Seumur-umur tinggal di Jlegongan, belum pernah saya mendengar suara 'tak-tok-tak-tok' di pagi dan sore hari secara rutin dalam jangka waktu lama. Suara itu bukan dari mainan lato-lato yang belakangan viral. Asal suara itu adalah bambu berukuran setengah meter yang dibelah dengan menyisakan ruas di bawahnya dan digerakkan oleh tangan-tangan petani.
Tujuan suara itu adalah untuk mengusir burung emprit yang belakangan menyerang persawahan. Mengikuti gema suara itu, sawah-sawah dipasangi pita plastik agar memantulkan sinar matahari dengan harapan burung tidak bisa betah bertengger dan memakan padi karena silau. Sebuah harapan yang kadang sia-sia belaka.
Kehadiran kawanan burung tadi, yang seingat saya baru pertama terjadi, hadir seiring kian berubahnya bukit-bukit di sekitar dusun kecil ini. Bukit-bukit yang dulunya penuh dengan aneka pepohonan sebagai tempat tinggal aneka satwa kini telah berubah bentuk dan fungsi.
Migrasi
Kejadian belakangan ini mengingatkan saya pada fenomena migrasi kawanan burung layang-layang asia menuju Kota Yogyakarta. Pada masa macam itu, ribuan burung akan bertengger di kabel listrik daerah perkotaan, kotorannya akan meninggalkan noda-noda putih di jalanan, dan kehadirannya membawa bau tidak sedap. Jika beruntung, pengendara yang melintas akan terkena kotoran itu.
Saya membayangkan, sejak dahulu kala leluhur burung tadi sudah rutin singgah di Yogyakarta yang masih berupa hutan lebat kala bermigrasi ke selatan. Beberapa leluhur mereka mungkin menjadi saksi tatkala Pemanahan membuka lahan di Alas Mentaok demi membangun Mataram Islam. Waktu terus berjalan, kini burung-burung itu tidak lagi menemu hutan Mentaok, melainkan hutan beton kala bermigrasi.
"Kata simbah-simbah, di sini dulunya hutan lho," ujar seorang induk burung ke anaknya sambil menikmati suasana kota pelajar, mungkin.
Mungkin juga, nasib serupa menimpa kawanan burung di bukit-bukit sekitar Jlegongan tatklala deru alat berat mengalahkan kicau mereka. Ketika waktu itu tiba, pagi tidak lagi semerdu biasanya dan hari-hari ke depan berwarna abu-abu. Mereka terpaksa pindah, tanpa sosialisasi, tanpa ganti rugi, tanpa sempat memindah sarang.
Mungkin pula, sesungguhnya mereka telah berusaha sekeras tenaga melawan deru monster tadi sebagai mekanisme alamiah untuk mempertahankan diri, sebagaimana warga Wadas atau Kendeng dalam konteks kehidupan manusia. Sayang, burung-burung kecil tentu bukan musuh seimbang bagi makhluk paling muda, namun paling sempurna di muka dunia. Dalam waktu singkat, mereka menjadi gelandangan, tanpa rumah, tanpa tempat untuk pulang.
Dalam terminologi manusia modern, burung-burung tadi tentu bukan gelandangan. Mereka adalah makhluk liar, biasa hidup nomaden, dan bisa mencari makan di mana pun. Terminologi manusia modern akan memusatkan mamalia ini sebagai pusat semesta. Ketika aneka izin dikantongi, itu artinya pembangunan siap dimulai. Jangankan memikirkan nasib burung, nasib sesamanya saja kadang tidak dipikirkan ketika merencanakan hal bernama pembangunan.
Manusia mungkin berpikir, daerah sekitar Jlegongan masih punya banyak pohon, masih banyak bukit yang belum digunduli. Tentu burung-burung bisa pindah rumah dengan gratis tanpa perlu ganti rugi, tidak seperti manusia. Makanan pun masih banyak tersedia tanpa harus diberi uang santunan. Sayang, sekali lagi, manusia sudah terlalu lama meletakkan dirinya sendiri sebagai pusat semesta. Mereka lupa jika punya dua saudara sesama makhluk hidup yang jauh lebih tua.
Jika melihat di berita, mudah saja menemukan cerita tentang korban penggusuran yang enggan pindah karena alasan ikatan komunal atau akses terhadap pekerjaan. Manusia mungkin lupa, manusia dan burung sama-sama makhluk hidup. Hanya akal budi yang membuat manusia konon berbeda dengan hewan dan tumbuhan. Manusia mungkin juga lupa, burung-burung tadi bukan makhluk bodoh. Mereka juga punya otak dan insting bertahan hidup.
Tatkala deru alat berat memasuki bukit dan burung-burung dipaksa pindah, itu sama saja dengan kisah segelintir manusia. Mereka dipaksa mencari tempat tinggal dan sumber kehidupan baru. Manusia lupa, itu semua membutuhkan proses dan penyesuaian, sama selayaknya ketika manusia digusur.
Burung-burung tadi, saya yakin, sesungguhnya tidak pernah berniat masuk ke area persawahan. Mereka terpaksa melakukannya setelah hidup menggelandang. Mereka butuh ruang barang sebentar untuk menentukan langkah selanjutnya. Mereka kalut tatkala pepohonan sebagai rumah sekaligus sumber pangan mereka satu per satu tumbang dan rata dengan tanah. Mereka paham harus kucing-kucingan, selayaknya korban penggusuran yang enggan pindah.
Mereka juga mungkin telah lelah berpindah-pindah. Mungkin, mereka sudah pernah mencoba masuk ke bukit lain dan berujung pengusiran oleh kawanan burung lain penghuni bukit itu. Toh, belum pernah rasanya ada berita manusia korban penggusuran boleh menumpang di rumah gubernur barang sebentar sembari memikirkan arah hidup selanjutnya.
Sayang, sekali lagi, manusia sudah terlalu lama duduk di pusat semesta dan menihilkan keberadaan hewan dan tumbuhan dalam banyak pengambilan keputusan. Duduk di pusat semesta terlalu lama membuat manusia lupa jika mereka tidak hidup sendiri. Mereka lupa pada satu hukum paling lama di dunia bernama hukum alam. Bahwa, ketika manusia merusak hutan, bukit, dan gunung, sejatinya mereka juga sedang merusak bagian dari keseimbangan alam.
Sayangnya pula, terminologi manusia punya diksi bernama "hama" untuk makhluk hidup yang mengusik sistem kehidupannya. Mereka lupa, hama tidak datang jatuh dari langit melainkan datang sebagai akibat ketidakseimbangan alam di sekitarnya. Tikus merebak karena ular musnah. Kebun diserang gajah karena hutan digunduli. Monyet-monyet gunung turun ke pemukiman karena hutan tanaman rakyat gagal menyediakan makanan.
Burung-burung di sawah Jlegongan tadi, sejatinya mungkin mereka hanya sedang singgah saja. Jika mereka bisa berbicara, mungkin mereka akan bercerita tentang hilangnya rumah-rumah mereka pada petani yang sekuat tenaga menyelamatkan padi. Sayang, manusia akan langsung mencap makhluk apapun yang mengusiknya sebagai hama tanpa mau memahaminya.
Tidak Dipikirkan
Nun jauh di atas sana, para pengambil keputusan tentu tidak tahu ada cerita macam ini. Mungkin di kertas analisis dan laporan burung-burung tadi tidak dimasukkan, tidak pula dipikirkan keberadaannya.
Untungnya, para pengambil keputusan tinggal di rumah gedong, jauh dari jangkauan burung penghuni bukit, monyet gunung, atau gajah sumatera yang kebingungan. Hingga, hewan-hewan tadi hanya bisa menggelandang di perkampungan terdekat --yang sekali lagi, mungkin-- tidak ada dalam peta pengambilan keputusan dan tidak pernah dibayangkan sebelumnya.
Penghuni rumah gedong tadi mungkin tidak menyangka jika merusak bukit akan mendatangkan kawanan burung ke area persawahan. Toh, ada instansi terkait untuk mengurus pertanian, semua tinggal dilaporkan dan beres. Tentu tidak mungkin adanya serangan burung di sebuah dusun kecil akan memicu kelangkaan beras, jikalau ada ya tinggal dibuka saja keran impor beras dan semuanya beres.
Bersanding dengan gemuruh pembangunan di bukit, petani-petani di sekitarnya terus menggerakkan ruas bambu tadi, mengusir kawanan makhluk kecil yang tiba-tiba datang ke sawah. Mereka tidak pernah menduganya, sama seperti ketika burung-burung tadi kehilangan rumahnya dan harus jadi gelandangan, mirip dengan sekelompok manusia yang terusir dari tanah leluhurnya demi pembangunan.
Tetapi, bukankah makhluk-makhluk kecil memang sering terlupakan dalam pembicaraan besar soal pembangunan dan seluk beluknya?