Seorang konten kreator yang mengontenkan neneknya diundang salah satu stasiun televisi. Ia merasa bangga, mafhum itu puncak tertinggi dari pencapaian seorang pembuat konten. Jamak dipahami, di sebuah ruang bernama dunia digital menjadi viral adalah hal vital. Minat kita juga dikonstruk untuk mengarah pada hal yang banyak diperbincangkan. Tepat di titik itu pengelola stasiun televisi sangat peka dan mengerti peta pasar. Siklusnya bisa kita tebak, diawali viral kemudian dipungkasi untuk berbicara di stasiun televisi.
Bahkan seorang Dedy Corbuzier tidak masalah kalau menjilat ludahnya sendiri. Beberapa tahun lalu, ia masyhur dengan salah satu diktum yang menjadi pedoman. "Jangan membuat terkenal orang tolol," sebuah potongan kalimat yang banyak dikutip di media sosial. Hari ini, untuk mengamalkan itu adalah hal yang sukar. Bagi para pembuat konten, isi kemudian tidak diperhatikan. Entah itu bermanfaat atau tidak, terlihat bodoh atau tidak. Poinnya hanya satu, viral saja lebih dulu.
Lucunya, kendati tidak berbobot konten yang dibuat para kreator itu, netizen tetap saja betah menonton. Senaif-naifnya cucu yang menjadikan neneknya konten agar mendapat saweran (gift), juga tetap kita tonton. Bahkan, sebagian kita merasa kasihan yang terejawantahkan ke bentuk saweran itu. Bukankah itu semua jelas malah semakin menjadikan si kreator betah dengan kontennya? Maka, ketika stasiun televisi mengundang orang yang viral dengan kualitas konten yang tidak seberapa, semestinya bukan mereka yang keliru. Juga minat kita penting untuk dikoreksi agar tidak timpang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebelumnya, penting dibuang jauh-jauh perihal durhaka atau tidak konten yang demikian. Tulisan saya tidak hendak diarahkan kepada pelajaran tatakrama terhadap orang tua. Saya hanya mencoba membela "pengemis online" dari sudut pandang yang mungkin kita lupakan. Agar tidak semata-mata menyalahkan "pengemis online" yang mencoba mencari peruntungannya. Juga tidak mencak-mencak tatkala stasiun televisi mengundangnya.
Pertama, kita yang menontonnya, memberinya saweran, membicarakannya, lalu ketika mereka mendapat panggung kita malah bersungut-sungut kepada penyedia panggung? Nyaris di luar akal, untuk tidak mengatakan tak masuk akal. Artinya, yang patut dibenahi adalah minat kita bersama, bukan semata-mata para kreator konten. Lagi pula, mereka tanpa kita tidak akan pernah bisa eksis. Kita bisa melakukan eksperimen dengan memboikot konten semacam itu secara kolektif. Niscaya tidak akan pernah mendapat panggung lagi, sepi penonton, hingga pada akhirnya juga tidak betah.
Kasarnya, mereka betah dengan pekerjaan seperti itu karena kita yang membuat betah. Saya bisa memaklumi bahwa Anda yang memberi saweran mungkin merasa kasihan kepada si nenek. Dilihat-lihat kedinginan dan menggigil, maka kita refleks menaruh rasa iba. Kemudian memberikan saweran berharap cucunya menghentikan konten tersebut. Ini logika yang sejujurnya sangat sumir dan gegabah. Padahal, rasa kasihan kita yang berupa pemberian gift itu adalah kesenangan baginya. Alih-alih menghentikan, malah akan lebih semangat ke depannya.
Seterusnya, kita luput memperhatikan hal menarik lain. Dahulu, nyaris tidak ada yang membayangkan bahwa kita bisa ke warteg hanya dengan bermodal telepon. Tidak pernah ada yang membayangkan sebuah sistem pasar tradisional kemudian perlahan dilumat ke dalam telepon. Hingga kemudian berubah menjadi jual-beli online. Namun, kendati tidak pernah membayangkan, kita tetap mampu dengan segara adaptif. Ditambah lagi pandemi yang ngamuk dan malah mempercepat transformasi tersebut. Saya hanya ingin berbicara pada poin adaptabilitas kita sebagai manusia dengan dunia digital. Secara spesifik adaptabilitas orang yang kita tuding sebagai pengemis.
Pengemis tradisional, sebagaimana jamak kita temui, kerap memasang muka melas. Berbeda dengan citra pengemis online yang sedikit lebih kreatif. Entah itu mandi lumpur, mandi abu, hingga menyuruh neneknya mandi air sampai menggigil. Pertama, jelas hal tersebut menunjukkan adaptabilitas seorang peminta-minta. Kedua, itu memberikan ilustrasi bahwa sejatinya banyak orang yang kreatif. Dua poin ini tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Dan, konten seperti itu sejatinya memang lahir dari daya kreativitas dan ide cemerlang.
Ide cemerlang yang muncul di benak pembuat konten kemudian berpadu dengan minat pasar. Seburuk apapun konten ia tetaplah muncul dari ide kreatif, bukan lainnya. Maka, ketika melihat fenomena peminta-minta online yang semakin marak, mestinya kita melihat dari sisi berbeda. Baik memandangnya sebagai sebuah kreativitas atau juga sebagai demand pasar yang demikian. Belakangan, minat pasar di dunia digital memang agak lain. Tanpa saya jelaskan Anda pasti bisa meraba-raba kelainan itu.
Moh. Rofqil Bazikh mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga
(mmu/mmu)