Dalam sejarah Republik Indonesia, masa jabatan Kepala Desa paling lama adalah 10 tahun berdasarkan UU No. 22/1999, namun sebelum ada Kepala Desa yang menjabat sampai 10 tahun sudah muncul UU No. 32/2004 yang membatasi jabatan Kepala Desa 6 tahun. Lalu, apakah tuntutan Kepala Desa untuk merevisi jabatan 9 tahun memiliki dasar?
Demokrasi
Melalui kacamata demokrasi, tuntutan Kepala Desa secara terbuka harus diapresiasi, paling tidak publik kemudian diberikan kesempatan menilai dan menimbang sendiri apakah tuntutan ini masuk akal atau tidak. Merupakan hak dari setiap warga negara sebagaimana dijamin pada Pasal 28 UUD 1945 untuk mengungkapkan pendapat, ide atau gagasannya.
Masyarakat memiliki keleluasaan untuk menolak ataupun mendukung tuntutan itu, namun setiap argumentasi harus berangkat dari rasionalisasi pemikiran sebagaimana diungkapkan Karl Popper (1945), demokrasi pun harus didukung dengan rasionalisme kritis.
Setiap aksi akan memunculkan reaksi. Secara kelembagaan bisa dilihat dukungan terhadap tuntutan Kepala Desa mengalir dari Parlemen, Kementerian hingga Istana. Semangat mendukung ini kemudian berbanding lurus dengan semangat mengkritik tuntutan yang dianggap "syahwat kekuasaan" ini dari berbagai golongan masyarakat.
Dukungan dari lembaga negara secara terbuka janganlah membuat Kepala Desa menjadi jemawa, namun para Kepala Desa harus lebih waspada mengingat relasi antara dukungan dan kepentingan kekuasaan sangat erat. Ketakutan yang muncul jika dukungan ini bersyarat transaksional politik di masa pemilu yang akan datang sehingga demokrasi digunakan sebagai alat oligarki, bukan demokratisasi.
Logikanya, kapasitas desa yang menurut Badan Pusat Statistik lebih dari 80 ribu ini sangat berpotensi menjadi mesin politik yang luar biasa massif untuk memenangkan kontestasi politik 2024.
Masa Jabatan Kepala Desa
Pada 2021 lalu, sempat terjadi polemik tafsir berkaitan perhitungan jumlah periodesasi masa jabatan Kepala Desa yang maksimal 3 periode dimulai sejak UU No. 32/2004 atau sejak UU No. 6/2014. Syukur, Mahkamah Konstitusi melalui putusan No. 42/PUU-XIX/2021 memberikan kepastian bahwa maksimal masa jabatan 3 periode dihitung baik saat keberlakuan UU No. 32/2004 maupun UU No. 6/2014.
Sejarah masa jabatan Kepala Desa pasca kemerdekaan Republik Indonesia sebenarnya dimulai sejak munculnya UU No. 19/1965 tentang Desapraja yakni paling lama 8 tahun tanpa ada batasan jumlah periode. Pembatasan jumlah periodesasi pertama muncul melalui UU No. 5/1979 tentang Pemerintahan Desa dengan paling lama 8 tahun dan dapat diangkat kembali 1 kali masa jabatan berikutnya.
Alasan waktu 8 tahun dianggap cukup lama bagi Kepala Desa dalam menyelenggarakan tugas-tugasnya yang dibebankan dan menghindarkan dari perombakan kebijakan akibat pergantian Kepala Desa dalam waktu cepat, sedangkan alasan dapat dipilih kembali hanya 1 kali masa jabatan berikutnya tak lain untuk menghindarkan penurunan gairah dalam penyelenggaraan pemerintahan Desa.
Menariknya, pada era Reformasi muncul UU No. 22/1999 malah memberikan penambahan waktu menjadi 10 tahun atau 2 kali masa jabatan yang didasarkan pada sosial budaya setempat. Jika berangkat dari asumsi pembatasan kekuasaan dan kewenangan pasca kejatuhan Orde Baru, maka pertimbangan 10 tahun masa jabatan seharusnya dengan pertimbangan demokratisasi karena masih suasana reformasi.
Walaupun 5 tahun kemudian muncul UU No. 32/2004 yang membatasi jabatan selama 6 tahun dengan 2 kali periode, namun isu lama jabatan ternyata belum benar-benar final. Hal ini terlihat munculnya UU No. 6/2014 (UU Desa) yang menambah jumlah periodesasi dari 2 kali menjabat menjadi 3 kali menjabat dengan lama jabatan 6 tahun.
Berlatar belakang sejarah tersebut, persoalan lama jabatan Kepala Desa ternyata memang tidak pernah final. Ada dua isu menarik di sini; pertama, apakah masa jabatan yang secara jelas diatur dalam perundang-undangan mengakomodasi hak asal usul di masing-masing desa? Kedua, bagaimana relasi antara lama jabatan dengan efektifitas dan efisiensi kerja Kepala Desa dengan landscape dan lifescape serta kapasitas sosial yang berbeda-beda di setiap desa?
Isu ini haruslah digali secara lebih dalam, sampai ditemukan pangkal utama dalam merekonstruksi model pengaturan masa jabatan yang paling representatif dengan karakter (volkgeist) keindonesiaan yang plural dan dinamis.
Revisi UU Desa?
Masa jabatan memang sangat bergantung pada penyelenggaraan pemerintahan desa, namun tujuan utamanya adalah bagaimana penyelenggaraan pemerintahan desa bisa berjalan secara efektif dan efisien serta demokratis dengan berbasis nilai kelokalan. Oleh karenanya, revisi UU Desa pada dasarnya adalah hal yang wajar selama berpedoman pada 3 aspek utama, yakni filosofis, sosiologis, dan yuridis.
Satu yang menjadi catatan, revisi UU Desa jangan sampai jatuh pada ritus kekuasaan serta pragmatisme politis. Konfigurasi politik yang dibangun dalam membuat produk hukum harus berangkat dari konfigurasi politik yang demokratis plus prinsip moralis. Sebagaimana dikatakan oleh Hans Kelsen (1945), perundang-undangan adalah bermoral karena dibuat oleh orang-orang yang bermoral. Moralitaslah yang kemudian mendorong keterbukaan dan partisipasi publik (meaningfull participation).
Isu penting dalam revisi UU Desa tentu bukan hanya berkaitan dengan jabatan semata, yang utama bagaimana revisi UU Desa mampu merespons berbagai macam perubahan sosial seperti disrupsi ekonomi maupun merespons berbagai macam perundang-undangan terbaru seperti KUHP sampai Perppu Cipta Kerja.
Desa dalam kapasitas sosialnya memiliki banyak irisan sektoral dengan berbagai kepentingan penyelenggaraan negara baik di tingkat pusat, provinsi sampai kabupaten. Berbagai irisan sektoral ini harus dipertegas dalam UU Desa dengan menempatkan desa sebagai subjek, bukan sebagai objek.
Isu ini yang kemarin seharusnya juga dibawa oleh para Kepala Desa ke Senayan, kebutuhan yang mendesak berkaitan revisi UU Desa berkaitan dengan gagasan "kemaslahatan masyarakat desa" jauh akan lebih menarik secara publik. Isu lama jabatan adalah salah satu isu yang nantinya dimunculkan dalam kerangka perwujudan kemaslahatan sosial, bukan pragmatisme kekuasaan.
Isu lama jabatan maupun periodesasi jabatan Kepala Desa tentu akan memancing dugaan pragmatisme politik kekuasaan. Di sini peran Kepala Desa bersama seluruh lembaga yang mendukung aspirasi Kepala Desa memberikan penjelasan yang lebih aktual dan konkret dengan menjawab apakah ini kepentingan kekuasaan atau kemaslahatan masyarakat.
Ilham Yuli Isdiyanto Direktur Pusat Kajian Sejarah dan Pembangunan Hukum Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini