Karen's Diner dan Wajah Birokrasi Kita

ADVERTISEMENT

Kolom

Karen's Diner dan Wajah Birokrasi Kita

Ridwan Radief - detikNews
Rabu, 08 Feb 2023 10:05 WIB
Integrasi Data dan Moral Birokrasi
Ilustrasi: dok. detikcom
Jakarta -
Sejak Karen's Diner hadir di Indonesia, restoran dengan konsep pelayanan "barbar" itu menuai banyak kritik warganet. Sebagian besar warganet mengkritik bahwa sikap pelayan Karen's Diner bertentangan dengan budaya kita yang dikenal ramah dan santun.

Mengutip World Population Review, ada 10 negara yang paling ramah di dunia. Indonesia menempati urutan ketujuh sebagai negara teramah di dunia (detikcom, 26/7/2022). Lantaran hal tersebut, Karen's Diner dianggap tidak cocok berada di Indonesia.

Meski demikian, tidak sedikit juga dari warganet memilih tidak mempersoalkan konsep pelayanan seperti itu. Alasannya, Karen's Diner adalah pilihan. Jika orang senang dengan menunya yang enak atau dengan tingkahnya yang unik, silakan saja. Jika tidak senang, ya jangan kesana. Itu pilihan.

Saya tidak akan membahas konsep pelayanan Karen's Diner yang dinilai bertentangan dengan budaya kita. Ada hal yang menggelitik dari kritik yang disampaikan warganet. Sebagian warganet menganalogikan pelayanan Karen's Diner yang menjengkelkan itu sama seperti birokrasi pemerintah.

Meski perilaku birokrasi pemerintah tidak "barbar" sebagaimana yang dipertontonkan Karen's Diner, tetapi perasaan yang dirasakan oleh warganet ketika berinteraksi dengan aparatur pemerintah tidak jauh berbeda dengan suasana restoran tersebut. Sama-sama menjengkelkan. Saya bisa menebak, kejengkelan yang dimaksud warganet itu mungkin seperti prosedur yang kaku, berbelit-belit, lambat, standar ganda dan pungli.

Ya, memang tidak bisa dipungkiri. Dalam banyak literatur, birokrasi pemerintah selalu digambarkan sebagai organisasi dengan pola kerja yang hierarkis, kaku, berbelit-belit, banyak aturan, dan kurang inovatif. Crozier melihat birokrasi pemerintah sebagai suatu organisasi yang tidak dapat memperbaiki perilakunya dengan cara belajar dari kesalahannya. Ia menunjukkan, betapa peraturan-peraturan di dalam organisasi dapat digunakan oleh para individu yang ada di dalamnya untuk kepentingan individu itu sendiri (Albrow, 2012).

Pun demikian dengan konsep ideal birokrasi Max Weber yang masih diadopsi di Indonesia. Birokrasi pemerintah model Weberian juga sudah banyak dikritik oleh ahli Ilmu Administrasi Negara. Perangkat birokrasi Weberian seperti regulasi tertulis yang rinci serta hubungan hierarkis dan protokoler, sering mengabaikan potensi manusia secara utuh yang memiliki akal sehat dan hati nurani.

Dalam kehidupan birokrasi Weberian, akal sehat dan hati nurani seringkali tidak memiliki tempat yang wajar karena peran mereka tergeser oleh regulasi, standar dan prosedur, petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis (Dwiyanto, 2015). Contoh kasus yang pernah dan sering terjadi: masyarakat terpaksa menandu jenazah karena tidak diberikan ambulans oleh pihak puskesmas. Alasannya, prosedur tidak mengatur penggunaan ambulans untuk orang meninggal.

Kuatnya loyalitas aparat pemerintah terhadap prosedur operasional telah menjadikan pelayan-pelayanan masyarakat itu bekerja seperti robot. Minus hati nurani dan akal sehat. Tidak salah kemudian jika pemeo karen's diner disematkan pada birokrasi pemerintah. Karena itu tadi, ribet dan berbelit-belit. Sementara, esensi dari kehadiran aparatur pemerintah adalah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat baik atas barang, jasa dan administrasi. Ini yang tidak dipahami oleh sebagian ASN.

Partisipasi Publik dalam Standar Pelayanan

Akibat dari manajemen birokrasi yang kaku, berbelit-belit, dan hierarkis seringkali pelayanan itu terasa sangat menjengkelkan. Musababnya, prosedur atau standar pelayanan yang disusun pemerintah tidak melibatkan masyarakat sebagai penerima layanan. Alhasil, prosedur pelayanan tidak sesuai dengan harapan dan kebutuhan masyarakat. Prosedur yang ditetapkan pemerintah menjadi sangat ribet karena minus aspirasi publik di sana.

Dalam Undang-Undang 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, Pasal 20 menyatakan bahwa penyelenggara berkewajiban menyusun dan menetapkan standar pelayanan dengan memperhatikan kemampuan penyelenggara, kebutuhan masyarakat, dan kondisi lingkungan. Dalam menyusun dan menetapkan standar pelayanan, penyelenggara wajib mengikutsertakan masyarakat dan pihak terkait.

Artinya, dalam menentukan standar pelayanan, masyarakat berhak menentukan prosedur layanan yang dianggap menjadi kebutuhan masyarakat. Harapannya kemudian, tidak ada lagi masyarakat yang sulit mengakses pelayanan karena semua prosedur ikut ditentukan masyarakat berdasarkan berbagai kondisi di masyarakat.

Kekeliruan E-Government

Kita seringkali terjebak pada narasi digitalisasi sebagai upaya pengembangan pemerintahan berbasis elektronik. Padahal, dalam banyak literatur dikatakan bahwa kehadiran teknologi dalam penyelenggaraan pemerintahan belum menunjukkan terselenggaranya e-government. Karena itu, keliru jika kita hanya mengandalkan teknologi namun komitmen dan pola pikir tidak simultan bertransformasi dari pelayanan yang berbelit-belit ke pelayanan yang cepat, tepat dan mudah diakses.

Teknologi hanya instrumen, proses pelayanan kepada masyarakat tetap akan kembali kepada karakter aparatur yang ada di belakang mesin. Jika aparatur di belakang mesin memiliki komitmen untuk melayani masyarakat dengan cepat, maka teknologi akan berfungsi sebagaimana tabiatnya, memudahkan. Sebaliknya, jika manusia di belakang mesin tidak memiliki komitmen dan responsivitas terhadap kebutuhan masyarakat, maka pelayanan akan tetap sama, panjang dan berbelit-belit.

Beberapa faktor pendukung mewujudkan birokrasi modern di antaranya adalah meritocracy, empowerment, transparant, adaptive, collaborative, obedient, responsive, dan digital (Hamzah & Yusuf, 2021). Artinya, proses digitalisasi saja tidak cukup. Dibutuhkan pola pikir aparatur yang terbuka dan mampu merespons setiap perubahan lingkungan dan kompleksitas kebutuhan publik.

Pilihan ada di tangan ASN, akan berubah dari pola pelayanan yang berbelit-beli ke pelayanan yang cepat atau bertahan dengan suasana Karen's Diner sebagaimana keluhan warganet? Semua tergantung komitmen kepala daerah dan ASN itu sendiri.

M Ridwan Radief ASN dan asisten dosen

(mmu/mmu)


ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT