Beberapa tahun yang lalu, saya terjebak di sebuah rombongan yang keren dan cerdas. Yang jika saya tak ada di situ, niscaya tak akan mengurangi nilai baik mereka barang secuil zarrah. Namun, meski saya ada di situ, tak serta merta saya bisa ketularan keren dan cerdas. Namanya juga hanya diajak dan dipaksa menemani.
Mereka adalah para anak muda kota yang mendalami perihal isu lingkungan. Mereka rajin membicarakan dan melakukan perubahan menuju ke arah yang lebih baik. Dan hari itu, sebuah desa wisata yang masih agak baru tengah kami sambangi. Bisa saja disebut jalan-jalan. Tapi, saya rasa sebutan yang paling enak didengar keluar dari mulut salah satu tetua rombongan: ikut mengapresiasi.
Tempat itu lolos uji untuk bisa disebut sebagai desa. Ia punya beragam ciri dan banyak faktor yang bisa digunakan untuk membedakannya dengan kota. Namun, banyak hal yang tak serta merta adalah hal baru bagi saya. Sawahnya, sungai kecil yang mengingatkan saya pada kakus plung berjamaah, hingga logat penduduknya yang akrab di kuping. Pasalnya, dari segi fisik dan rasa, ia punya banyak kemiripan dengan wilayah tempat tinggal saya.
Hari itu, saya seperti seorang siswa kelas delapan yang diajak study tour ke belakang rumah sendiri. Kami dipandu oleh seorang pria yang perawakannya mengingatkan saya pada Heru Jejak Si Gundul, dan mampu menjelaskan semuanya dengan sangat baik. Termasuk soal pertanian yang tak mencukupi perekonomian warga, sehingga muncul ide menjadikan kawasan itu sebagai desa wisata. Intinya, saya jadi memaklumi dan memaafkan harga pisang goreng dan kopi yang bagi saya sangat berlebihan.
Begitu juga biaya yang harus dikeluarkan untuk sekedar bersusah payah cosplay menjadi orang desa alias petani. Walau hingga hari ini saya selalu skeptis dengan kegiatan penyelamatan lewat desa-desa yang diwisatakan. Meski saya mengaku tak banyak hal baru yang didapat, tetap ada pengalaman baru yang begitu berharga. Salah satunya tentang menanam kebutuhan pangan sendiri.
Pak pemandu mengajak kami ke halaman depan dan belakang para penduduk desa. Banyak pohon pisang, pepaya, labu, singkong, bahkan buah-buahan berkayu keras macam jambu dan mangga. Kolam ikan lele dan nila ada di beberapa rumah yang memiliki pekarangan agak lebih lega daripada yang lain. Itu adalah pemandangan langka bagi orang desa macam saya, pun sesuatu yang mengingatkan saya pada masa kecil. Saya kira kegiatan apresiasi ini bisa saya anggap tak buruk-buruk amat.
Maka, atas dasar terjebak nostalgia dan bujuk rayu pemandu, bibit jambu dan mangga lokal saya bawa pulang dengan ditebus beberapa lembar uang. Kawan serombongan saya pun melakukan hal yang sama. Mereka memang sudah sejak lama ikut budaya semacam urban farming, dan mereka memilih bibit buah yang cocok untuk berpartisipasi dalam budaya baik mereka. Apalagi kalau bukan bibit yang dinarasikan mampu berbuah meski ditanam dalam pot yang cocok untuk halaman sempit.
Saya kira saya lebih beruntung perihal lahan dibanding kawan-kawan saya itu. Rasanya sudah tak sabar untuk segera pulang, dan membenamkan dua anakan pohon pilihan saya pada pekarangan luas di belakang rumah warisan mbah buyut. Sudah terbayang bertahun nanti rumah saya akan rimbun lagi, buah tumbuh dengan sukacita, dan dahan-dahan itu bisa menjadi tiang ayunan yang menyenangkan.
***
Pohon buah di sekitar rumah saya terakhir terlihat saat saya masih SMP. Tepatnya pohon rambutan berumur hampir tiga puluh tahun. Dari saya balita hingga saat itu, tiga pohon besar sudah ditebang. Ada jambu air, rambutan, dan belimbing. Sejak pohon rambutan sirna, kenangan akan ayunan, memanen buahnya, serta keriuhan adu memanjat dengan kawan masa kecil sudah tak punya monumennya lagi.
Mungkin itu juga yang dirasakan oleh kawan-kawan lain yang juga kehilangan pohon di depan rumah mereka. Saya ingat saat masih remaja dan ikut kerja bakti, seorang tua memberi jawaban atas pohon-pohon buah di sekitaran wilayah kami yang ditebang. Begitu juga perihal langkanya kolam ikan, kandang ayam, dan pohon singkong. Kemajuan adalah jawaban darinya dan diamini oleh yang lain. Kemajuan yang bermakna: rumah berhimpitan dan halaman sempit tanpa sedikit pun kehijauan.
Saya tak begitu suka istilah itu. Karena jika ada kemajuan, berarti harus ada yang menjadi pembandingnya, alias si ketidakmajuan atau justru ketertinggalan. Kini, tak ada satu pun rumah yang masih memiliki pohon besar. Halaman bukan lagi pusat penghasil oksigen. Kalau tak jadi garasi, ya, jadi tempat usaha atau rumah baru. Kini, banyak warga yang hanya punya halaman depan satu sampai satu setengah meter dari jalan raya.
Jangan tanya perihal sisi kanan dan kiri, apalagi halaman belakang (kecuali milik saya dan tiga rumah lain). Sisi-sisi rumah yang saat saya kecil dulu selalu penuh dengan pohon pisang dan pepaya. Seperti banyak kampung lain, kini sawah di desa kami juga banyak yang sudah dialihfungsikan menjadi rumah, kafe, dan toko.
Kebutuhan akan rumah adalah keniscayaan di mana pun, dan itu menjangkiti kampung saya. Saya pikir, swasembada pangan bukan hal mudah, apalagi menanam pohon buah yang besar-besar dan rindang. Bahkan tetap sulit untuk pihak yang masih bisa mengaku sebagai orang desa. Urban farming adalah adaptasi budaya jadul, bahkan dianggap kuno oleh sebagian orang. Ia bukti dari kegiatan menggali lagi budaya lama, dan dikemas sebagai budaya baru yang dianggap sangat mulia: bertani, di rumah, dan di kota.
Bertani di perkotaan? Itu masih terdengar aneh bagi saya. Sejak kecil, gambaran saya soal bertani adalah desa, yang sawah dan kebunnya luas, penduduknya punya halaman belakang dan depan, memelihara ayam, rajin kerja bakti, seperti dalam ilustrasi di buku paket IPS dan Bahasa Indonesia itu. Seperti keadaan desa saya dulu, dulu sekali. Ya, pertanian memang tak pernah menunjukkan tanda-tanda akan menjadi tokoh utama. Meski masih banyak yang getol meromantisisasi swasembada pangan, serta mengajak anak muda untuk jadi petani tanpa perlindungan yang nyata.
Kini kampung saya sudah cocok untuk menerapkan urban farming. Sebuah adaptasi dari budaya milik sendiri yang sebelumnya saya kira tak akan pernah cocok bagi kami. Tetangga saya mulai menanam buah, sayur, hingga rempah-rempah ala kadarnya dalam pot. Banyak juga tetangga yang mulai melakukan hidroponik kecil-kecilan. Semacam ember berisi lele dengan beberapa batang kangkung di tutupnya.
Minimal ada kehidupan yang berlanjut, meski itu hanya selusin lele dan kangkung yang jika dimasak hanya cukup untuk satu suapan. Setidaknya, ada perubahan ke arah yang jelas. Atau, boleh saja dianggap sebagai pengisi waktu senggang, semacam kegiatan yang bermanfaat. Apakah ini tandanya jika kami sudah mulai urban juga? Mungkin saya saja yang sulit move on dan belum menyadari bahwa desa saya sudah tak terlalu desa lagi. Saya jadi tak bisa membayangkan jika nanti desa saya sudah tak punya lagi beragam hal yang membedakannya dengan kota, sama sekali.
***
Pagi itu saya menengok pohon mangga, jambu, durian, pisang, singkong, hingga rambutan di belakang rumah. Belum ada pohon berkayu yang bisa dipanen, meski beberapa sudah setinggi dua meter lebih. Berbeda dengan kawan saya di kota yang halamannya sempit, mereka sudah beberapa kali panen mangga. Maklum, pohon saya memang pohon lokal yang membutuhkan waktu lama untuk sekedar tumbuh tinggi, apalagi berbuah.
Tapi, ayunan butuh batang kuat, bukan buah yang ranum, dan hanya pohon jenis itu yang bisa mengakomodasi ayunan gantung. Lagi pula saya sudah bahagia, dan merasa sudah mendapatkan banyak hal baik tanpa harus sampai ke fase memetik buahnya.
Kemajuan. Entah sudah berapa generasi yang menggunakan istilah itu ketika perubahan terjadi di kampung kami. Mungkin sejak rumah mbah buyut saya didirikan, dan kebetulan menjadi salah satu rumah tertua di kampung saya. Tak menutup kemungkinan, saat pembangunannya ada beberapa pohon terusir dari tanah itu, seperti saat ini. Siang itu, mereka semua dijadwalkan sudah harus ditebang.
Segerombolan orang yang diundang paklik saya untuk melakukan pekerjaan itu sudah tiba. Kebun di belakang rumah akan segera diratakan, diberi fondasi, dan menjadi rumah untuk keluarga paklik saya. Labu, bayam, cabai, dan tanaman hias di jalan selebar satu meter samping rumah pun harus dihilangkan. Harus tersenyum, meski kebanyakan dari mereka sudah saya rawat sejak SD.
Soal memanen pangan dari kebun sendiri, saya bisa dibilang agak gagal. Tapi, saya tak mau menyerah, walau keadaan sudah seperti itu. Saya pun membuka gawai dan mencari tahu harga pot gerabah, drum bekas, beserta bibit pohon buah yang cocok untuk halaman sempit. Artinya, cita-cita soal ayunan yang menggantung di dahan harus saya anggap sebagai angan semata.
Perlu waktu lagi untuk bisa menikmati buah dari pohon sendiri, saya perlu menunggu dan bersabar untuk mengulang dari awal. Untuk sementara, saya bisa melakukan kebiasaan saya sebelumnya. Jika ingin buah, saya bisa mendapatkannya di kios buah dekat rumah, atau pergi ke pasar sayur jika ingin singkong dan ubi. Atau jika sedang mau lele goreng, go food saja dulu. Tak perlu melankoli. Ya, inilah yang namanya kemajuan, kan?