"Mandi Lumpur" dan Dehumanisasi Sosial Masyarakat Digital

ADVERTISEMENT

Kolom

"Mandi Lumpur" dan Dehumanisasi Sosial Masyarakat Digital

Muhammad Iqbal Khatami - detikNews
Rabu, 01 Feb 2023 11:00 WIB
Layar Sari alias Inak Mawar (55)  asal Dusun Pedek Setanggor Timur 2, Desa Setanggor, Lombok Tengah, saat sedang live TikTok dengan adegan mandi lumpur, Kamis (19/1/2023) siang. (Foto: Ahmad Viqi/detikBali)
Seorang warga Dusun Pedek Setanggor Timur 2, Lombok Tengah saat sedang live TikTok dengan adegan mandi lumpur, Kamis (19/1) siang (Foto: Ahmad Viqi/detikBali)
Jakarta -

Baru-baru ini, Menteri Sosial Tri Rismaharini menyatakan akan segera menyurati pemerintah daerah untuk menindak fenomena "pengemis online" di media sosial TikTok. Bagi para pengguna TikTok, mungkin tidak asing dengan fenomena tersebut. Tidak jarang, konten live TikTok yang lewat di For Your Page (FYP) kita memperlihatkan orang-orang yang sedang mandi lumpur, tidur di lantai kamar mandi, menyiram diri dengan air, dan lain sebagainya.

Akhir-akhir ini juga banyak pengguna TikTok yang resah dan mengulas fenomena ini di berbagai media sosial. Misalnya yang viral adalah adanya live yang memperlihatkan seorang nenek-nenek dan juga ibu-ibu sedang mandi lumpur dan mengguyur badannya dengan air, sembari mengucapkan terima kasih ketika ada penonton yang memberikan gift yang dapat dikonversi menjadi uang. Banyak pihak menduga penggunaan perempuan berusia lanjut ini agar dapat menarik iba penonton. Bahkan ada pula live yang mengeksploitasi anak kecil untuk mengemis gift. Tidak heran banyak juga pihak yang menduga hal ini dimobilisasi oleh sindikat tertentu.

Di awal, saya pribadi juga heran dengan fenomena tersebut, dan mempertanyakan mengapa orang-orang yang melakukan hal tersebut sangat banyak. Ternyata, TikTok dapat menjadi ladang pencaharian melalui fitur kirim mengirim gift yang diberikan oleh penonton. Misalnya saja, gift termurah adalah emoticon kiss yang bernilai 150 koin, dan yang terbesar adalah TikTok Universe senilai 34999 koin, di mana harga tukar satu koin adalah Rp 250.

Menjadi pertanyaan tersendiri pula mengapa sangat banyak orang-orang di TikTok yang mau memberikan gift ke konten-konten yang hanya menjual rasa iba dan manajemen kesan untuk mendapatkan simpati. Hal yang perlu menjadi perhatian, apakah kemudian gift tersebut diberikan kepada orang yang tepat?

Menciptakan Peluang

Tingginya rasa kedermawanan orang-orang dan juga adanya tuntutan ekonomi seseorang bisa jadi menjadi salah satu alasan mengapa platform digital dapat menciptakan peluang untuk melakukan "ngemis online". Tentu saja menjadi ironi ketika transformasi digital yang digadang akan menjadi solusi atas beragam masalah sosial justru menjadi paradoks dalam perkembangan masyarakat digital.

Selaras dengan apa yang diutarakan Christian Fuchs (2019) bahwa kehadiran teknologi digital selain menawarkan bentuk komunitas baru, juga mendorong perkembangan budaya partisipasi masyarakat di ruang digital yang lebih aktif dan adaptif. Selaras juga dengan yang diistilahkan oleh Marshall McLuhan sebagai desa global, di mana hambatan ruang dan waktu menjadi ringkas dan menghubungkan jaringan sebagai modalitas. Meskipun pada kenyataannya, masyarakat dihadapkan dengan banyak dilema.

Memang bukan hal yang mudah keluar dari dilema tersebut. Tantangan utamanya, bagaimana merumuskan format yang tepat sebagai jawaban atas kompleksnya berbagai persoalan yang terjadi di tengah perkembangan masyarakat digital. Pada landasannya, aspek etika dan humanitas seharusnya dapat digunakan. Tentu tantangannya adalah mengadaptasikannya pada derasnya arus informasi dan transformasi yang terjadi dari waktu ke waktu.

Dehumanisasi Sosial

Di samping berbagai kemudahan yang dihadirkan oleh perkembangan teknologi informasi, aspek etika dan humanisme tampaknya masih terpaut jauh dari ekspektasi. Fenomena pengemis online menjadi gambaran dehumanisasi sosial sebagai implikasi dari adanya paradoks digital.

Fenomena ini juga memperlihatkan bahwa integrasi internet ke dalam kehidupan masyarakat juga menuntut masyarakat membentuk identitas baru di dunia digital. Inilah yang menyebabkan adanya peralihan sistem sosial budaya ke dalam dunia digital, yang di dalamnya ternyata memuat permasalahan di dunia riil, salah satunya pengemis.

Situasi paradoksal akibat pesatnya perkembangan masyarakat digital akhirnya mendorong perubahan yang radikal dalam berbagai bidang kehidupan, salah satunya adalah ekonomi. Fitur live TikTok sebenarnya juga banyak digunakan secara positif, misalnya saja melakukan pertunjukan kesenian dengan timbal balik pemberian gift oleh penonton yang berkenan, atau menjajakan dagangan melalui live dan ditambahkan dengan menyematkan tautan TikTok Shop atau yang dikenal dengan 'keranjang kuning'. Hal ini seyogianya dapat dipandang menjadi suatu hal yang positif di mana TikTok memfasilitasi ekspresi positif pengguna.

Namun, sebagaimana sebuah paradoksal, peluang ini dibaca berbeda oleh sebagian orang. Fenomena pengemis online hanya satu dari sekian banyak paradoks pada perkembangan masyarakat digital, sehingga memastikan arah transformasi ini berjalan sesuai koridor bukanlah sesuatu yang mudah. Maka bukan hal yang omong kosong ketika Anthony Giddens (2005) mengatakan transformasi digital sebagai mesin raksasa yang akan merusak berbagai sendi kehidupan manusia.

Fenomena pengemis online menjadi hal yang menjatuhkan nilai-nilai kemanusiaan. Dampak yang demikian memang seharusnya menjadi perhatian bersama antarpihak, salah duanya adalah pemerintah dan perusahaan platform. Bagi pemerintah, penting untuk bisa memahami fenomena tersebut agar dapat mengambil tindakan yang sesuai kepada akun-akun yang melanggar hukum, misalnya melakukan live dengan mengeksploitasi orang tua.

Lalu, bagi platform penyedia layanan dalam hal ini TikTok juga wajib memperketat swaregulasinya terutama untuk mencegah bentuk-bentuk tindakan melanggar hukum dalam penggunaan fiturnya. Teknologi seyogianya dapat dipergunakan untuk kemaslahatan manusia. Tetap semuanya akan tergantung pada bagaimana manusia mengontrol perkembangan teknologi itu sendiri.

Muhammad Iqbal Khatami peneliti

(mmu/mmu)


ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT