Serbuan Itu, Dilakukan Artificial Intelligence

ADVERTISEMENT

Serbuan Itu, Dilakukan Artificial Intelligence

Firman Kurniawan S - detikNews
Senin, 30 Jan 2023 09:57 WIB
Security CCTV camera, surveillance technology and show application Artificial Intelligence AI tools icon on screen display.
Foto: Artificial Intelegence (Getty Images/iStockphoto/Sitthiphong)
Jakarta -

Langit tiba-tiba gelap. Pandangan yang biasa menembus terik matahari dan menjangkau gulungan awan, terhalang. Ini juga diikuti suara gemuruh, yang memekakkan telinga. Mengundang rasa cemas siapa pun yang ada di bawah langit gelap itu. Seluruhnya bukan lantaran topan badai dan gemuruh guntur yang bersahut-sahutan.

Tertutupnya awan dengan suara gemuruh, lantaran adanya ribuan pesawat tempur membentuk formasi terbang rendah. Komposisinya, 1 pesawat tempur induk diikuti ratusan pesawat-pesawat kecil, bak kawanan capung.

Hari itu, memang 2 hari menjelang perayaan peringatan hari kemerdekaan. Namun kehebohan yang berlangsung, bukan disebabkan pesawat berlatih untuk parade militer di puncak acara. Jika itu yang terjadi, mana mungkin alat-alat perang itu tiba-tiba menyerbu, menembaki dan menghancurkan obyek-obyek vital di kota. Juga mengoyak ketenangan dan membunuh tanpa ampun, penduduk setempat. Yang terjadi, serangan mendadak yang dilakukan mahluk luar angkasa.

Menginvasi bumi dan memusnahkan seluruh kehidupan di dalamnya. Dimulai dari kota terbesar dunia, yang sedang bersiap dengan perayaan kemerdekaannya.

Terlalu sempit waktunya, untuk membuat serangan balik. Perangkat-perangkat penangkis telah terlanjur luluh lantak. Sistem komando sulit difungsikan. Serbuannya benar-benar cepat, namun taktis. Sebuah serbuan yang nampak terencana matang. Bumi segera dikuasai alien, mahluk luar angkasa, dalam waktu singkat. Pemusnahan penduduknya tanpa ampun. Seakan hendak mengembalikan planet ini, pada keadaan belum berpenghuni. Para alien hendak mengambil alih, mungkin sebagai cadangan sumberdaya koloninya

Untungnya, cerita di atas hanya peristiwa fiksi. Itu adalah cuplikan Film 'Independence Day', sebuah produk hiburan karya Sutradara Roland Emmerich. Beredar puluhan tahun lampau. Tepatnya pada tahun 1996. Film laris ini dibintangi Willl Smith, Jeff Goldblum dan Bill Pullman. Masing-masing memerankan pahlawan pemusnah musuh, ilmuwan pemecah kode rahasia dan presiden negara terkuat di dunia.

Lantaran film, seluruh kekacauan dapat dikendalikan pada akhirrnya. Juga tak butuh waktu yang terlampau panjang, jika dibanding kekacauan yang ditimbulkan. Latar belakang kejadian adalah Amerika Serikat, pada 2 hari menjelang peringatan kemerdekaannya. Serbuan dimulai pada 2 Juli, dan penyerang ditumpas pada 4 Juli.

Tepat pada peringatan kemerdekaan negara itu. Sebagaimana kekhasan film-film Holywood, negara adi kuasa ini pada khirnya mampu melumpuhkan penyerang, dengan apapun caranya. Glorifikasi dilakukan dengan merayakan kemerdekaan, masih dengan semangat heroik. Walaupun digambarkan, banyak bangunan luluh lantak dan penduduknya terhempas jadi korban.

Lantaran penyerangnya mahluk luar angkasa dan dilakukan serba cepat, mahluk bumi tak punya kesempatan membela diri. Apa jadinya jika yang menyerbu berupa substansi yang telah lama berdampingan hidup dalam peradaban? Apakah manusia masih mampu membela diri? Terlebih jika yang terjadi bukan fiksi. Melainkan kenyataaan hidup sehari-hari. Dan penyerbu itu, bernama artificial intelligence (AI).

AI telah lama jadi substansi yang mendampingi manusia. Kehadirannya diterima dengan damai. Kahadiran AI di tengah peradaban manusia, nampaknya mengikuti 3 karakter kehadiran teknologi, sebagaimana Malcom Frank, Paul Roehrig dan Ben Pring, 2017, dalam bukunya 'What to Do When Machines Do Everything'.

Ketiganya menyebutkan, pertama, kehadiran teknologi dianggap sebagai harapan baru. Membangkitkan utopia kesempurnaan hidup. Hidup yang lebih cepat, lebih mudah bahkan lebih menguntungkan. Karenanya, kedua, teknologi ditoleransi kehadirannya. Diterima dengan tangan terbuka. Narasi yang menyertai adalah manfaatnya bagi kehidupan.

Bersikap kritis terhadap ancaman, dianggap sebagai sikap pesimis yang tak mempercayai teknologi. Keadaan ini terus berlangsung, sampai kemudian, ketiga, tanpa disadari teknologi telah mengubah hidup manusia. Bahkan tanpa diinginkan, alih-alih disadarinya.

Posisi AI di tengah kehidupan manusia penggunanya, sesuai posisi teknologi lain. Ia mengalami pergeseran, sesuai terminologi yang disampaikan Neil Postman, 1992 dalam 'Technopoly: The Surrender of Culture to Technology'. AI pada awalnya berfungsi sebagai perkakas yang memudahkan kerja manusia. Termasuk dalam kategori ini sebut saja chatbot.

Sebuah aplikasi AI yang mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan dasar yang kerap diajukan orang, pada bidang bahasan tertentu. AI difungsikan pada FAQ, Frequently Ask and Question, sebagai perangkat pemberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang rutin, alih-alih dilakukan manusia.

Fungsi sekedar sebagai perangkat ini kemudian bergeser. AI mampu memperluas mikropersepsi manusia pada kehidupan yang dijalaninya. Juga makropersepsi di luar dirinya. Contoh penggunaannya di bidang kesehatan. Di sini AI berperan dalam pencitraan medis. Spektrumnya mulai CT-scan hingga penarikan kesimpulan hasil endoskopi.

CT-scan dan endoskopi merupakan aktivitas medis yang meliputi pengumpulan data, berupa citra tubuh internal manusia. Ini diikuti inteptreasi hasilnya. AI menerjemahkan data, jadi informasi status kesehatan seseorang. Peluang melesetnya intepretasi oleh AI ini, meminimalkan kemelesetan jika interpretasi dilakukan manusia.

Perkembangan hari ini, terdapat perusahaan yang memproduksi pakaian bersensor. Memfasilitasi AI, sehingga mampu menerjemahkan kondisi kesehatan berdasar sinyal yang dikirim seluruh permukaan tubuh. Kondisi kesehatan selalu termonitor. Namun sayangnya, harus dibayar dengan kondisi mental: selalu ada saja keadaan yang harus diperbaiki. Mental mengidap penyakit yang tak berkesudahan.

Pergeseran berikutnya, AI jadi teknopoli. Pada tahap ini, AI tak dapat dihindari. Seluruhnya jadi cara berpikir dan bertindak manusia. Peradaban manusia dicegah dari absennya penggunaan AI. Para pengguna yang sejak semula telah mentoleransi kehadiran AI, tak berkeberatan manakala muncul tuntutan untuk menyesuaikan diri dengan cara kerja substansi ini. Bahkan terjadi konfigurasi ulang, sistem kerja yang disesuaikan dengan AI.

Fenomena telah masuknya manusia di tahap ketiga kehadiran AI, terindikasi oleh maraknya pembahasan tentang substansi ini. Pembahasan yang tak berkesudahan, mengiringi diluncurkannya ChatGPT, Chat Generative Pre-trained Transformer. Sebuah aplikasi berbasis chatting, yang mampu mengubah instruksi pengguna jadi esai, cerita, pidato, lagu, penjelasan operasi matematika. Seluruhnya dihasilkan berdasar pembelajaran mesin yang diumpan big data. Kuantitasnya yang terus bertambah menaikkan kualitas produk yang dihasilkannya.

Dengan kemampuan yang terus dikembangkan, ChatGPT tak mustahil jadi ancaman hilangnya pekerjaan seniman, tutor, pembuat kode, penulis, bahkan jurnalis.

Perangkat ini diluncurkan perusahaan OpenAI, November 2022 silam. Selain ketakjuban, kehadirannya juga membangkitkan kecemasan. Cemas persis seperti berada di bawah langit hitam serbuan mahluk asing, di Film Independence Day. Kecemasan eksistensial, khawatir tersingkir. Bahkan prosesnya yang tanpa didahului kematian.

Fenomena-fenomena cemas itu, tertangkap CNN Business, 24 Januari 2023. Julia Horowitz, salah seorang jurnalis media besar Amerika ini, menurunkan tulisannya: "ChatGPT isn't Coming. It's Here". Ia menguraikan beberapa tanggapan peserta World Economic Forum (WEF), yang diselenggarakan di Davos, Swiss, pekan terakhir Bulan Januari 2023. WEF merupakan forum pertemuan para pemimpin bisnis, akademisi maupun politisi dunia.

Salah satu tanggapan, muncul dari Jeff Maggioncalda. Ia adalah CEO layanan belajar online, Coursera. Maggioncalda mengatakan, saat pertama kali mencoba ChatGPT yang terjadi adalah ketakjuban. Siapapun yang tak memanfaatkannya, akan ada pada situasi yang tak menguntungkan. Terjadinya dalam waktu singkat. Karenanya ia merencanakan, perangkat ini digunakan untuk mengoptimalkan layanan belajarnya di Cousera. Tanggapan lain datang dari CEO Microsoft, Satya Nadella. Ia melihat teknologi ini bertindak sebagai kopilot. Fungsinya membantu orang melakukan lebih banyak hal, dengan upaya yang lebih sedikit.

Namun berbeda dari seluruh optimisme di atas. The Guardian 10 Januari 2023, lewat artikelnya "Australian Universities to Return to 'Pen and Paper' Exams After Students Caught Using AI to Write Essays", mengemukakan rencana sejumlah kampus di Australia, untuk merombak cara ujian yang selama ini dilakukan. Perombakan diikuti penggunaan kembali pena dan kertas, serta melarang penggunaan ChatGPT.

Seluruhnya dilakukan setelah otoritas kampus merasa "dicurangi", ketika ujian konvensionalnya dijawab dengan menggunakan perangkat ini.

Segera saja, langkah itu memperoleh kritik dari pakar AI. Pelarangan AI, layaknya sebagai perang yang tak bakal dimenangkan. AI sudah di tengah manusia dan banyak mendatangkan manfaat. Melarangnya merupakan tindakan yang tak realistis.

Namun bagaimana semua persilangan di atas menjawab soal eksistensi manusia? Manusia yang kian terdesak oleh kian sempurnanya AI? Ini yang mungkin jadi jawaban atas maraknya pengurangan pekerja di berbagai perusahaan. Bukan semata akibat resesi ekonomi yang mengancam dunia. Sebagian disebabkan keberadaan manusia di tengah dunia kerja, telah tak relevan lagi. Irelevansi manusia yang bukan segera datang. Tapi sudah di tengah-tengah peradaban. Serbuannya tak terelakkan.

Firman Kurniawan S. Pendiri LITEROS.org. Pemerhati Budaya dan Komunikasi Digital.

(rdp/rdp)


ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT