Refleksi 3 Tahun AJV Memperkuat Jurnalis Merdeka

ADVERTISEMENT

Kolom

Refleksi 3 Tahun AJV Memperkuat Jurnalis Merdeka

Syaefurrahman Albanjary - detikNews
Kamis, 02 Feb 2023 17:00 WIB
avj
Syaefurrahman Albanjary (Foto: dok. pribadi)
Jakarta -

Kehadiran Aliansi Jurnalis Video (AJV) yang mengusung misi memperteguh semangat jurnalis merdeka di Indonesia memang baru 3 tahun usianya --lahir 2 Februari 2020 saat awal gejala pandemi Covid-19. Meski masih bayi, namun kehadirannya cukup berpengaruh dan didengar, baik di bidang pengembangan jurnalisme, edukasi maupun perlindungan jurnalis.

Beberapa catatan yang pantas jadi renungan misalnya ketika pada 2021 AJV mengajukan diri sebagai pihak terkait dalam menghadapi gugatan RCTI dan iNews ke Mahkamah Konstitusi (MK). Kedua lembaga penyiaran itu meminta agar penyiaran melalui internet dan media sosial diperlakukan sama dengan penyiaran televisi yang menggunakan frekuensi publik sehingga harus tunduk kepada UU Penyiaran dan diawasi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).

Namun MK menolak gugatan RCTI dan INews pada 14/1/2021. Seluruh pandangan dan dalil AJV tercantum dalam Putusan MK Nomor 39/PUU-XVIII/2020 di halaman 229 hingga 243 telah menjadi ad informandum dalam putusan tersebut. Putusan ini jelas merupakan angin segar bagi jurnalis video yang selama ini menyiarkan karya jurnalistiknya di berbagai platform media sosial dan jalur internet. Alangkah repotnya jika mereka diperlakukan sama dengan lembaga penyiaran berbasis frekuensi, sehingga harus berbadan hukum, bayar pajak, perizinan, dan semacamnya.

Bagi AJV, jika karya jurnalistik disiarkan melalui media sosial diperlakukan sama dengan penyiaran televisi jelas tidak sejalan dengan perkembangan teknologi, dan hal itu jelas melawan kodratnya. Oleh karena itu tuntutan perlakuan sama, jelas perlu didefinisikan ulang. Jangan sampai perlakuan itu dilihat dari sisi bisnis semata dengan mengorbankan fungsi lainnya, misalnya fungsi sosial, pendidikan, hiburan dan perkembangan ekonomi digital.

Akan berbeda jika penyiaran yang menggunakan internet itu dilihat dari sisi ketaatan pada regulasi etik, maka yang demikian itu dapat saja dimasukkan dalam revisi UU Penyiaran. Dimulai dengan mendefinisikan ulang apa yang dimaksud dengan penyiaran, apakah hanya penyiaran yang menggunakan frekuensi publik, ataukah pula penyiaran yang menggunakan internet seperti over the top seperti Netflix dan semacamnya. Lalu juga didefinisikan jurnalisme penyiaran seperti apa dan bagaimana aturan mainnya.

Dengan demikian nantinya KPI dan KPID dapat mengawasi siaran itu, bisa juga terhadap penyiaran over the top, pihak KPI juga mengawasi konten selanjutnya dilakukan pengkajian dan penindakannya diserahkan kepada Kominfo.

AJV memang baru tiga tahun berdiri. Kelahirannya seperti bayi yang hendak berjalan tapi langsung dikurung di rumah karena pandemi. Alhasil pengembangannya pun terpengaruh oleh pandemi Covid-19 yang membatasi kegiatan masyarakat. Pengembangan AJV baru berdiri di 11 provinsi, meski ada satu daerah terpaksa dibekukan karena tidak aktif.

Ke depan AJV musti terus berjalan cepat, menghadapi perubahan teknologi informasi yang cepat juga. Banyak hal yang dahulu tidak mungkin kini menjadi mungkin. Termasuk pengertian pers pun perlu didefinisikan ulang yang tidak sebatas pada pers cetak atau bahkan sebatas dimaknai kumpulan perusahaan media. Apakah orang-orang yang bekerja sebagai konten kreator yang cara kerjanya seperti jurnalis termasuk dikatakan pers? Kalau orang menyampaikan gagasan, kritik, koreksi dan hiburan melalui podcast apakah juga termasuk pers? Apakah kerja pers tetap mengacu pada 9 elemen jurnalisme ala Bill Kovach? Dan seterusnya.

Pendek kata banyak pekerjaan rumah yang musti jadi bahan kajian. Terbaru adalah saat ini banyak media online hadir menyiarkan berita daur ulang tanpa pergi ke lapangan, sadur sana sadur sini, tambah bumbu sedikit jadilah berita. Ada juga orang yang hanya membaca berita atau menganalisa berita media online, apakah juga termasuk dalam kategori penyiaran jurnalistik.

Media macam ini (podcast) dan pemberitaan media online yang hanya daur ulang, memiliki penghasilan lumayan menjanjikan, karena secara sistemik diciptakan untuk menangkap adsense Google yang masih terbuka luas. Media ini tidak mengandalkan belanja iklan dari pemda, sehingga tanpa memiliki sertifikat kelayakan media ala Dewan Pers pun jadilah. Lalu bagaimana pertanggungjawabannya, siapa yang mengontrol kredibilitasnya, apakah diserahkan kepada pasar?

Jurnalisme AI

Peran jurnalis juga mungkin akan semakin berkurang karena saat ini sudah muncul kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) yang bekerja seolah-olah seperti jurnalis. Topik apapun ada sesuai dengan yang kita mau. Mau berita video juga sudah ada pengisi suaranya. Lalu apa kebanggaan jurnalis kalau demikian?

Sekadar pengetahuan saja, AI juga mengancam peran dosen yang selalu membimbing mahasiswa membuat tesis atau skripsi. Melalui AI, seorang anak SMA dapat membuat skripsi dan tesis.

Inilah ancaman jurnalisme ke depan. Diskusi di grup AJV ramai membicarakan peran AI dalam jurnalisme. Haris Jauhari selaku Ketua Dewan Pendiri AJV juga prihatin. Katanya, kita secara umum jauh ketinggalan dalam konteks ini (praktik jurnalisme dengan bantuan AI). Kita masih sibuk membicarakan pers, bukan pers, Dewan Pers, sedangkan kenyataan sudah jauh meninggalkan dunia pers.

"Berita bahkan sudah banyak yang dibuat oleh AI, bahkan wawancara video. Perusahaan dalam wajah portal misalnya, hampir tidak berisi karya jurnalistik yang dulu kita kenal. Isinya content, sebagian besar copas," katanya.

Inilah era jurnalisme digital. Kita terlalu sibuk dan asyik memperbincangkan jurnalisme masa lalu, tapi lupa jurnalisme masa kini apalagi mendatang. Maka ketika AJV menggelar webinar pada 23 Januari lalu memperingati 3 tahun AJV juga mencatat agenda persoalan yang belum tuntas dan tidak akan tuntas. Namun setidaknya yang perlu digarisbahwahi adalah apa yang dikatakan Ketua Dewan Pengawas AJV Dr. Dadang Rahmat Hidayat yang juga ketua Umum Ikatan Sarjana Komunikasi (ISKI). Ia katakan bahwa marwah jurnalisme yang profesional tetaplah pada keteguhan mentaati etika jurnalistik, apapun medianya: cetak, TV, radio, video, media sosial.

Hal yang sama juga diingatkan oleh Dewan Pakar AJV yang juga Guru Besar Komunikasi UI Prof. Dr. Ibnu Hammad bahwa ada jurnalisme banal dan jurnalisme sakral. Banal itu artinya tidak keruan, tanpa etika tanpa norma. Ia selalu mengikuti perkembangan teknologi tapi sekadar meramaikan jagat media. Mungkin sekadar branding, provokasi, dan panjat sosial. Berbeda dengan jurnalisme yang sakral sebagai kebalikan banal tadi. Sakralitas jurnalisme ada pada nilai kejujuran dan kebenaran, dan itu ada pada kode etik.

Media apapun nama dan bentuknya hanyalah kendaraan untuk menyampaikan materi karya jurnalistik agar sampai pada alamatnya (pubik). Selagi masih menggunakan nama jurnalisme, maka ia terikat oleh etika yang menyertainya. Selanjutnya masyarakatlah yang akan menilai, apakah sebuah informasi kredibel atau tidak. Diperlukan kecerdasan membaca informasi agar tidak termakan hoax berselimut jurnalisme.

Kredibilitas karya jurnalisme akan teruji bersamaan dengan waktu. Apa yang kemarin diyakini sebagai kebenaran, mungkin pada saat yang sama menjadi salah karena informasi tandingan akan terus menyertainya dan langsung mendapat dikoreksi, karena setiap warga boleh jadi nimbrung dalam kegiatan jurnalisme secara langsung.

Akhirnya kembali pada catatan sebelumnya, bagaimana kita menghadapi tantangan baru kegiatan jurnalisme, yakni artificial intelligence (AI) yang akan mendegradasi fungsi jurnalis dan mengacaukan dunia jurnalisme. Selamat Ulang Tahun ke-3 Aliansi Jurnalis Video, berkarya selalu!

Syaefurrahman Albanjary Ketua Umum AJV 2020-2023

(mmu/mmu)

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT