Momentum puncak peringatan satu abad NU akan diadakan pada awal Februari 2023. Dalam rangkaian seremoni yang bertemakan "Mendigdayakan Nahdlatul Ulama Menjemput Abad Kedua Menuju Kebangkitan Baru" tersebut, salah satunya akan digelar Muktamar Internasional Fiqih Peradaban. Program ini, menurut Ketua Tanfidziyah PBNU KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya), bertujuan untuk menegaskan upaya NU untuk berperan dalam melestarikan perdamaian di dunia.
Menurutnya, dunia saat ini masih dibayangi konflik yang mengatasnamakan ras dan agama. Sedangkan, organisasi internasional yang menaungi bangsa-bangsa, PBB, dengan piagam dan segala perjanjian perdamaiannya dinilai belum efektif mengikat warga dunia untuk menghindari konflik dan melestarikan perdamaian.
Kesungguhan PBNU dalam menawarkan solusi perdamaian kepada seluruh umat manusia di seluruh dunia tidak main-main. Dalam mewujudkan tujuan besar itu, PBNU telah menyelenggarakan ratusan acara pendukung yang berupa halaqoh setingkat ranting hingga konferensi internasional. Bahkan, gelaran Muktamar nanti sedianya akan dibahas bagaimana status piagam PBB di mata umat Islam.
Gus Yahya, dalam sebuah ceramah baru-baru ini menyampaikan tujuan dipilihnya pembahasan dalam muktamar nanti. "Sejauh mana keabsahan Piagam PBB dan organisasi PBB dengan mempertimbangkan alasan, proses, dan mekanisme serta tujuan kelahirannya sebagai perjanjian ('ahd) yang mengikat umat Islam atas dasar keabsahan pihak-pihak (negara-negara dan para kepala negara) yang mengklaim posisi sebagai wakil-wakil mereka (umat Islam) pada saat menyepakatinya," ujar Gus Yahya.
Kurang Optimal
PBNU menganggap kurang optimalnya proses perdamaian dunia adalah karena piagam PBB dan hasil perundingan multilateral tentang konflik dan resolusinya belum sepenuhnya dan tidak selalu dipatuhi oleh negara negara di dunia. Pendekatan relasi antarbangsa yang dianut PBNU dalam hal ini memakai teori Liberalisme Institutionalisme.
Paham yang berkembang pasca Perang Dunia I tersebut bertujuan untuk memberikan jalan diplomasi antar negara yang diakomodasi oleh institusi internasional. Di kemudian hari, memang masih ditemukan banyak masalah sehingga kritikus menganggap teori ini tidak efektif. Namun yang masih meyakini beranggapan bahwa pendekatan liberalisme memungkinkan setiap negara di dunia memiliki keamanan kolektif dalam penyelesaian konflik.
Masalahnya, dalam kurun 10 tahun terakhir dunia sedang "sayang-sayangnya" dengan realisme. Masalah internal yang terjadi di setiap negara selalu menjadi prioritas kepentingan di setiap pemerintahan. Dan, karena tiadanya sistem atau aktor negara yang benar-benar berhak mengatur negara lainnya, maka pendekatan kebijakan luar negeri yang lebih pragmatis selalu dominan.
Bangsa-bangsa bisa saja memutuskan untuk berperang jika itu perlu untuk kepentingan bangsanya. Ini menjadi tantangan terhadap cita-cita NU untuk memperkuat PBB dan Piagam PBB dengan "mengajak" umat Islam untuk ikut "meratifikasi" perjanjian perdamaian di tingkat bangsa-bangsa. Sehingga mendapat semacam persetujuan atau tidak pun dari umat Islam, piagam PBB masih tetap akan berpotensi untuk tidak efektif dalam menjaga perdamaian.
Adapun relevansi kesepakatan bangsa-bangsa dalam piagam PBB masih akan tetap diperjuangkan oleh PBNU. Jika mengikuti cara berpikir kaum pesantren, dalam kaidah fiqh disebutkan ma la yudraku kulluhu la yutraku kulluhu (apa yang tidak dapat diraih semuanya, maka tidak ditinggalkan semuanya). Maka kekurangsempurnaan implementasi dari kesepakatan internasional tentang pelestarian perdamaian dan pemenuhan hak asasi manusia bukan berarti harus ditinggalkan begitu saja.
Hanya saja, akan lebih efektif jika usaha NU untuk menjaga perdamaian dunia ini disuarakan secara kontinyu oleh umat Islam, tidak hanya berhenti pada gelaran harlah 100 tahun NU semata. Dengan ini, wacana islamophobia bahwa umat Islam identik dengan konflik diharapkan akan terkikis dengan sendirinya.
Terobosan Baru
Terobosan yang out of the box dari NU ini patut dinanti nantikan hasilnya. Bagaimana tidak, ulama dari berbagai belahan dunia akan berkumpul untuk membahas ikatan kesepakatan bangsa-bangsa dalam PBB dan piagam PBB bagi kaum muslimin. Terlebih, selama ini kesepakatan yang dibuat dalam organisasi internasional yang menaungi hampir seluruh bangsa bangsa di dunia ini memang masih belum efisien dalam mencegah konflik yang terjadi.
Buktinya, perang berkepanjangan Palestina dan Israel hingga kini belum menemukan solusi yang benar-benar bisa diterima oleh pihak yang berkonflik. Dendam masa lalu, ego, dan politik dalam negeri masing-masing negara seringkali menjadi faktor dominan yang melatarbelakangi konflik.
Di millennium yang baru, konservatisme dan fanatisme dalam beragama sempat booming di seluruh dunia. Terpilihnya pemimpin dunia dari partai-partai yang memiliki ideologi kanan menjadi penanda bahwa dunia sedang menginginkan penguatan identitas bangsanya. Kebijakan Brexit atau keluarnya UK dari Uni Eropa, dan islamophobia yang terjadi di berbagai negara hanya sedikit dari banyaknya gejala yang terjadi. Kebijakan luar negeri bagi bangsa-bangsa pun mulai bergeser ke pemenuhan kepentingan bangsanya masing-masing, alih-alih bersekutu dengan bangsa lain dan saling berkomitmen untuk kepentingan bersama.
Sedangkan, umat Islam yang berada di berbagai belahan dunia seringkali menjadi objek atas segala kekacauan yang terjadi. Tuduhan bahwa umat memiliki prinsip eksklusivitas dianggap menjadi salah satu penghalang kehidupan bermasyarakat yang harmoni bagi warga dunia. Selain itu, perbedaan pendapat di kalangan umat Islam seperti yang selama ini terjadi menjadi tantangan yang harus lebih utama diselesaikan.
Seperti diketahui, dalam internal kaum muslimin sendiri terdapat perbedaan-perbedaan pendapat yang dapat memicu konflik. Perbedaan teologi, politik serta tata cara beribadah saja selama ini menjadi salah satu faktor perselisihan yang berujung pada kekerasan fisik dan non fisik. Maka, kehadiran para ulama dunia nanti juga diharapkan untuk mencari solusi yang tepat untuk mewujudkan damai dalam tubuh umat Islam sendiri sementara memahami perbedaan. Jika tidak, bisa saja integritas umat Islam untuk mendamaikan dunia akan dipertanyakan.
Penyegaran Pemahaman
Organisasi kemasyarakatan keagamaan yang sebelumnya identik dengan wawasan tradisionalisme itu kini bertransformasi ikut serta dalam usaha perdamaian dunia. Tentunya, NU berjalan pada koridor yang mana organisasi ini mumpuni, yaitu menghadirkan penyegaran pemahaman atas teks agama untuk menyikapi permasalahan umat manusia. Musyawarah dan pembahasan atas permasalahan terkini yang biasa digelar di scope kecil pondok pesantren, kini dihadirkan untuk menyelesaikan masalah dunia.
Jika dalam skala kecil para santri berdebat, sekarang NU berinisiasi mengundang para pakar Islam dunia untuk menyimpulkan langkah terbaik yang dapat ditempuh umat Islam. Walhasil, pembahasan status konsensus PBB di mata umat Islam akan menentukan arah peradaban dunia secara umum. Akankah umat didorong untuk akur dengan kesepakatan bangsa-bangsa, atau, jika tidak, dapatkah alternatif lain menjadi pijakan dasar kaum muslimin untuk melestarikan perdamaian di muka bumi?
Langkah serius NU untuk menghadirkan solusi atas konflik yang terjadi di dunia harus didukung dengan ide dan masukan. Sehingga diharapkan umat Islam akan menyambutnya dengan suka cita. Selamat berulang tahun ke satu abad, NU.