Ludruk 'Merdeka' Cak Durasim
Catatan:
Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com

Jakarta - Bekupon omahe doro Melok Nippon tambah sengsoro (Bekupon rumah burung merpati ikut Jepang tambah sengsara)Kalimat itu meluncur dari mulut Cak Durasim, saat tanggapan (pentas) di desa Mojorejo, kabupaten Jombang di tahun 1943-an. Kidungan (nyanyian) itu terasa indah di telinga, karena diiringi gamelan. Respons penonton pun luar biasa, tampak dari applaus mereka berupa tepukan dan siulan panjang. Bisa dimaklumi, karena sindiran dalam kidungan itu dirasa tepat dengan situasi saat itu.Namun bagi penjajah Jepang, kidungan itu amat menakutkan. Kolonialisasi yang menyengsarakan rakyat Indonesia terancam bangkit menjadi monster ganas jika sampai hatinya 'tersadarkan'. Kidungan itu bisa jadi martil penabuh genderang perang. Sebab kondisi rakyat benar-benar sudah sangat melarat. Hanya bisa mengkonsumsi umbi dan daun-daunan yang tak layak disantap, serta berpakaian karung goni.Untuk itu, sebelum Cak Durasim mendendangkan kidungan yang lain, tentara Jepang pun mengepung panggung. Mereka mengarahkan senjata laras panjang pada penonton, sedang Cak Durasim bersama teman-temannya dari Ludruk Organisatie (LO) yang dikenal berani dan radikal dalam melontarkan kritik itu ditangkap. Tokoh ludruk ini meringkuk di penjara, hingga bulan Agustus 1944 saat Tuhan memanggilnya.Hari-hari ini, dalam perayaan Agustusan, di kota Surabaya, Malang, dan Jombang, ludruk masih dipagelarkan. Lakon yang diambil biasanya adegan perang melawan penjajah, tak perduli Belanda atau Jepang. Tentu, dengan bumbu sindiran dan guyonan yang dialamatkan pada pejabat dan pemerintah.Seni rakyat Jawa Timur yang diperkirakan sudah ada sejak tahun 1907 itu memang tetap eksis. Teater yang semula bernama Lerok, berasal dari kata lorek (loreng), karena pemainnya menghiasi wajah dengan polesan warna agar tidak diketahui wajah aslinya itu masih punya penggemar, kendati kian tahun kian menurun.Tokoh sentral ludruk yang bernama Besut, sebagai pengolah cerita dan pengumpan ide agar kelucuan mengerucut ke tema, tak bisa dipungkiri masih jadi bagian dari hiburan rakyat di desa-desa. Besut, kependekan kalimat mbekta maksud (punya misi), merupakan roh dari seni ini, seni yang sejak awal berdirinya memang sarat kritik.Sejalan dengan perkembangan jaman, Lerok atau Besutan pun tumbuh mengikuti mode. Pemainnya bertambah, mulai punya lakon, dan juga dilengkapi dengan tarian pembuka yang disebut Tari Remo, tari reno-reno (bermacam-macam) yang unsur geraknya diambil dari berbagai gerak tarian yang sudah ada.Dari tarian inilah lahir istilah ludruk. Sebab dalam tari Remo, penarinya selalu melakukan gerakan leher ke kiri dan ke kanan (gela-gelo), serta kakinya diikat gongseng (sejumlah bel kecil) yang dihentakkan (gedrak-gedruk) ke tanah untuk mengatur irama gending.Namun dari tahun ke tahun, nasib ludruk dan pemainnya semakin meredup. Kemerdekaan Indonesia, yang juga diperjuangkan seniman ludruk, belum mampu memerdekakan diri dan organisasinya. Malah Markeso, tokoh ludruk garingan yang kini telah tiada, juga harus menerima suratan nasib, meninggal dalam 'ketidakmerdekaan', dihimpit kemelaratan.Mungkin karena itu pula, maka di tengah gemerlapnya perayaan Agustusan tahun ini, di Bulungan, Jakarta, para seniman melakukan refleksi kemerdekaan dengan mengangkat tema 'Sekali Merdeka Masih Sengsara', sedang di Plasa Semanggi, radio Smart FM menggelar diskusi yang mempertanyakan monopoli distribusi film.Ternyata, setelah penjajah asing terusir dari negeri ini, kita punya seteru baru, 'penjajah' dalam bentuk yang berbeda. Kapankah kemerdekaan yang hakiki itu terjelma? Adakah kemerdekaan itu memang hanya retorika?Keterangan Penulis:Djoko Su'ud Sukahar, pemerhati budaya, tinggal di Jakarta. Alamat e-mail jok5000@yahoo.com.
(/)