertarungan. Apakah mereka tidak mengenal sistem nilai kebudayaan Indonesia tentang filsafat berdebat? Berdebat yang tidak karu-karuan, cerewet, dan nyerocos, menurut ungkapan filsafat kebudayaan Indonesia disebut "banyak mulut."
Itulah mengapa nilai-nilai kebudayaan Indonesia mengambil idiomatik mulut begitu banyak. Antara lain untuk "menasihati" seseorang yang mulutnya tidak berhenti-henti berkata, nilai filsafat kebudayaan Indonesia yang bernama peribahasa mengatakannya: mulut bagai ekor ayam diembus. Maka kongkow politik hanya menampilkan elite-elite politik yang terlalu banyak "mulut bagai ekor ayam diembus."
Role Model
Sebetulnya akses pembicaraan politik di kedai kopi atau di gardu ronda, cenderung nihil untuk kontribusi perubahan peta perpolitikan. Tapi ketika elite-elite politik tampil di acara televisi dalam berdiskusi dan berdebat, acapkali tidak berbau akademis dalam berdebat itu, membuat sejumlah kalangan menganggap itu juga omongan politik mirip di kedai kopi atau di gardu ronda.
Elite-elite politik, pengamat politik, maupun akademisi politik, ketika tampil dalam acara debat politik di televisi, bagaimanapun, harus menyadari telah teridentifikasi sebagai kaum terpelajar yang menjadi role model yang inspiratif. Maka perdebatan yang terjadi menjadi letupan energi transformasional, mencontohkan debat yang intelek penuh karakteristik subjek yang menyampaikan informasi dan gagasan.
Masyarakat jadi tahu bahwa perdebatan kaum terpelajar memang begitu, tidak nyerocos mirip kongkow-kongkow politik di warung kopi maupun di gardu ronda. Oleh karena itu acara diskusi politik di televisi yang kerap terjadi perdebatan, dengan adanya percikan energi transformasional tadi membuat perdebatan begitu indah dan memukau. Ini membuat ide-ide bagus yang berkilau gampang disamber pemirsa untuk menambah wawasan. Telah terjadi komunikasi yang efektif atas perkara yang diperdebatkan dengan para penonton.
Debat bukan sembarang debat, inilah harusnya pameo yang digenggam oleh para kaum terpelajar yang bernama elite-elite politik maupun pengamat politik dalam menyampaikan argumennya di acara diskusi politik di televisi. Sayangnya, dalam musim kongkow politik ini masyarakat hanya melihat "mulut bagai ekor ayam diembus."
Zackir L Makmur pemerhati masalah sosial kemasyarakatan, Anggota Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas (IKAL), aktif di IKAL Strategic Center (ISC), penulis buku 'Manusia Dibedakan Demi Politik' (2020)