Ke Mana Arah Agenda Transisi Energi di Tahun Politik?

ADVERTISEMENT

Kolom

Ke Mana Arah Agenda Transisi Energi di Tahun Politik?

Firdaus Cahyadi - detikNews
Kamis, 02 Feb 2023 14:10 WIB
Infog Transisi Energi
Ilustrasi: dok. detikcom
Jakarta -

Hari-hari ini dan ke depan kita akan hidup dalam ancaman bencana ekologi akibat krisis iklim. Bukan rahasia lagi, penyebab utama krisis iklim adalah emisi gas rumah kaca (GRK). Energi fosil adalah penyumbang utama emisi GRK ini. Tak heran muncul tekanan dari masyarakat di dunia agar para pemimpin negara segera melakukan transisi energi, meninggalkan energi fosil menuju energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan hidup.

Di sela-sela KTT G20 tahun lalu, pemerintah Indonesia mengumumkan mekanisme pendanaan baru transisi energi berupa Just Energy Transition Partnership (JETP). Dalam mekanisme pendanaan itu sejumlah negara anggota G7 serta negara mitra dari Uni Eropa akan memobilisasi pendanaan untuk transisi energi Indonesia senilai US$ 20 miliar atau sekitar Rp 310,4 triliun.

JETP diklaim akan secara signifikan mempercepat transisi Indonesia menuju masa depan energi yang lebih bersih, mengurangi kumulatif emisi gas rumah kaca lebih dari 300 megaton hingga 2030 dan pengurangan jauh di atas 2 gigaton hingga 2060 dari proyeksi Indonesia saat ini. Di tengah ketergantungan Indonesia terhadap energi fosil, muncul pertanyaan mendasar, seriuskah Indonesia melakukan transisi energi?

Transisi energi sejatinya bukan sekadar persoalan pendanaan, namun juga persoalan komitmen untuk melaksanakannya. Pertanyaannya kemudian, bagaimana komitmen pemerintah dalam transisi energi? Siapkah pemerintah meninggalkan energi fosil, penyebab krisis iklim dan beralih ke energi terbarukan?

Untuk menjawabnya kita perlu melihat beberapa kebijakan dan juga pernyataan pemerintah yang muncul terkait transisi energi. Presiden Joko Widodo telah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 112 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik. Meskipun judul Perpres itu tentang energi terbarukan, namun isinya justru memberikan 'perlindungan' terhadap batu bara, salah satu energi fosil yang menyebabkan krisis iklim.

Bagaimana tidak, Perpres Nomor 112 itu justru masih membuka ruang bahkan memberikan kepastian dan perlindungan bagi rencana pembangunan PLTU baru agar dapat dibangun sampai 2030. Setidaknya ada 13.819 Mega Watt (MW) atau hampir 14 Gigawatt (GW) listrik dari PLTU batu bara yang masih bisa dibangun selama 2021-2030.

Dari Perpres tersebut kita dapat menyimpulkan bahwa pemerintah masih bersikap setengah hati untuk melakukan transisi energi. Sikap setengah hati dalam melakukan transisi energi juga terlihat di Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM). Bagaimana tidak, hampir bersamaan dengan diluncurkannya JETP, Menteri ESDM Arifin Tasrif justru mengatakan investasi migas (minyak dan gas), yang merupakan energi fosil penyebab krisis iklim, masih menarik investor.

Pernyataan yang bertolak belakang dengan semangat transisi energi itu muncul saat penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) beberapa pelaku bisnis (B to B) sektor energi pada side event forum B20 Summit, dua hari sebelum KTT G20 dibuka. Sikap setengah hati dalam transisi energi tidak hanya ditunjukkan pemerintah, namun juga bank-bank milik negara (BUMN).

Laporan riset 350 Indonesia bersama koalisi masyarakat sipil "Bersihkan Bankmu" mengungkapkan bahwa Bank Mandiri mengeluarkan USD 3,19 miliar pinjaman kepada 10 perusahaan batu bara antara 2015 dan 2021. Sementara BRI, dari 2015-2021 telah memberikan pinjaman senilai USD 122,5 juta kepada tiga perusahaan batu bara. Sedangkan BNI, meminjamkan USD 53,4 juta kepada tiga perusahaan batu bara. Padahal, bank BUMN seharusnya menjadi garda terdepan bagi pendanaan energi terbarukan, ternyata justru masih terus memilih mendanai energi kotor batu bara.

Akankah pada tahun ini, pemerintah sepenuh hati menjalankan agenda transisi energi dalam JETP? Tahun 2023 adalah tahun politik. Di tahun politik, sikap pemerintah yang belum sepenuhnya menginginkan transisi energi berada dalam tantangan yang berat dalam implementasi JETP. Bagaimana tidak, berdasarkan pengalaman pada pemilu legislatif dan presiden sebelumnya, setiap tahun politik, para bohir (penyandang dana kampanye untuk kandidat legislatif dan presiden) mulai mempersiapkan calonnya.

Para bohir itu tentu ingin kandidat yang didanainya tidak akan "mengganggu" kepentingannya saat nanti menjadi pejabat publik. Celakanya, sebagian dari para bohir itu adalah pemain di industri energi fosil, seperti migas dan batu bara. Kepentingan mereka jelas, mereka ingin bisnis mereka tetap berjalan berlanjut meskipun krisis iklim tengah mengancam keselamatan penduduk bumi.

Di tahun politik ini, bisa saja pemerintah tetap pada sikapnya yang setengah hati dalam menjalankan transisi energi atau justru pemerintah akan berbalik ke belakang, kembali tergantung terhadap energi fosil. Celakanya, sampai artikel ini ditulis, kita belum mendengar dan membaca komitmen calon presiden dan politisi terhadap persoalan transisi energi di Indonesia.

Lantas, apakah kita sebagai warga akan diam saja ketika agenda transisi energi hanya dilaksanakan setengah hati, bahkan dibajak oleh pemilik modal di sektor energi fosil? Kita tidak bisa diam. Kita harus selalu mendesakkan kepada pengambil kebijakan agar sepenuh hati mendukung transisi energi.

Di tahun politik ini, kita juga perlu terus mendesakkan agar transisi energi menjadi agenda penting yang diperdebatkan dalam pemilu legislative maupun presiden. Hanya dengan itu kita dapat mencegah para pemilik modal di industri energi fosil membajak agenda transisi energi.

(mmu/mmu)


ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT