Di Balik Demonstrasi Kepala Desa

ADVERTISEMENT

Mimbar Mahasiswa

Di Balik Demonstrasi Kepala Desa

M. Khusnul Khuluq - detikNews
Rabu, 01 Feb 2023 13:00 WIB
Ribuan kepala desa demo depan gedung DPR
Foto: Anggi/detikcom
Jakarta -

Para Kepada Desa melakukan demonstrasi pada Selasa (17/1) di depan Gedung DPR RI. Mereka mendesak DPR melakukan revisi Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa. Tepatnya, mereka menuntut masa jabatan Kepala Desa dari 6 tahun diperpanjang menjadi 9 tahun.

Sebetulnya, kita patut bersyukur dengan adanya Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa. Karena dengan Undang-Undang ini, entitas desa diperjelas eksistensinya. Dalam Undang-Undang itu pula, masa jabatan Kepala Desa diatur, yaitu selama 6 tahun dan dapat menjabat dua kali masa jabatan lagi jika terpilih kembali.

Tidak Etis

Dalam hal ini, penting untuk ditekankan bahwa jabatan itu adalah amanah. Dan, meminta jabatan diperpanjang itu tidak etis. Apalagi jabatan politik. Sebagai ilustrasi misalnya, bagaimana jika Presiden atau anggota DPR yang sedang menjabat meminta untuk diperpanjang masa jabatannya?

Dalam Pasal 34 Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 disebutkan: Kepala Desa dipilih langsung oleh penduduk Desa. Pemilihan Kepala Desa bersifat langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Dari sini dapat dipahami bahwa jabatan Kepala Desa dipilih melalui mekanisme pemilu, sebagaimana jabatan politik lain seperti Presiden atau anggota DPR.

Jabatan adalah amanah dari masyarakat. Dalam hal ini, terpilih sebagai Kepala Desa artinya dipilih oleh rakyat desa untuk diberi amanah. Bagi yang mendapatkan amanah, tugasnya adalah bekerja dengan baik. Setelah itu, amanah dapat diberikan pada yang lain. Atau bisa menduduki jabatan itu lagi jika diberi amanah kembali. Jadi, amanah itu diberi oleh pemberi amanah. Bukan diminta oleh penerima amanah.

Potensi Korupsi Lebih Besar

Perpanjangan masa jabatan Kepala Desa juga membuka potensi korupsi yang lebih besar. Sejak adanya dana desa, desa mendapat dana sebesar Rp 1 miliar per tahun untuk setiap desa. Dengan dana ini, kita ada harapan pembangunan dapat dilakukan dari tingkat desa. Sehingga, pembangunan benar-benar menyentuh masyarakat akar rumput. Dari segi ekonomi, desa dapat menjadi maju dan berkembang.

Namun, fakta yang selaras dengan itu, ratusan Kepala Desa justru terjerat masalah korupsi dana desa. Nah, dengan diperpanjang masa jabatan Kepala Desa, potensi untuk korupsi akan semakin besar. Karena semakin lama berkuasa akan semakin membuka peluang menjadi korup.

Dalam Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 disebutkan: Kepala Desa memegang jabatan selama 6 (enam) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan. Kemudian ayat (2) menyebutkan: Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menjabat paling banyak 3 (tiga) kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut.

Dari sini dapat dilihat bahwa Kepala Desa bisa menjabat tiga periode, secara berturut-turut atau tidak. Jika masa jabatan Kepala Desa diperpanjang menjadi 9 tahun dan menjabat berturut-turut, artinya Kepala Desa bisa menjabat selama 27 tahun. Semakin lama berkuasa semakin membuka potensi korupsi yang lebih besar.

Mengancam Demokrasi

Dalam konteks demokrasi, masa jabatan yang panjang adalah berita yang tidak baik. Karena itu mengarah pada kekuasaan yang absolut. Kekuasaan selama 27 tahun memungkinkan seorang Kepala Desa membangun birokrasi yang tidak sehat.

Misalnya, merekrut orang-orang dekat untuk menduduki jabatan di lingkup desa (baca: nepotisme). Tentu dengan tujuan agar apapun kebijakan yang dibuat di tingkat desa selalu didukung. Kekuasaan yang nepotis juga memungkinkan untuk dibuatnya persekongkolan dengan tujuan yang tidak baik (baca: kolusi).

Jadi, kekuasaan dengan masa jabatan yang lama membuka peluang bukan hanya terbentuknya kekuasaan yang korup. Tapi juga kekuasaan yang nepotis dan kolusif. Itu gambaran kekuasaan yang absolut di tingkat desa sebagai dampak dari masa jabatan Kepala Desa yang diperpanjang menjadi 9 tahun. Ini benar-benar berita buruk bagi demokrasi. Meski di tingkat Desa, semangat demokrasi juga perlu ditegakkan.

Tentu argumen sebaliknya juga dapat diajukan. Misalnya, dengan masa jabatan yang panjang, seorang Kepala Desa bisa lebih leluasa menjalankan agenda/program pembangunan di desa. Namun, fakta yang ada telah menunjukkan sebaliknya.

Transaksi Politik Pemilu 2024

Satu lagi analisis yang barang kali relevan dengan isu ini. Yaitu terkait dengan agenda politik 2024. Dengan masa jabatan Kepala Desa yang diperpanjang, ratusan Kepala Desa itu harus berterima kasih. Kepada siapa? Tentu kepada DPR dan Presiden. Karena mereka yang mengesahkan regulasinya.

Dan, apakah terima kasih itu hanya berupa ucapan saja? Tentu tidak. Namun berupa dukungan kepada keduanya. Misalnya, perpanjangan masa jabatan Kepala Desa tadi ditukar dengan dukungan terhadap perpanjangan masa jabatan anggota DPR dan/atau Presiden. Bisa salah satu atau keduanya.

Dukungan para Kepala Desa ini tidak main-main. Kepala Desa di seluruh Indonesia jumlahnya ratusan. Dan, setiap Kepala Desa punya wewenang mengendalikan birokrasi di tingkat akar rumput. Dengan dukungan semua Kepala Desa di seluruh Indonesia, perpanjangan masa jabatan anggota DPR dan/atau Presiden bisa saja menjadi nyata.

Dan, itu tampak masuk akal karena seluruh Kepala Desa mendukung. Dengan skenario itu, anggota DPR dan/atau Presiden dapat menjabat lagi pada 2024 tanpa perlu melalui pemilu. Dengan analisis itu, dapat dilihat adanya transaksi politik antara kekuasaan di tingkat pusat dan tingkat desa. Adapun demonstrasi para Kepala Desa sebagai bentuk penyampaian aspirasi, itu hanya soal teknis agar perpanjangan masa jabatan terlihat masuk akal bagi publik.

Demonstrasi itu membuat perpanjangan masa jabatan Kepala Desa seakan menjadi tuntutan pubik. Meski publik dalam hal ini adalah hanya kumpulan para Kepala Desa saja, tidak mewakili semua masyarakat. Karena akan tampak janggal, jika DPR dan Presiden tiba-tiba mengesahkan revisi Undang-Undang Desa untuk memperpanjang masa jabatan Kepala Desa.

Dari sini tampak bahwa di balik demonstrasi para Kepala Desa ini, ada polemik yang cukup kompleks. Mulai dari munculnya gejala tumbuhnya etika politik yang tidak baik, potensi birokrasi yang korup, peluang absolutisme yang mengancam demokrasi, maupun transaksi politik.

Tentu kita tidak ingin itu semua terjadi. Karena itu, sebaiknya kita perlu tegaskan kembali. Bahwa jabatan, termasuk jabatan Kepala Desa adalah amanah yang harus dijalankan sebaik mungkin. Dan, untuk mewujudkan kebaikan di tingkat desa, seorang Kepala Desa sebetulnya tidak perlu waktu lama. Apalagi hingga 27 tahun.

M. Khusnul Khuluq mahasiswa Prodi Hukum Universitas Siber Muhammadiyah


(mmu/mmu)


ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT