Pers di Tengah Godaan (Tahun) Politik
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom: Hari Pers Nasional

Pers di Tengah Godaan (Tahun) Politik

Kamis, 09 Feb 2023 15:00 WIB
Zackir L Makmur
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Twibbon Hari Pers Nasional 2023 bisa digunakan pada 9 Februari. Hari Pers Nasional bertujuan untuk memperingati Hari Ulang Tahun Persatuan Wartawan Indonesia.
Ilustrasi: Twibbonize
Jakarta -

Saat menerima kedatangan ketua dan anggota Dewan Pers periode 2022-2025 di Istana Merdeka, Jakarta, pada 6 Februari, Presiden Joko Widodo menekankan pentingnya kebebasan pers yang bertanggung jawab dengan berdasarkan pada prinsip-prinsip dan etika jurnalistik. "Jadi kalau cuma bebas sebebas-bebasnya tanpa tanggung jawab, banyak yang akan dirugikan apalagi menjelang pemilu," ujar Presiden Joko Widodo.

Dan, kerugian itu: kita bakal menemui sebuah bangsa yang menyimpan taufan perpecahan, dan sekaligus halilintar kebencian. Kerugian semacam ini akibat kejahatan. Sebab itu, "Kejahatan adalah yang membuat perpecahan," kata Aldous Huxley (1894-1963), penulis dari Inggris. Bila begitu, pers menjadi antagonis.

Makna Kebebasan

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Memburu "kebebasan" dalam hal ini mencoba mencari makna sebagai kontrol sosial bukan berarti pers pada dirinya lekat kemuliaan hingga perbuatannya adalah perbuatan baik. Pers dalam kesejatiannya lebih bernilai bila kebebasannya terbelenggu demi kebebasan bangsa dan negara.

Maka apalah artinya pers bebas bila bangsa dan negara begitu tangkas menggencet nilai-nilai dasar demokrasi, mencekik supremasi hukum, meminggirkan hak asasi manusia, serta menghardik kebinnekaan. Kebebasan yang dimiliki pers dalam keadaan semacam ini seumpama "orang baik yang mendiamkan terjadinya kejahatan."

ADVERTISEMENT

Pers, sebagaimana diingatkan oleh filsuf Thomas Jefferson (1743-1826) --yang juga Presiden ke-3 Amerika Serikat-- "adalah instrumen paling baik dalam pencerahan dan meningkatkan kualitas manusia sebagai makhluk rasional, moral, dan sosial."

Pers yang semacam ini sudah makrifat terhadap kebebasan; ia telah bebas dan dengan kebebasannya bertanggung jawab kepada warga negara, masyarakat, atau publik. Untuk itu, "Kebebasan pers berguna bukan hanya bagi media tetapi juga bagi publik. Dengan kebebasan pers, publik bisa mendapatkan informasi yang terpercaya bangsa dan negara." (Mengelola Kebebasan Pers, penyunting Lukas Luwarso, 2008).

Berpijak dari sini, yang sebetulnya menginginkan pers bebas adalah publik yang telah punya kebebasan berpikir dan menyuarakan pendapat. Karena pers sudah punya kepasrahan takdir untuk tidak bebas asalkan publik, atau bangsa, mencercap kebebasan.

Inspirasi Perjuangan

Jadi diskursus pers bebas demi dirinya adalah pilihan pola pikir yang mahal ongkosnya, melebihi ongkos sosial kebebasan publik atau bangsa. Dalam sejarahnya, sewaktu masa pemerintahan kolonial Belanda pertengahan abad ke 18, pers nasional membedakan dirinya dengan pers pemerintah kolonial, di mana pers penjajah yang dipergunakan oleh Belanda saat itu adalah sebagai alat untuk mempertahankan hegemoni kekuasaan.

Sedangkan pers nasional melihat kekuasaan pemerintah kolonial sangat membelenggu kebebasan bangsa Indonesia. Maka, di Medan pada tahun 1910 pers nasional bermunculan, yang diterbitkan dan dicetak oleh perusahaan pribumi, yang antara lain tokohnya Djamaluddin Adinegoro. Pers pada era ini "membebaskan" publik dari belenggu hegemoni kekuasaan kolonialisme, antara lain dengan menyuguhkan berita-berita yang demikian kritis terhadap pemerintahan kolonial.

Arus kesadaran ini pun tidak bisa dibendung. Maka dasawarsa berikutnya, pada tahun 1920-an, jumlah surat kabar meningkat pesat. Pertumbuhan ini berbanding lurus dengan sangat kuat kaitannya wartawan menjadi aktivis politik.

Selain itu insan pers juga berkewajiban menyampaikan berita-berita yang membiakkan sikap nasionalisme. Di sini, wartawan sebagai aktivitas politik langsung "kerja nyata" membangun perlawanan rakyat terhadap penjajah.

Lantas pasca 17 Agustus 1945 pun, peranan itu mengukuhkan kedudukan dan peranan wartawan khususnya, pers pada umumnya, mempunyai arti strategik sendiri dalam upaya berlanjut untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan.

Sampailah kemudian "aspirasi perjuangan wartawan dan pers Indonesia memperoleh wadah dan wahana yang berlingkup nasional pada tanggal 9 Februari 1946 dengan terbentuknya organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI)," sebagaimana dijelaskan Sekilas Sejarah Pers Nasional (PWI, 16 Jul 2019).

Relevansi HPN

Tanggal 9 Februari itulah yang kemudian saban tahun bangsa ini rayakan sebagai Hari Pers Nasional (HPN). Dan, perayaan HPN tahun ini bertepatan dengan tahun politik, di mana bersamaan pula sebagai tahun "godaan" terhadap pers untuk berpolitik.

Bilamana era tahun 1920-an wartawan atau pers sepertinya "wajib" berpolitik guna membangun perjuangan rakyat melawan penjajah, pertanyaan kini: masihkah relevan wartawan atau pers berpolitik?

Para insan pers boleh jadi tidak satu hal memberi jawaban terhadap pertanyaan tersebut. Namun, satu hal pasti: masa kini pers tidak bisa selamanya independen dan bisa mendongak terhadap otoritas pemodal media yang juga pelaku politik. Ada pers yang tetap independen, tentulah ia sudah makrifat terhadap kebebasannya. Soalnya kemudian, berapa jumlahnya pers yang sudah makrifat terhadap kebebasannya itu?

Makrifat kebebasan pada pers maknanya adalah mempunyai otoritas, dan ia tak lunglai urat nadi suplai materinya dipotong sekalipun. Dan, ia tidak binasa dalam kemampuannya mengelola kebebasan, serta ia masih tetap punya "roh" kebebasan walau dimodali konglomerasi media yang berpolitik. Itulah makrifat pers.

Tetapi makrifat semacam itu sulit diraih; maka pers lebih banyak setuju dalam pencarian kebebasan jurnalisme secara faktual. Dan, sebagaimana disuarakan George Orwell (1903-1950), "Kebebasan pers berarti kebebasan untuk mengritik dan menentang," ditempuh secara faktual pula.

Godaan Politik

Mengritik dan menentang tidak melulu diterjemahkan secara faktual terhadap kebebasan, karena komunikasi demokrasi yang sehat tidak membutuhkan otoritas yang menguasai wacana. Maka pers harus hadir dalam kebutuhan ini untuk kebutuhan kebebasan publik menerima informasi.

Munculnya sejumlah pers dari afiliasi politik, ataupun pers dari konglomerasi media yang menjadi pelaku politik, menandakan secara substantif pers masih gagap menyerap makrifat kebebasan. Sehingga ada kekuatan otoritas yang menguasai wacana, dan lambat laun membuat komunikasi demokrasi tidak lagi sehat.

Keleluasaan pers menghirup kebebasan di masa kini ketimbang era 1920-an jauh lebih kompleks dan sekaligus dilematis. Ketika era 1920-an pers berpolitik --bahkan wartawan pun aktivis politik-- publik masih bisa turut serta meruntuhkan hegemoni kekuasaan pemerintah kolonialisme. Tapi kini? Betapa tidak mudah.

Kini demokrasi menjadi sistem yang sama sekali beda dengan sistem pemerintahan kolonial. Sistem ini pula menyimpan kontingensinya; bisa saja demokratis dalam sistem, namun begitu hegemoni dalam kekuasaan seperti halnya pemerintahan kolonial. Pers sangat tidak mudah hidup dalam situasi zaman yang begini --tapi inilah zaman yang harus dihadapi pers. Dalam keadaan yang semacam ini pula publik berpihak pada kebebasan menyampaikan berita dalam kontingensi pula.

Dengan begitu, kini publik pengertiannya tidak bisa tunggal seperti halnya ketika era 1920-an pers turut berpolitik. Oleh karena itu bisa saja sebagian publik turut berpihak pada kebebasan pers yang berpolitik, dan sebagian lagi berpihak pada pers yang tidak boleh berpolitik. Maka dalam keadaan yang penuh kontingensi ini pula, pers mengalami tantangan hebat untuk merumuskan dirinya sebagai pihak yang tidak "terkontaminasi" politik.

HPN ini menjadi momentum yang sangat relevan menguatkan kaidah "merumuskan" diri pers yang secara tegas dan pasti tidak boleh berpolitik. Tapi ada yang ironis; ketika pers tidak bisa merumuskan dirinya dalam kaidah makrifat kebebasan, selalu menunjuk hidung pihak lain yang lebih panjang. Dan, kita tahu, hidung yang semakin lama semakin memanjang, dalam cerita Pinokio, adalah pembohong.

Zackir L Makmur anggota Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas (IKAL) Taplai 2018, bergiat di IKAL Strattegic Center

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads