"Soft Diplomacy" dan Relevansi Peran Kaum Muda

ADVERTISEMENT

Pustaka

"Soft Diplomacy" dan Relevansi Peran Kaum Muda

Rudi Hartono - detikNews
Jumat, 03 Feb 2023 09:10 WIB
Soft Diplomacy dan Relevansi Peran Kaum Muda Indonesia
Jakarta -

Judul Buku: Soft Diplomacy Kaum Muda Indonesia; Penulis: R. Saddam Al-Jihad; Penerbit: PT Pustaka Alvabet, Oktober 2022; Tebal: 312 Halaman

Hubungan internasional telah mengalami perkembangan yang pesat dan dinamis. Pola interaksi bangsa-bangsa, termasuk di dalamnya partisipan, sepenuhnya berbeda dengan periode lampau yang hanya menempatkan state actor selaku aktor tunggal yang hendak memonopoli peran di wilayah domestik dan global. Kini, seiring kemunculan globalisasi, telah muncul pandangan yang melihat pentingnya pembagian peran dengan non-state actor dalam menjawab tantangan kontemporer.

Keberhasilan Korea Selatan dalam menyebarluaskan pengaruh Korean Wave ke berbagai penjuru dunia, tidak terkecuali Indonesia, tidak lepas dari adanya ruang berbagi dengan non-state actor sehingga memungkinkan terjadinya proses aktualisasi potensi diri generasi bangsanya. Korean Wave sebagai budaya populer Korsel, seperti drama; musik pop; fashion; variety, tidak hanya membawa manfaat positif bagi kebudayaan Korsel, melainkan juga secara ekonomi dapat berkembang.

Peran non-state actor dalam menyebarluaskan Korean Wave sebagai bentuk soft power diplomacy menunjukkan kalau eksistensi mereka di kancah global tidak membawa misi eksklusif yang inkompatibel dengan kepentingan nasional negaranya. Sebaliknya, peran non-state actor justru selaras --kalau bukan diselaraskan-- dengan national interest bangsanya. Artinya pada era globalisasi, setiap upaya untuk memenangkan kepentingan nasional satu bangsa, sejatinya dapat dibangun melalui cara-cara yang lebih soft.

Korsel jelas bukan satu-satunya negara yang tergolong sukses dalam menjalankan soft power diplomacy. Namun, setidaknya Korsel bisa menjadi contoh paling jelas dan mudah dipahami banyak orang perihal keberhasilan negara tersebut dalam menyebarluaskan Korean Wave, melalui strategi interaksi yang melibatkan non-state actor. Hal ini tentunya menjadi tantangan bagi Indonesia: bisakah mengikuti trayektori Korsel yang berhasil mendayagunakan potensi generasi bangsanya?

Buku berjudul Soft Diplomacy Kaum Muda Indonesia yang ditulis Respiratori Saddam Al-Jihad ini menunjukkan optimisme akan potensi bangsa Indonesia dalam membangun pengaruhnya melalui sarana soft power diplomacy. Dengan memakai perspektif sejarah, soft power diplomacy telah dipraktikkan oleh tokoh-tokoh pergerakan nasional sebagai pendekatan perjuangan yang dikombinasikan dengan pendekatan hard power. Buku ini memberikan pembacaan yang kontekstual dengan menawarkan konsep soft diplomacy yang dipandang berbeda dengan model diplomasi konvensional yang tampak kaku, dogmatis dan reduksionis.

Meskipun dalam diskursus hubungan internasional, konsep soft diplomacy relatif baru dikenal setelah satu dekade kemunculan konsep soft power (h. 13). Namun secara praktik, tokoh-tokoh pergerakan nasional seperti Sukarno, Hatta, hingga Sjahrir telah menggunakan pendekatan ini dalam perundingan dengan Belanda. Saat perundingan Philip Christison dilaksanakan pada Februari - Maret 1946, semisal, Sjahrir ditunjuk sebagai perwakilan dari Indonesia. Sementara dalam perundingan Linggarjati dikenal sosok Mr Muhammad Roem sebagai delegator Indonesia (h. 75-78).

Dari dua kasus tersebut menunjukkan kalau usaha-usaha perjuangan merebut dan atau mempertahankan kemerdekaan dilakukan dengan soft diplomacy, di samping memakai cara-cara hard power. Menurut Al-Jihad keterlibatan tokoh-tokoh pergerakan nasional dalam perundingan merupakan peristiwa sejarah yang membuka jalan legitimasi bagi generasi muda hari ini agar diberikan kesempatan untuk terlibat dalam agenda-agenda soft diplomacy.

Konsep soft diplomacy yang dikemukakan Al-Jihad ini merupakan elaborasi dari konsep Joseph S. Nye yang mengklasifikasi power ke dalam tiga bentuk, yakni soft power, hard power dan smart power. Hanya saja, konstruksi gagasan soft diplomacy dalam buku ini hendak dijangkarkan ke dalam wawasan Pancasila. Berangkat dari tilikan ini, buku ini mengartikan soft diplomacy sebagai praktik yang mengutamakan cara-cara persuasif, dengan menempatkan hati nurani sebagai sumber semangat moral.

Pengutamaan pendekatan persuasif dengan memanfaatkan kanal-kanal komunikasi dan interaksi informal, menurut Al-Jihad, membawa konsekuensi negara-bangsa tidak lagi dipandang sebagai aktor tunggal di dalam soft diplomacy. Pandangan ini kompatibel dengan tesis world state yang menghendaki negara-bangsa kuat sekaligus kohesi global pun kuat. Sehingga ruang berbagi peran antara state actor dan non-state actor dianggap relevan dalam menjawab persoalan dan tantangan, seperti tercermin sewaktu Pandemi Covid-19, di mana kolaborasi dan kerja sama lintas elemen menjadi kunci keberhasilan suatu negara dalam menghadapi bencana pagebluk itu.

Kendati Al-Jihad dalam buku ini mengemukakan gagasan non-state actor, tapi gagasan ini cenderung ditekankan pada kelompok pemuda, utamanya mereka yang terhimpun dalam organisasi Cipayung Plus, sebagai agen soft diplomacy. Karenanya dalam analisis Al-Jihad menyebutkan walaupun organisasi kepemudaan punya peran penting, namun persoalannya, organisasi tersebut masih rentan dihadapkan dengan persoalan ekonomi yang menghambat partisipasi kaum muda.

Menurut Al-Jihad kesadaran akan pentingnya peran organisasi kepemudaan dalam soft diplomacy hendaknya diperkuat dengan kesadaran dalam membangun kemandirian ekonomi. Kemandirian ekonomi adalah pilar penting soft diplomacy. Sehingga upaya mewujudkan cita-cita kemandirian, Al-Jihad mengajukan gagasan koperasi Mohammad Hatta sebagai pijakan dasarnya (h. 117).

Dalam analisisnya tentang peranan kaum muda, Al-Jihad menjelaskan bahwa peranan kaum muda Indonesia bukan berarti tanpa batasan. Dalam pengertian, ada batas yang tegas antara state actor dan non-state actor, yakni otoritas formal. Sehingga di titik ini peranan non-state actor dilihat sebagai katalisator dalam merajut, serta memperkuat, hubungan antar bangsa, termasuk dalam usaha-usaha mencari solusi atas persoalan dan tantangan bersama.

Paling tidak, Al-Jihad mengajukan lima agenda penting bagi non-state actor di organisasi Cipayung Plus, yakni membangun ruang-ruang perjumpaan dalam upaya menjajaki kolaborasi dan kerja sama; memperkuat dialog lintas agama sebagai respons terhadap menguatnya gejala populisme politik identitas; menjaga dan memelihara perdamaian dan keamanan global di tengah tendensi ancaman multidimensi akibat antagonisme kepentingan; menjaga kelestarian lingkungan hidup sebagai kunci dalam pembangunan berkelanjutan; dan, memperjuangkan Hak Asasi Manusia (HAM) bagi semua orang.

Kehadiran buku ini tentu bukan tanpa kritik. Masih terdapat ruang di mana kritik yang konstruktif dapat dilayangkan. Sebab pembahasan mengenai peran non-state actor di buku ini cenderung diletakkan hanya pada organisasi kepemudaan. Tapi terlepas dari itu, kehadiran buku ini turut memperkaya literatur diplomasi kontemporer yang secara spesifik membahas konsep soft diplomacy --atau juga dikenal dengan istilah strategi diplomasi belakang pintu.

Rudi Hartono alumnus UIN Maliki Malang

(mmu/mmu)

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT