Jika nama Sumbawa disebutkan maka kesan di kepala akan merujuk kepada madu hutan, padang sabana, kerbau, kuda dan bahkan susu kuda liar. Begitulah persepsi publik pada umumnya.
Diksi dalam tutur adat Tau Samawa (orang Sumbawa) mengkiaskan pulau itu dengan sebutan Tana Intan Bulaeng. Negeri limpahan emas permata yang menyajikan segalanya. Itu memang ada benarnya. Gundukan bukitbukit memanjang bertaut garis pantai yang beningnya bak kristal memikat.
Tambora nan perkasa beradu pandang dengan Teluk Saleh. Bagai pasangan kekasih yang penuh cinta. Menyimpan rahasia tentang tembaga dan butiran emas di perut bumi. Menemani Moyo nan seperti sosok Lala Jinis putri jelita dalam legenda.
Ketiganya tak bosan menatap anak-anak alam yang riang dalam pacuan. Joki-joki kecil penghela kuda tak berpelana di lintasan main jaran. Menghadirkan nuansa indah eksotis beriring syair para pecinta. Meninabobokan.
Waktu terus berjalan. Anak-anak alam itu kini dewasa dan memiliki lantunan kisah berbeda. Lengan-lengan mereka kelam berpeluh. Mengayun pacul, parang dan tembilang. Kadang ditemani derau mesin gergaji. Menyayat dan mengiris hutan demi bulir jagung atas nama hajat kehidupan. Sebagian lagi larut dalam gemericik tambak udang, dalam senda gurau dan canda kerbau, kuda dan sapi di padang gembala. Di antara geliat renda-renda pariwisata.
Di sisi lain cerita, belantara yang terkikis kelelahan menggoda awan hujan. Kalau pun hujan lalu tergoda, derasnya menyertakan banjir bandang. Menjadi bencana setiap tahun. Lalu ketika kemarau menyapa, panasnya mengubah wajah bumi. Lembut selimut hijau dalam sekejap menjadi selendang tipis gersang kuning kecoklatan.
Bukan tidak mungkin waduk-waduk akan merana jika berketerusan. Petak sawah mengering seperti alun nyanyian rindu akan gempita hidup berkeselamatan dalam sejahtera. Nun puncak gempita adalah sunyi.
Lalu muncul gemuruh. Budaya egaliter memantik silang kata di ruang diskursif. Kaum cendekia, elit politik lokal, tokoh masyarakat hingga diaspora beradu perspektif. Bercampur aduk dalam impresi yang gelisah; mengapa sampai begini? Bumi yang dicinta itu rindu belaian penyelesaian untaian masalah. Dalam nada putus asa seolah bertanya kemana perginya Bonong yang jenaka dan banyak akal?
Rindu Bonong dalam Dua Bait Kelu
Bonong adalah sosok anak alam Sumbawa yang jenaka, nakal namun kaya gagasan. Kehadirannya dibutuhkan agar kusam tautan hasrat mengejar hajat hidup sejahtera dalam imbangan keselamatan alam dapat dibasuh menjadi riang. Mengemas pesan untuk disampaikan kepada bijak penguasa. Bahwa ketika peladang membabat hutan, itu bukan karena mereka ingkar pada ancaman banjir bandang. Sebab sejatinya gelisah dalam ketiadaan pilihan. Maka bulir-bulir jagung menjadi tumpuan harapan.
Bonong pasti mampu meyakinkan pemerintah daerah. Bahwa elok mengambil alih dan menyewa lahan jagung rakyat dalam nilai yang bijaksana. Semacam program ganti untung. Lalu pekerjakan mereka dalam skema penghijauan kembali. Menanam pohon-pohon keras endemik. Entah itu asam, jati, sapan, bidara, kopi, lontar dan bahkan gaharu. Dinas terkait tentu memiliki kepakaran untuk menentukan jenis pohon produksi yang tepat. Kelak hasilnya dapat dibagi bersama.
Pada saat yang sama bekali pula pengetahuan untuk tindakan ekonomi produktif siklus pendek. Bertanam sayuran, porang, memproduksi keju dan produk lain dari bahan susu sapi dan kerbau mereka. Bahkan bila perlu beternak lebah madu. Sajikan pelatihan untuk membangun digester biogas dari kotoran sapi yang dapat dikumpulkan dari padang gembala. Dengan begitu warga di desa tidak harus membeli gas untuk keperluan sehari-hari. Kayu yang biasa mereka bakar untuk memasak dapat dikonversi menjadi arang.
Jika memungkinkan, sediakan anggaran memadai untuk investasi sistem energi surya dan small wind power secara hybrid. Itu dapat digunakan untuk menopang kerja pompa air pada sistem irigasi drip dan keperluan minum ternak di padang gembala.
Pada intinya, melakukan segala hal yang mungkin. Apa pun ragam kegiatan ekonomi yang dapat dicontohkan demi mengungkit kreativitas dan daya beli mereka. Libatkan universitas setempat sebagai mitra. Itu penting karena rakyat tak cukup diyakinkan dengan retorika dan manisnya tata kata. Pemimpin berketeladanan lebih disegani.
Bangun ekosistem inovasinya maka banyak pihak termasuk swasta yang akan bersedia mendukung untuk jalan bersama.
Jika itu dapat diterapkan maka akan menjadi model solusi yang dapat diduplikasi di daerah lain yang memiliki masalah yang sama. Para petani mendapat literasi yang sangat berguna dan mengubah cara pandang. Bahwa jagung bukan semata pilihan.
Mereka masih dapat menanamnya meski tanpa membabat hutan. Itu akan menjadi sumbangan gagasan bernas tentang kiat menjaga keseimbangan alam dalam kesinambungan pertumbuhan daya beli rakyat.
Rindu kepada Bonong tak berhenti disitu. Simpul gelisah Tanah Intan Bulaeng tak cuma satu. Anak-anak Sumbawa kian terlepas dari identitas kesejatian mereka. Lidah mereka kelu tak lagi sangup berujar Bahasa Sumbawa. Nyaman dalam salah kaprah komunikasi berbahasa campur aduk. Mengikis kebanggaan berujar dalam bahasa sendiri. Mereka tak lagi faham lawas, sakeco, ngumang dan ragam lain bulir bernilai dari akar budaya mereka sendiri. Bukan karena tiada pihak yang berhidmad setia untuk penyelamatan. Nun daya mereka belum sebanding dengan kerusakan yang telah terlanjur menjadi kebiasaan.
Oh Sumbawa, duhai Sumbawa. Pedih memang. Namun hidup harus optimis dan tidak boleh berdiam. Pasti ada jalan keluar yang menguatkan. Semoga kecerdasan, tingkah usil dalam pengertian berkemajuan dan out of the box serta penuh canda a la Bonong dapat muncul dalam sosok pemimpin belia dan bijaksana di Sumbawa kelak. Itu sangat dibutuhkan untuk mengubah keadaan dalam keserempakan yang tak biasa.
Hikmah yang dapat dipetik dari beberapa daerah lain, bahwa hanya pemimpin belia yang tulus cerdas, kreatif dan bijak yang mampu menghela lompatan gemilang.
Membangun sinergi atas nama cinta dengan semua pihak. Tentu utamanya keselarasan antar sesama Tau Samawa itu sendiri. Menyumbang saran dan peran dari belahan bumi mana pun mereka berada. Wallahualam. Dirgahayu Kabupaten Sumbawa!
Iwan Yahya. Dosen dan Peneliti The Iwany Acoustics Research Group (iARG). Program Studi Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sebelas Maret Surakarta.
(rdp/rdp)