Penurunan kasus Covid-19 akhir-akhir ini menandakan bahwa Indonesia berada dalam masa pemulihan pandemi. Jumlah kasus berkurang drastis dibandingkan saat puncak pandemi. Berbagai aktivitas perekonomian dan mobilitas pun sudah mulai kembali normal. Namun, kondisi ini tidak serta merta menguntungkan bagi penduduk kalangan kelas ekonomi ke bawah yang masih terbayang-bayang jurang kemiskinan.
Dapat kita saksikan selama dua tahun terakhir berbagai upaya strategis telah dilakukan pemerintah untuk menangani dampak pandemi yang luar biasa. Menurut Kementerian Keuangan, Indonesia telah mengambil langkah kebijakan untuk memulihkan perekonomian nasional seperti stimulus kesehatan sebesar Rp 87,55 triliun, bantuan perlindungan sosial, insentif usaha, dukungan UMKM, pembiayaan korporasi, dan dana insentif daerah. Total program pemulihan untuk biaya penanganan Covid-19 ini mencapai Rp 695,2 triliun (senilai 4,2 persen PDB), bukan angka yang kecil.
Dari sisi perekonomian, bisa dikatakan performa pemerintah menunjukkan capaian yang memuaskan karena berhasil mengerek perekonomian dari keterpurukan. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), perekonomian Indonesia tumbuh impresif terlihat sejak Triwulan IV - 2021 dengan persisten di atas lima persen. Secara y-o-y ekonomi tumbuh 5,72 persen pada Triwulan III - 2022. Angka ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan kondisi Triwulan III sebelum pandemi yang berada di angka 5,01 persen pada 2019. Hal ini menandakan bahwa pemulihan ekonomi Indonesia terus berlanjut dan semakin menguat. Diperkirakan pertumbuhan ekonomi pada Triwulan IV - 2022 juga stabil di atas lima persen.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pertumbuhan ekonomi yang apik ini idealnya dibarengi dengan penurunan angka kemiskinan. Tetapi, persentase penduduk miskin pada September 2022 justru naik menjadi 9,57 persen. Jika dibandingkan dengan Maret 2022, tercatat terdapat 200 ribu penduduk miskin baru di September 2022. Naiknya penduduk miskin disinyalir merupakan dampak dari kebijakan pemerintah yang telah menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) pada September lalu.
Mereka yang sebelumnya merupakan golongan penduduk rentan miskin ikut terperosok di bawah garis kemiskinan sehingga menjadi kategori penduduk miskin. Awalnya, mereka adalah penduduk dengan pengeluaran di atas garis kemiskinan. Namun, harga BBM yang naik membuat harga kebutuhan pokok naik dan mengakibatkan garis kemiskinan turut naik. Sehingga secara matematis, penduduk rentan miskin yang tidak memiliki kekuatan finansial tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya. Komoditas pangan seperti beras, telur, dan cabai mengalami kenaikan harga di pasaran.
Terbilang Tipis
Jika dicermati lebih dalam, kenaikan angka kemiskinan pada September 2022 terbilang tipis dibandingkan dengan Maret 2022. Angka kemiskinan pada 2022 juga bisa dikatakan lebih kecil dibandingkan kondisi saat puncak pandemi. Pada saat pandemi memuncak, persentase penduduk miskin kembali ke dua digit yaitu sebesar 10,19 persen pada September 2020 dan 10,14 persen pada September 2021.
Tren menurunnya angka kemiskinan sejak pandemi sampai dengan data terakhir (September 2022) tidak lain karena sokongan bantuan pemerintah terhadap masyarakat miskin. Sebut saja di antaranya Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT), Bantuan Sosial Tunai, Kartu Prakerja, Bantuan Langsung Tunai (BLT), Dana Desa, Banpres Produktif Usaha Mikro (BPUM), Subsidi Gaji, dan subsidi listrik.
Namun, beragam program pemerintah belum berhasil mengurangi angka kemiskinan seperti pada kondisi sebelum pandemi. Jumlah penduduk miskin sebelum pandemi tepatnya September 2019 sebesar 24,78 juta jiwa. Oleh karena itu pemerintah dan juga semua pihak yang terlibat masih memiliki "utang" sebesar 1,58 juta jiwa. Jumlah tersebut adalah banyaknya penduduk yang menjadi miskin setelah pandemi melanda.
Pertumbuhan ekonomi yang progresif saat ini dapat menjadi bekal yang bisa digunakan untuk mengentaskan kemiskinan. World Bank menuturkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan kombinasi rendahnya ketimpangan dapat secara signifikan mengurangi kemiskinan. Jika kita bisa memanfaatkan momentum pertumbuhan ekonomi ini, maka bisa menjadikannya senjata untuk menumpas kemiskinan. Oleh karena itu, fokus pemerintah adalah menjadikan pertumbuhan ekonomi yang bermanfaat bagi orang miskin.
Level Desa
Kemiskinan di perdesaan hampir selalu lebih tinggi dibandingkan di perkotaan. Kondisi terakhir terdapat 14,38 juta penduduk miskin perdesaan dan 11,98 juta penduduk miskin di perkotaan. Hal ini perlu menjadi perhatian pemerintah pusat sampai dengan tingkat pemerintah desa. Memastikan program pengentasan kemiskinan di level desa apakah sudah sesuai prosedur dan tepat sasaran. Karena akses informasi penduduk miskin di perdesaan lebih terbatas dan kualitas SDM di perdesaan juga cenderung lebih rendah.
Upaya pemerintah dalam mengatasi kemiskinan terutama di perdesaan dapat dilanjutkan dengan audit yang teliti. Adanya rasa gotong-royong di masyarakat perdesaan bisa menyebabkan bantuan dipukul rata untuk semua masyarakat tanpa memandang status ekonomi. Akibatnya, penduduk yang tidak secara kelas ekonomi tidak memerlukan bantuan dapat mengambil porsi bantuan penduduk yang benar-benar miskin.
Selain melanjutkan bantuan sosial kepada penduduk miskin, pemerintah sebaiknya tidak mengambil kebijakan yang langsung berdampak pada daya beli penduduk miskin seperti sebelumnya yaitu menaikkan harga BBM. Menjaga daya beli penduduk untuk dapat memenuhi kebutuhannya merupakan strategi mengentaskan kemiskinan.
Uswatun Nurul Afifah, SST Statistisi Badan Pusat Statistik