Berbicara mengenai biaya kuliah di perguruan tinggi Indonesia, umumnya berkisar mulai dari Rp 500 ribu hingga Rp 30 juta. Hal tersebut akan disesuaikan dengan kondisi ekonomi mahasiswa. Meski demikian, tak jarang biaya UKT tersebut tak sesuai dengan kondisi ekonomi mahasiswa. Beragam faktor yang menyebabkannya, mulai salah input data, kekurangan data, dan pelbagai kesalahan lainnya. Seperti yang dialami oleh mahasiswi UNY yang dibicarakan di depan.
Menurut penuturan yang disampaikan, mahasiswi tersebut berasal dari keluarga kurang mampu, orangtuanya hanya penjual sayur gerobak di pinggir jalan. Tetapi anehnya, UKT yang mesti dibayarnya tak setimpal. Sebanyak Rp 3,14 juta per semester mesti dikeluarkannya agar bisa bertahan di kampus. Nominal yang sangat besar. Wajar, jika kemudian mahasiswi tersebut mengalami depresi jelang pembayaran UKT.
Ketidaksesuaian UKT dengan kondisi ekonomi mahasiswa sebenarnya bukan kali pertama ini terjadi. Ketika saya masih duduk di bangku perkuliahan, kasus serupa juga pernah terjadi. Bahkan lebih parah. Hingga banyak mahasiswa pada saat itu yang mengundurkan diri. Niat mereka menjadi sarjana terpaksa dikubur, karena ketidakmampuan membayar UKT. Mahasiswa lain pun sudah berulang kali mengkritisi kebijakan mahalnya UKT tersebut.
Aksi demo seolah tak terhitung, tanda tangan petisi, semua cara mereka lakukan demi membela hak mahasiswa yang ingin tetap melanjutkan perkuliahannya. Tetapi, usaha tersebut masih sedikit membuahkan hasil, selebihnya masih sama seperti sebelumnya. Meninggalnya mahasiswi UNY tersebut menjadi buktinya, betapa dramatisasi seputar UKT masih kerap terjadi.
Layaknya drama, persoalan seputar UKT di perguruan tinggi seolah memiliki skenario yang tersusun rapi. Pasalnya, kejadian yang sama kerap berulang terjadi. Malangnya, semangat mahasiswa yang ingin duduk di bangku kuliah harus terkorbankan. Sebab, biaya UKT yang mereka terima kerap menunjukkan ketidakadilan. Sebagai pengelola, pihak birokrasi kampus, terutama di bagian keuangan harusnya menyadari hal tersebut sedari awal.
Mereka harus berhati-hati dalam menunaikan amanahnya, jangan sampai terjadi kesalahan fatal seperti sebelum-sebelumnya. Memang terlihat sepele, tetapi dampaknya sangat merugikan. Terutama bagi mereka yang hidup dengan ekonomi pas-pasan. Mereka harus berjuang mati-matian mengumpulkan uang demi membayar UKT yang biayanya selangit.
Pro-Kontra Kampus Merdeka
Padahal pada saat yang bersamaan pemerintah telah menerapkan kebijakan Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) di seluruh perguruan tinggi. Kebijakan yang telah diluncurkan hampir dua tahun tersebut setidaknya telah mewarnai perguruan tinggi Indonesia. Mahasiswa tidak lagi dituntut terus-terusan belajar di dalam kelas. Tetapi, mereka juga dituntut mampu menerapkan ilmunya bagi kebermanfaatan masyarakat.
Gandhi Surya Buana, pendiri Rumah Syandakala menyatakan, "Sebagai agen perubahan, mahasiswa harus sadar akan tanggung jawabnya dalam memberikan kontribusi pada masyarakat". Oleh karena itu, melalui MBKM, peran mahasiswa sebagai agen perubahan benar-benar dapat terwujudkan. Apalagi, selama ini peran tersebut terkesan hanya sekadar jargon di kalangan para intelektual muda (mahasiswa).
Namun, yang namanya kebijakan, tentu akan ada pro dan kontra dari pelbagai pihak. Seperti dua tulisan tentang MBKM yang pernah terbit di Harian Kompas; tulisan pertama berjudul Guncangan Kampus Merdeka yang ditulis oleh Agus Suwignyo. Tulisan tersebut jelas menyatakan bahwa kebijakan MBKM perlu dievaluasi, sebab pelbagai penerapannya memberi guncangan yang menyebabkan lemahnya pelaksanaan praktik pendidikan nasional.
Sementara tulisan kedua berjudul Gebrakan Kampus Merdeka yang ditulis oleh Rangga Almahendra seolah menjadi pembelaan atas evaluasi MBKM yang dijelaskan pada tulisan pertama. Dia menyatakan bahwa bergulirnya MBKM telah memberikan banyak manfaat dalam keberlangsungan proses pendidikan di perguruan tinggi. Bahkan dengan MBKM, mahasiswa dapat lebih adaptif menjalankan perannya sebagai agen perubahan.
Kejelasan UKT
Tetapi, di balik hegemoni kebijakan MBKM yang saat ini tengah dijalankan, ada hal yang lebih penting lagi untuk segera dituntaskan persoalannya. Sebab, jika berlarut dikhawatirkan akan meresahkan bagi seluruh mahasiswa dan calon mahasiswa. Persoalan tersebut mengenai kejelasan UKT.
Hendaknya tidak ada lagi ketidaksesuaian antara kondisi ekonomi dengan UKT yang mesti dibayarkan mahasiswa. Jika pun terjadi, pihak kampus harus memberikan layanan terbaik dalam menyelesaikannya, bukan dengan pembiaran.
Begitupun dengan beasiswa-beasiswa yang tersedia. Hendaknya bantuan kuliah tersebut dapat lebih transparan dan tepat sasaran. Sehingga, mereka yang tak mampu membayar UKT dapat terbantu dengan adanya beasiswa tersebut. Agar, tidak terdengar lagi ada mahasiswa yang depresi karena tak mampu membayar uang kuliahnya.
Harusnya pendidikan menjadi investasi yang dapat diakses secara luas oleh semua masyarakat, termasuk masyarakat kurang mampu. Sebab pendidikan adalah hak bagi setiap warga negara.
Muhammad Iqbal, M.Pd penulis buku "Pendidikan Jaya"
(mmu/mmu)