Vonis hakim untuk Ferdy Sambo Cs sudah diketuk. Sambo sebagai otak pelaku divonis mati, Putri Chandrawati 20 tahun penjara, Kuat Maruf 15 tahun penjara, Ricky Rizal 13 tahun penjara, dan Richard Eliezer sebagai pengungkap tabir, justice kolaborator, divonis 1,5 tahun penjara. Terlepas dari masih ada jalur banding, tetapi vonis putusan hakim di perkara ini sedikit banyak membuktikan bahwa sinar rasa keadilan itu masih ada, dengan vonis maksimal untuk Ferdy Sambo, dan vonis "bijak dan adil" untuk Richard Eliezer, yang telah berani berkata jujur dan mengungkap tabir gelap kematian Yosua.
Apa yang diputuskan hakim Wahyu Iman Santoso dkk menunjukkan bahwa etika dan independensi tetap dijunjung tinggi, tidak tunduk dan lemah di bawah intervensi kekuasaan dan gelimang iming-iming materi.
Etika dan Independensi
Setidaknya ada dua hal yang patut direnungkan kembali oleh para aparatur peradilan untuk kembali mengembalikan kepercayaan publik (public trust). Pertama, perihal eksistensi perilaku etika, yang semakin jelas manakala dikaitkan dengan para pemangku jabatan publik dan profesional yang sangat mengandalkan kepercayaan publik.
Ketua Mahkamah Agung Amerika Serikat (1953-1969) Earl Warren pernah mengatakan bahwa in civilized life, law floats in a sea of ethics (dalam kehidupan yang beradab, hukum mengapung di atas samudra etika). Perumpamaan tersebut mengandung makna agar hukum dapat tegak dan terjaga dengan baik, maka diperlukan pembangunan kesadaran etika masyarakat, terutama yang berada dalam pusaran peradilan.
Setiap pelanggaran terhadap hukum, kebanyakan adalah pelanggaran juga terhadap etika. Namun kontraposisinya, sesuatu yang melanggar etika belum tentu melanggar hukum.
Kedua, perihal independensi sistemik aparatur peradilan, terutama hakim. Sejatinya, kekuasaan kehakiman bersifat merdeka dan mandiri, sehingga harapan akan terwujudnya serangkaian proses secara utuh (keseluruhan), yang tidak terpatok hanya pada kekuasaan mengadili atau satu subsistem saja. Dengan kata lain, hakikat aparatur peradilan, terutama hakim dalam menjalankan tupoksinya merupakan independensi integral/sistemik, bukan independensi parsial.
Penegasan Indonesia sebagai negara yang berdasarkan hukum, tertuang dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 dan perubahannya yang menyatakan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat), tidak atas dasar kekuasaan belaka (machstaat). Konsekuensinya adalah adanya perlindungan hak asasi manusia, adanya kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan yang bebas dan tidak memihak, penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. serta didukung adanya legalitas dalam arti hukum dalam segala bentuknya.
Perbaiki Citra
Semua sepakat bahwa Indonesia sebagai negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, yang menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM), serta menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan tersebut tanpa pengecualian. Namun, jika masih ada kenakalan para oknum penegak keadilan, justru berakibat pengeneralisasian masyarakat akan sulitnya mendapatkan keadilan di negeri ini. Kalaupun dapat keadilan, perlu mahar tak sedikit untuk menebus "keadilan" tersebut.
Apalagi ada asumsi yang mengatakan bahwa hukum pilih kasih, dengan penegakan dan pengadilan yang tebang pilih bagi mereka kaum minoritas yang tersangkut masalah, tetapi mencoba mencari keadilan dengan cara yang benar, justru semakin terdiskriminasi dan tersudutkan. Indikasi diskriminasi keadilan bagi mereka yang kurang berdaya dari segi finansial, dan hukum yang ramah bagi mereka yang berduit, semakin menunjukkan bahwa hukum sebagai panglima di negara hukum menjadi kurang berarti.
Tidak sedikitnya para pejabat yang jelas-jelas melanggar hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara, baik itu korupsi, maupun penyelewengan kewenangan yang merugikan negara, justru lolos dari jeratan sanksi yang mengancam, gara-gara punya lebih kuat finansial. Bertolak belakang dengan rakyat kecil dengan kasus sepele, misalnya mencuri sandal, kayu, menjadi pesakitan di balik jeruji besi. Hal tersebut menunjukkan bahwa makna menjunjung tinggi hukum di negara hukum masih sebatas formalitas, belum menjadi realitas.
Pertama, menyadari bahwa tugas dan kewenangan adalah sebagai amanah, sehingga perlu merenungi kembali makna etika profesi. Dalam konteks perlindungan dan penegakan hukum, maka perlu disadari bahwa penegakan hukum dan keadilan merupakan serangkaian proses yang cukup panjang dan dapat melibatkan berbagai instansi/pejabat negara.
Penegakan hukum di bidang hukum pidana misalnya, akan melibatkan aparat penyidik, aparat penuntut umum, aparat pengadilan dan aparat pelaksana pidana. Di mana dasar perlindungan hukum bagi rakyat atas tindakan pemerintah dilandasi oleh dua prinsip, yaitu prinsip HAM dan prinsip negara hukum.
Penegakan hukum merupakan tujuan utama pelaksanaan kehidupan masyarakat di negara hukum. Di mana, indikator keberhasilan penegakan hukum sangat ditentukan oleh peran aparatur penegak hukum dalam ranah peradilan, yang terlibat dalam proses tegaknya hukum itu sendiri. Sebagai suatu profesi di bidang hukum secara fungsional baik hakim, jaksa, dan advokat dituntut untuk memiliki suatu keahlian khusus sekaligus memahami secara mendalam mengenai ruang lingkup tugas dan utama mereka sebagai "pelayanan keadilan" bagi masyarakat.
Kedua, berusaha berlaku adil dalam konteks formal dan materiil. Pengertian adil atau keadilan memiliki sejarah pemikiran yang panjang. Sifat keadilan dalam perspektif hukum dapat dilihat dari dua arti pokok, yaitu dalam arti formal dan dalam arti materiil. Keadilan dalam arti formal menuntut hukum berlaku umum, sedangkan materiil menuntut agar setiap hukum harus sesuai dengan cita-cita keadilan masyarakat.
Penegakan hukum dan keadilan harus menggunakan jalur pemikiran yang tepat dengan alat bukti dan barang bukti untuk merealisasikan keadilan hukum dan isi hukum harus ditentukan oleh keyakinan etis, adil-tidaknya suatu perkara. Persoalan hukum menjadi nyata, manakala para perangkat hukum melaksanakan dengan baik serta melaksanakan rambu-rambut aturan yang telah dibakukan sehingga tidak terjadi penyelewengan, yaitu menggunakan kodifikasi dan unifikasi hukum demi terwujudnya kepastian hukum dan keadilan hukum.
Akhir penantian panjang dari pengadilan kasus yang membelit Sambo Cs ini setidaknya memberikan harapan baru bahwa rasa keadilan masih tersisa di negeri yang berlandaskan hukum, serta menunjukkan bahwa kejujuran belum tentu hancur, tetapi bisa jadi "mujur".
Harapannya, ketika para pengadil merenungkan kembali apa itu etika profesi hukum dan independensi sistemik dalam peradilan sebagai bentuk ikhtiar memperbaiki citra, khususnya ditunjukkan dalam pengambilan keputusan (vonis) yang secara moral dan material memberikan keadilan yang diharapkan dan dapat dipertanggungjawabkan, tentu akan dapat mengembalikan image aparatur peradilan yang tercoreng akibat ulah oknumnya yang memanfaatkan kesulitan orang lain untuk meraup keuntungan pribadi.
Kita yakin dan percaya bahwa para aparatur peradilan mampu untuk menjalankan amanah undang-undang untuk memberikan perlindungan dan jaminan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Muh. Fajaruddin Atsnan dosen UIN Antasari Banjarmasin
Simak juga 'Jokowi Tegaskan Tak Ikut Campur soal Vonis Sambo Cs':