Setiap awal tahun, Mahkamah Agung mengagendakan acara laporan tahunan (laptah). Laptah MA biasanya berlangsung megah, diisi laporan Ketua MA. Penuh dengan success story terutama mengenai jumlah perkara yang berhasil diputus tanpa menyinggung kualitasnya. Untuk laporan tahun 2022, disampaikan akhir Januari 2023. Kali ini, berbeda dengan tahun-tahun yang lalu, laptah tentu digelar dalam keprihatinan. Maklum, untuk pertama kalinya dalam sejarah lembaga yudikatif itu, dua Hakim Agung terjerat kasus korupsi.
Selama ini, yang namanya Hakim Agung di lembaga itu dianggap orang suci, makhluk yang dianggap bakalan tak akan tergiur dengan serbaneka godaan yang berujung perbuatan rasuah. Karena itu, predikat "Yang Mulia" mutlak dianggap haknya, kendatipun mantan Ketua MA Harifin Tumpa pernah menyarankan agar gelar itu dicopot saja.
Saran itu tak pernah digubris, karena Mahkamah Agung sudah lama mengidap penyakit Dunning Kruger Effect, suatu penyakit yang diakibatkan kurangnya kemampuan mengendalikan ilusi superioritas dalam diri.
Karena efek itu pulalah mengapa selama ini sidang-sidang perkara di tingkat Kasasi dan Peninjauan Kembali (PK) terkesan tertutup sehingga memberi kesempatan terjadinya putusan-putusan aneh. Sebenarnya, setiap sidang kasasi atau peninjauan kembali di Mahkamah Agung selalu diawali dengan ucapan "sidang dinyatakan terbuka dan terbuka untuk umum" diiringi ketukan palu oleh Ketua Majelis.
Artinya, siapapun diperkenankan menyaksikan jalannya sidang, sehingga pengunjung langsung mengetahui argumentasi yuridis dari para hakim mengapa mereka harus menjatuhkan hukuman atau membebaskan Terdakwa atau Terpidana. Dengan menyaksikan sendiri jalannya sidang, Pengacara atau siapapun yang berkepentingan akan mengetahui orisinalitas dan kualitas pendapat hakim yang memeriksa dan mengadili perkara. Mereka akan dapat menilai apakah pendapat hakim yang bersangkutan merupakan hasil kompromi atau pesanan.
Pembacaan advis blad (usul/pendapat Hakim Agung) di muka umum akan menutup kemungkinan diubahnya advis blad atau bahkan putusan, sehingga tidak mungkin lagi mengubah hukuman dari 15 tahun menjadi 5 tahun seperti yang pernah terjadi. 0leh karena itu Hakim Agung akan membuat advis blad-nya lebih serius, tidak asal asalan. Maklum, dia harus mempresentasikan pendapatnya dan mempertahankan reputasinya di muka umum, disorot banyak mata dan kamera.
Kendatipun sidang dinyatakan terbuka dan terbuka untuk umum, tetapi selama ini sidang di MA tidak pernah dapat disaksikan oleh siapapun. Tidak oleh Pengacara atau keluarga Terdakwa/Terpidana. Bahkan tidak juga oleh wartawan yang ingin meliput. Kehadiran mereka memang tidak dimungkinkan walaupun sidang dinyatakan terbuka karena sidang biasanya dilangsungkan di ruang rapat Ketua Majelis. Artinya di ruang kerja salah seorang Hakim Agung yang ditunjuk menjadi Ketua Majelis.
Jadi di Mahkamah Agung memang tidak akan ditemukan ruang sidang khusus untuk memutus perkara yang memungkinkan hadirnya mereka yang ingin menyaksikan sidang yang sedang berlangsung. Lalu apa artinya ucapan "sidang dinyatakan terbuka dan terbuka untuk umum" sebagaimana ketentuan Pasal 153 ayat 3 KUHAP dan Pasal 13 UU No.48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman? Sekadar formalitas belaka! Bukankah pintu ruang kerja Ketua Majelis sengaja dibuka walau hanya sedikit?
Nah, ketentuan yang diatur dalam Pasal 13 UU No.48/2009 tentang persidangan yang terbuka untuk umum itu dinafikan sendiri oleh Mahkamah Agung yang dikenal sebagai "suhu" segala peraturan perundang-undangan. Ketentuan yang dimanipulasi itu berbunyi:
1. Semua sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali undang-undang menentukan lain.
2. Putusan Pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
3. Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) mengakibatkan putusan batal demi hukum.
Lebih dari 17 tahun yang lalu, tepatnya tanggal 13 September 2005, ketika vonis kasasi perkara korupsi pertama pasca UU No.31/1999 tentang pemberantasan korupsi, dengan terdakwa Abdullah Puteh Gubernur NAD digelar (detikcom, 13 September 2005), persoalan terbuka atau tertutupnya sidang sudah menjadi masalah hangat.
Sebagai perkara korupsi pertama hasil penyelidikan/penyidikan/penuntutan yang dilakukan oleh KPK dan diajukan ke tingkat kasasi, perkara pengadaan pesawat Helikopter MI-2 buatan Rusia yang dibeli Abdullah Puteh itu menjadi pusat perhatian masyarakat. Selain sebagai sidang kasasi perdana perkara korupsi, cerita pengadaan pesawat heli itu sendiri cukup menarik perhatian.
Helikopter itu dibeli oleh Puteh dengan alasan wilayahnya yang tidak aman sehingga tugas pengawasan ke daerah hanya dapat dilakukan melalui perjalanan udara. Sampai di sini, alasan yang dikemukakan masih masuk akal. Tetapi yang menjadi persoalan adalah pengadaan helikopter itu sendiri. Salah satu mesinnya ternyata bekas! Dibeli dengan menggunakan dana bidang pendidikan, hasil patungan para bupati di NAD.
Dengan alasan sangat menarik perhatian masyarakat, sidang kasasi kasus korupsi Gubernur NAD Abdullah Puteh itu dilangsungkan di gedung MA secara terbuka. Artinya, dengan toga lengkap majelis Hakim yang terdiri dari Artidjo Alkostar sebagai Ketua dan para anggota yang terdiri dari Krisna Harahap, MS Lume, Hamrad Hamid, dan Mansyur Kartayasa duduk berjejer membaca putusan secara bergantian disaksikan oleh pengacara Terdakwa yakni Assegaf dan OC Kaligis di samping para jurnalis elektronik/cetak. Jalannya sidang berlangsung di depan tatapan mata pengunjung serta pemirsa yang mengikuti sidang secara langsung melalui kamera TV.
Sayang, pascasidang kasasi perdana itu, sidang terbuka "gaya lama" kembali diberlakukan. Semua sidang kasasi atau peninjauan kembali, kembali ke kamar-kamar kerja Ketua Majelis sehingga mengundang kecurigaan masyarakat. Komisi Yudisial sendiri merasa kesulitan melacak putusan-putusan kasasi/peninjauan kembali yang berbau tak sedap karena putusan-putusan itu digodok di balik layar, hanya oleh majelis dan panitera.
Setelah dua Hakim Agung-nya terjerat rasuah, Mahkamah Agung berusaha membenahi diri. Di antaranya dengan rencana menyiarkan pengucapan putusan kasasi dan peninjauan kembali melalui siaran langsung dengan memanfaatkan teknologi atau live streaming. Untuk mewujudkannya, Ketua MA telah membentuk Kelompok Kerja (Pokja).
Untuk memenuhi ketentuan Pasal 153 ayat (3) KUHAP dan Pasal 13 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, sidang terbuka seharusnya tidak hanya untuk mendengar keputusan perkara, tetapi juga untuk mendengar pembacaan advis blad para Hakim Agung sehingga dapat disaksikan langsung oleh siapa saja yang merasa berkepentingan. Jadi tidak cukup hanya dalam bentuk live streaming. Karena itu, tugas Pokja tidaklah ringan. Maklum, setiap tahun jumlah perkara yang masuk ke Mahkamah Agung tak kurang dari 10.000.
Krisna Harahap Hakim Agung Ad Hoc Tipikor (2004-2021)