Tahun Pemerasan Pejabat Eselon

ADVERTISEMENT

Kolom

Tahun Pemerasan Pejabat Eselon

Fotarisman Zaluchu - detikNews
Selasa, 31 Jan 2023 15:10 WIB
infografis kepala daerah ditangkap KPK
Ilustrasi: Mindra Purnomo/detikcom
Jakarta -

Tahun 2023 ini merupakan tahun yang penuh tantangan bagi para pejabat daerah. Mereka rawan ditekan menuruti niat korup kepala daerah dengan menyelewengkan anggaran.

"Terdakwa sebagai abdi negara (bukan abdi atasan), seharusnya berani mengambil risiko atau tanggung jawab untuk menolak perintah atau keinginan atasan dengan alasan perintah dimaksud tidak sah dan bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan ketentuan. Terdakwa tidak dapat menggunakan alasan adanya tekanan atau ancaman dari pimpinan/atasan untuk melakukan tindak tindak pidana."

Potongan kalimat di atas adalah bunyi putusan MA terhadap kasus korupsi yang menjerat seorang mantan Sekretaris Daerah (Sekda) di salah sebuah kabupaten di Provinsi Sumatera Utara. MA menolak bandingnya, dan memutuskan pejabat daerah tersebut tetap dihukum penjara.

Bunyi putusan MA tersebut mengingatkan bahwa seharusnya setiap pejabat daerah harus mampu melakukan tindakan setidak-tidaknya mengingatkan pimpinan (kepala daerah) bahwa kebijakan tertentu merupakan kesalahan dan dapat dikategorikan korupsi. Pejabat daerah, meski dipilih oleh kepala daerah, seharusnya tidak membeo begitu saja kehendak kepala daerahnya.

Para pejabat diingatkan bahwa mereka melayani negara, bukan pimpinan mereka. Tekanan dari atasan ternyata tidak membebaskan para pejabat negara dari tanggung-jawab hukum.

Fakta

Menurut KPK, pada 2021 terdapat 10 orang pejabat eselon yang menjadi pelaku Tindak Pidana Korupsi (TPK), meningkat menjadi 31 orang pada 2022. Sumber data juga menunjukkan bahwa dalam rentang 2004 sampai dengan Oktober 2022, terdapat 537 kasus korupsi yang terjadi di instansi pemerintah daerah (kabupaten/kota).

Pembelaan diri di ruang pengadilan dari mantan Sekda tersebut membuka ruang informasi kepada kita bahwa banyak kasus korupsi yang dilakukan oleh pejabat eselon berkaitan erat dengan tekanan yang diterima dari atas. Data kasus korupsi pejabat eselon paralel dengan data kasus korupsi yang sebagian dapat dikaitkan dengan kepala daerahnya, meski tidak semua.

Pada 2021, sebanyak 6 kepala daerah (gubernur, bupati, wali kota dan wakilnya) tercatat menjadi pelaku TPK, kemudian meningkat menjadi 18 orang pada 2022. Kasus TPK sendiri pada 2021 itu terjadi di 16 kabupaten/kota dan 6 pemerintah provinsi.

Fakta-fakta di atas memberikan indikasi penting kepada kita betapa pejabat eselon di daerah rawan melakukan korupsi, dan kerawanan itu disebabkan oleh jabatan yang mereka emban. Pejabat eselon memang diangkat oleh kepala daerah. Pengangkatan itu, meski dibatasi oleh berbagai macam perangkat aturan, tidak serta-merta membebaskan proses pemilihan dan pelaksanaan tugas seorang pejabat eselon berlangsung secara profesional.

Di lapangan, seorang pejabat bisa tiba-tiba dilantik, dicopot, atau dipertahankan. Kewenangan yang begitu besar dari kepala daerah menyebabkan pemilihan pejabat eselon yang menjadi pembantunya tidak memiliki akuntabilitas untuk dinilai oleh publik.

Dalam analisis ICW, pemilihan pejabat eselon ini justru rawan korupsi. Mengapa? Karena tidak sedikit kepala daerah yang ingin mendapatkan uang dari hasil korupsi APBD. Mereka memerintahkan pejabat eselon untuk melakukan pemotongan anggaran untuk kemudian disetorkan kepada kepala daerah. Selain itu, kepala daerah juga tidak sedikit yang memperjualbelikan jabatan eselon tersebut untuk mendapatkan keuntungan pribadi.

Untuk memenuhi hasrat itu, banyak kepala daerah yang memberikan ancaman. Dalam kasus mantan Sekda tadi, membaca salinan putusan MA, terlihat bahwa yang bersangkutan merasa ketakutan bukan saja risiko akan kehilangan jabatan, tetapi akan ditempatkan di wilayah terpencil. Jelas ini menjadi tekanan psikologis kepada yang bersangkutan, dan tentunya pada para pejabat lain di daerah.

Mereka diancam akan kehilangan posisi —yang sayangnya posisi tersebut sudah banyak yang antre untuk mendapatkannya. Selain itu mereka pun mungkin akan menjadi "korban politik", bekerja di tempat yang mungkin akan mempengaruhi pendapatan, pamor keluarga dan harga diri. Alhasil, tuntutan dari kepala daerah pun banyak yang diamini begitu saja. Ancaman pencopotan jabatan tersebut jauh lebih menakutkan.

Apalagi ada persepsi pejabat eselon yang sekarang berkembang bahwa pelaku TPK yang terendus oleh aparat penegak hukum, hanya apes saja, ketahuan karena keteledoran atau nasib buruk. Persepsi ini menyebabkan para pejabat eselon merasa bahwa perilaku korupsi yang dilakukannya akan "baik-baik saja". Seperti sama-sama kita saksikan, korupsi pejabat eselon ini terus menerus terjadi tanpa ada efek jera. Bahkan semakin jauh, semakin lebih samar, karena metode-metode melakukan korupsinya sudah diantisipasi.

Tidak jarang juga para pejabat eselon ini memang ingin pula memanfaatkan posisinya untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Selain setoran kepada kepala daerah, mereka juga memanfaatkan posisi mereka untuk mendapatkan uang dengan cara yang haram. Sikap dan perilaku yang terkesan mewah dan wah itulah yang kemudian memicu para kandidat yang lain siap antre. Mereka juga ingin merasakan kenikmatan menjadi pejabat eselon.

Kondisi ini memudahkan kepala daerah korup, melancarkan ancaman-ancaman agar niatnya dituruti. Toh, kalau seseorang pejabat eselon menolak bekerja sama, masih ada orang lain yang mungkin akan nurut. Begitu seterusnya, ancaman dan tekanan dijadikan peluru tajam untuk menciptakan suasana kompetisi, tetapi penuh transaksi uang.

Coba tanya apa transaksi ini ada? Jelas tidak akan ada yang mau mengakuinya. Pengakuan dari mantan Sekda di atas adalah sebuah bukti bahwa perilaku tekanan dan ancaman tersebut sesungguhnya murni ada. Namun pengakuan itu baru terungkap jika seseorang pejabat eselon tersandung masalah hukum. Selagi masih bebas melakukan korupsi, tekanan dan ancaman ini, seperti cerita mitos belaka, disampaikan melalui bisik-bisik. Para pejabat eselon itu mana mau bersuara, kecuali saat terjepit!

Tahun Politik

Dalam laporan penelitian BPKP yang diterbitkan pada 2016, salah satu faktor penyebab korupsi kepala daerah terletak pada mahalnya biaya kampanye termasuk mahar partai politik. Kajian Litbang Kemendagri menyebutkan angka yang dibutuhkan oleh kepala daerah ini bisa mencapai Rp 100 miliar, bahkan lebih. Biaya kampanye mahal ini tentu salah satu sumbernya adalah dengan memanfaatkan para pejabat daerah yang diangkatnya.

Tahun ini adalah tahun politik menjelang kompetisi Pilkada 2024. Penetapan calon kepala daerah membutuhkan uang. Pembiayaan kampanye beserta pengorganisasian tim kampanye juga butuh uang. Semua itu berpotensi berasal dari keuangan daerah yang dikelola oleh masing-masing pejabat eselon.

Ada baiknya KPK, kepolisian, dan kejaksaan benar-benar memantau proses penggunaan APBD pada 2023 ini. Akan selalu ada celah untuk menggarong uang rakyat melalui para pejabat eselon. Pemantauan awal dapat dilakukan dengan memetakan wilayah-wilayah yang kandidatnya adalah kepala daerah petahana. Di wilayah tersebut, para pejabat eselon mungkin berada dalam tekanan dan ancaman.

Untuk menganalisis potensi korupsi, ada baiknya KPK juga membuat desk bersama Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian PAN dan RB serta Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN). Wilayah-wilayah di mana sirkulasi pejabat eselon terjadi begitu sering dalam waktu dekat ini perlu dipelototi lebih serius.

Satu lagi, ada baiknya aparat penegak hukum mengaktifkan pengaduan masyarakat atas adanya tekanan dan ancaman yang mungkin diterima oleh pejabat eselon di daerah. Laporan dari mereka adalah bekal penting untuk memproses hukum kepala daerah korup, tetapi ingin berkompetisi dengan cara merampok uang rakyat dalam APBD.

Fotarisman Zaluchu PhD dari AISSR, University of Amsterdam; pendiri Perkamen

Simak juga 'Ma'ruf Beberkan Upaya Pemerintah Meminimalisir Ruang Korupsi':

[Gambas:Video 20detik]



(mmu/mmu)


ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT