Fatamorgana Kekuasaan Kepala Desa, Kepentingan Siapa?

ADVERTISEMENT

Kolom

Fatamorgana Kekuasaan Kepala Desa, Kepentingan Siapa?

Muhammad Iqbal Khatami - detikNews
Kamis, 09 Feb 2023 13:35 WIB
Penampakan massa kepala desa demo mememuni Jalan Gatot Subroto, depan DPR, Jakarta Pusat
Massa kepala desa di Jalan Gatot Subroto, depan Gedung DPR, Jakarta Pusat (Foto: dok. TMC Polda Metro Jaya)
Jakarta -

Pada Selasa (17/1) ribuan kepala desa melakukan aksi unjuk rasa di depan Gedung DPR dengan menggulirkan tuntutan usulan perpanjangan masa jabatan. Kejadian ini tentu menyita perhatian banyak pihak dan memenuhi pemberitaan di berbagai media. Bergulirnya wacana ini seakan memperlengkap wacana sebelumnya yang pernah bergulir terkait perpanjangan masa jabatan, seperti jabatan presiden dan gubernur.

Tuntutan utama para kepala desa dalam aksinya ini adalah menuntut agar Pasal 39 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa direvisi, yakni dari 6 tahun menjabat menjadi 9 tahun. Alasan yang melatarbelakangi menurut tuturan mereka adalah faktor tingginya persaingan politik antar aktor politik desa di tiap 6 tahun masa jabatan. Di aturan saat ini, masa jabatan kepala desa diatur selama 6 tahun dalam satu periode, dan dapat menjabat paling banyak tiga kali masa jabatan.

Selain mengagetkan publik, banyak pihak juga mengkhawatirkan bahwa perpanjangan masa jabatan kepala desa ini akan merusak iklim demokrasi di tingkat desa dan sarat akan kepentingan politis yang lebih besar. Selain itu, juga akan berdampak pada lambatnya regenerasi kepemimpinan di tingkat desa. Salah satu implikasinya adalah akan menutup potensi-potensi besar di desa seperti kelompok muda misalnya, dan munculnya oligarki politik di tingkat desa.

Kekuasaan yang terlalu lama juga akan menimbulkan celah perilaku koruptif akibat semakin kuatnya akses terhadap sumber kekuasaan seiring berjalannya waktu (French dan Raven, 1959). Apalagi kades memiliki otoritas dalam hal pengelolaan dana desa yang jumlahnya cukup banyak dan intens digelontorkan tiap tahunnya.

Klaim alasan para kepala desa yang mengatakan waktu enam tahun kurang dalam menjalankan pembangunan desa tampaknya juga tidak berdasar. Bisa jadi, masalah utamanya bukan pada hal tersebut, melainkan memang kemampuan kepemimpinan kades yang minim dalam menyelesaikan masalah di desa. Apalagi, alasan lainnya adalah perihal konflik dan polarisasi pasca pilkades di tengah masyarakat, yang jika dirasionalkan perpanjangan masa jabatan bukanlah solusi atas keterbelahan sosial tersebut.

Lampu Hijau Pemerintah

Plot twist yang tak kalah mengagetkan adalah pemangku kebijakan terkait justru memberikan lampu hijau terhadap aspirasi para kades yang menuntut perpanjangan masa jabatan tersebut. Padahal, kritikan publik terus mengalir terhadap wacana tersebut.

Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Mendes PDTT) Abdul Halim Iskandar misalnya, menyatakan bahwa perpanjangan masa jabatan kades akan memberi manfaat kepada kesejahteraan masyarakat. Bak gayung bersambut, Ketua DPR Puan Maharani juga mengatakan bahwa DPR membuka pintu luas bagi eksekutif jika ingin merevisi UU Desa untuk memperpanjang masa jabatan kades tersebut. Bahkan, sempat muncul desas-desus Presiden Joko Widodo juga menyetujui usulan tersebut

Di saat yang sama, Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Apdesi, DPP Asosiasi Badan Permusyawaratan Desa Nasional (Abpednas), dan Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Persatuan Perangkat Desa Seluruh Indonesia (PPDI) mendesak Jokowi mencopot Abdul Halim. Desakan tersebut buntut dari pernyataannya yang memberikan lampu hijau atas wacana perpanjangan tersebut.

Dari sini terlihat bahwa terjadi benturan kepentingan-kepentingan di balik wacana perpanjangan masa jabatan kades menjadi sembilan tahun tersebut. Lampu hijau dari pemangku kebijakan tersebut juga memperlihatkan bahwa pemerintah justru semakin memperbesar bola liar di masyarakat, tanpa turut andil dalam hal antisipasi dampak persebaran wacana di tengah masyarakat.

Lagi pula, tampaknya masih banyak permasalahan penting lainnya yang seharusnya menjadi perhatian pemangku kebijakan. Misalnya, gelontoran dana desa yang menyedot anggaran negara sejauh ini juga belum diikuti oleh kebijakan pengelolaan dan pengawasan yang efektif. Contoh ini saya pikir lebih dekat jika di-head-to-head-kan dengan kesejahteraan dibanding perpanjangan masa jabatan.

Kepentingan Pemilu 2024?

Berdasarkan kebijakan saat ini, memang bagi kades yang masa jabatannya berakhir tahun ini, diberikan target Pilkades terselenggara paling lambat sampai 1 November 2023. Selanjutnya, Pemda akan melakukan moratorium dan menunjuk Kades dari PNS sebagai penjabat kades.

Alasan moratorium tersebut sejatinya berdasar karena untuk menghindari kegaduhan Pilkades dan dampaknya terhadap proses Pemilu 2024 yang tengah berlangsung. Namun, di sisi lain kondisi ini secara politis tentu tidak menguntungkan bagi kades yang masa jabatannya berakhir tahun ini. Sebab mereka akan kehilangan momentum politik Pemilu 2024. Sudah menjadi rahasia umum jika dukungan kades dalam pemilu sangat berarti bagi para kandidat.

Sarat kepentingan tersebut disinyalir banyak pihak sebagai indikasi bahwa wacana perpanjangan masa jabatan kades ini juga berkaitan dengan kepentingan 2024. Indikasi juga diperkuat dengan pernyataan beberapa kades yang melakukan unjuk rasa, mereka mengancam untuk menghabisi suara partai politik di desa mereka jika ada partai politik yang menolak tuntutan perpanjangan masa jabatan tersebut.

Tidak heran jika sinyal ancaman tersebut juga menjadi alasan mengapa beberapa politisi dan partai politik gencar mendekati kades dengan iming-iming pemenuhan tuntutan tersebut. Tentu kita tidak ingin jika perubahan regulasi dilakukan nantinya mengabaikan masukan dan kritik yang ada saat ini terhadap wacana perpanjangan masa jabatan kades, yang justru semakin melenggangkan demokrasi yang tidak sehat di tingkat desa.

Jika memang alasan perpanjangan masa jabatan kades adalah hal-hal yang telah diuraikan di atas, maka hemat saya jalan tengah kebijakan yang dapat diambil adalah walaupun terjadi perpanjangan masa jabatan, namun dengan catatan adanya pembatasan periode masa jabatan menjadi hanya satu periode saja. Pembatasan periode akan membatasi orientasi politik kades terpilih agar fokus membangun desa, dan tidak lagi berfokus pada proses pencalonan di periode selanjutnya.

Harapannya, wacana ini bergulir secara bertanggung jawab dan memperhatikan etika politik. Seperti yang diutarakan Ricoeur (1990), tujuan politik yang beretika adalah membangun institusi-instistusi yang lebih adil bagi rakyat.

Muhammad Iqbal Khatami peneliti Komite Independen Sadar Pemilu (KISP)

(mmu/mmu)


ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT