Mimbar Mahasiswa

Kapasitas Penyampaian Informasi Ilmiah

Muhammad Iqbal Kurniawan - detikNews
Senin, 13 Feb 2023 14:00 WIB
Ilustrasi: dok. detikcom
Jakarta -

Polemik yang sempat terjadi pada akhir 2022 kemarin terkait prediksi badai dahsyat di wilayah Jabodetabek sudah cukup untuk menyadarkan kita semua selaku masyarakat untuk menilai bahwa kapasitas penyampaian informasi ilmiah juga harus ditingkatkan.

Literasi iptek tentu menjadi hal yang amat penting entah bagi kalangan pegiat sains, pengambil kebijakan, media, maupun masyarakat pada umumnya. Namun, ada yang tidak kalah lebih penting dari sekadar menuntut 'kecerdasan' publik dalam memahami sebuah informasi ilmiah, yakni bagaimana pihak yang memiliki wewenang untuk memproduksi informasi ilmiah tersebut menggunakan kewenangannya itu sebaik mungkin agar tidak terjadi misinformasi di tengah-tengah masyarakat.

Terlebih di era digital seperti saat ini, informasi tentu menjelma menjadi sebuah komoditas yang sangat mudah didapatkan. Setiap orang memiliki kemudahan untuk memproduksi dan memperoleh informasi. Hal ini tentu menimbulkan konsekuensi, entah itu baik atau buruk bagi publik.

Konsekuensi yang cenderung negatif dari adanya era keterbukaan informasi salah satunya adalah masyarakat tentu berpotensi dalam menerima informasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenaran dan keabsahan sumbernya. Dalam konteks ini, saya sepakat bahwa masyarakatlah yang harus meningkatkan kecerdasan literasi ipteknya agar tidak terjebak dalam informasi-informasi yang 'menyesatkan'.

Namun, di sisi lain, di era keterbukaan informasi masyarakat dapat memiliki alternatif-alternatif sumber informasi lain yang tentu dapat memantik 'kecerdasan' masyarakat dalam memilah berbagai informasi (termasuk informasi sains) yang berseliweran. Lebih lanjut, dalam konteks ini, alternatif sumber informasi lainnya tersebut juga dapat dimaknai sebagai bagian dari iklim berdemokrasi yang tentu merupakan konsekuensi yang cenderung positif dari adanya era keterbukaan informasi.

Kebingungan Masyarakat

"Kehebohan" yang terjadi beberapa waktu lalu akibat adanya "prediksi" seorang periset BRIN terkait kemungkinan badai dahsyat akhir tahun di wilayah Jabodetabek dapat dijadikan contoh kasus informasi sains yang dapat diterjemahkan dalam dua konsekuensi di atas, yakni positif dan negatif. Setidaknya ada dua hal dari "kehebohan" kemarin yang dapat kita garis bawahi.

Pertama, kita selaku masyarakat disuguhkan alternatif informasi yang hadir dari seorang akademisi dalam lingkup otoritas keilmuannya. Kedua, kita juga disuguhkan "kehebohan" yang timbul di ruang publik, yang mana pada akhirnya merembet hingga ke permasalahan lain seperti pertanyaan dari publik terkait tugas dan wewenang kedua lembaga yang bersangkutan (BRIN dan BMKG).

Kebingungan masyarakat ini tentu bukannya tak berdasar. Selama ini masyarakat paham bahwa informasi ilmiah terkait prediksi cuaca dan iklim dapat dirujuk melalui informasi yang dikeluarkan oleh BMKG. Namun, adanya pengintegrasian berbagai lembaga riset ke dalam BRIN juga membuat masyarakat memiliki alasan yang sangat kuat untuk yakin dan percaya akan prediksi yang dikeluarkan oleh seorang periset di lembaga tersebut.

Dengan kata lain, kebingungan masyarakat justru hadir karena BMKG dan BRIN merupakan lembaga yang diyakini memiliki legitimasi yang sangat kuat dalam menyampaikan sebuah informasi ilmiah. Terlepas dari "prediksi" yang menimbulkan "kehebohan" tersebut adalah suatu pernyataan pribadi, sangat tidak bijak apabila hanya menyalahkan 'kemampuan literasi iptek' masyarakat dalam memahami mana yang merupakan pernyataan pribadi dan mana yang merupakan pernyataan resmi otoritas dalam kasus ini.

Untuk itu, adanya kasus ini tentu dapat dijadikan checkpoint bagi pemerintah untuk memperbaiki kualitas penyampaian informasi ilmiah. Masyarakat tentu membutuhkan kejelasan terkait tugas, fungsi, dan peran dari masing-masing lembaga ini. Siapa yang berwenang memberikan public awareness terkait isu-isu tertentu? Siapa yang berwenang mengeluarkan pernyataan publiknya? Siapa yang berwenang dan berperan menjadi pemasok data dan informasi?

Pertanyaan Lanjutan

Kasus ini juga menimbulkan pertanyaan lanjutan. Bagaimana sejatinya mekanisme komunikasi antar peneliti di kedua lembaga ini? Mengingat, "prediksi" yang disampaikan oleh periset BRIN tersebut merupakan prediksi yang memiliki kapasitas ilmiah dan pemikiran yang mumpuni. Tentu, hasil penelitian semacam itu sangat dibutuhkan bagi BMKG—atau siapapun lembaga yang sejatinya memiliki wewenang—untuk dapat diteruskan sebagai sebuah informasi dan kesadaran publik.

Terakhir, akan sangat positif memang apabila pemerintah tidak berhenti menggaungkan kepada masyarakat untuk terus meningkatkan kecerdasan ataupun literasi iptek dalam memahami dan menyikapi suatu informasi ilmiah. Namun, bagaimana memberi informasi ilmiah tersebut kepada masyarakat juga merupakan poin yang harus selalu menjadi perhatian. Jangan sampai, alih-alih hendak menyampaikan informasi, justru yang terjadi justru 'mengacaukan' informasi ilmiah tersebut, sehingga menyebabkan kebingungan dan kerancuan di tengah-tengah masyarakat.

Muhammad Iqbal Kurniawan mahasiswa Ilmu Politik Universitas Indonesia

Simak juga 'Jalan Panjang Kasus Tewasnya Mahasiswa UI, Kini Penyidik Disidang Etik':






(mmu/mmu)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork