Di tahun 2023 ini, akan ditentukan bagaimana sistem pemilu DPR dan DPRD (disebut anggota legislatif) di Indonesia ke depannya. Penentuan tersebut berada di tangan Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai sang pengawal "konstitusi pasca amandemen". Pilihannya adalah apakah akan menggunakan sistem pemilu di era pra Reformasi atau terus melanjutkan sistem di zaman pasca Reformasi. Hal ini dikarenakan berlanjutnya sidang pokok perkara nomor 114/PUU-XX/2022 tentang uji konstitusionalitas terhadap sistem pemilu proporsional terbuka dalam pemilu DPR dan DPRD pada Pasal 168 ayat (2), Pasal 342 ayat (2), Pasal 353 ayat (1) huruf b, Pasal 386 ayat (2) huruf b, Pasal 420 huruf c dan d, Pasal 422, Pasal 424 ayat (2), Pasal 426 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 (UU Pemilu).
Sejarahnya amandemen UUD 1945 telah mengubah sistem pemilu di Indonesia, yaitu dengan diterapkannya pemilihan langsung untuk memilih presiden dan pemilu langsung dengan proporsional terbuka untuk memilih DPR dan DPRD. Khususnya tentang proporsional terbuka, diawali dengan lahirnya UU No 12 Tahun 2003 Tentang Pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD. Hal ini yang juga merupakan implikasi dari Reformasi dan amandemen UUD tahun 1945, di mana pada tahun 2004 menjadi awal diselenggarakannya pemilu dengan sistem proporsional terbuka.
Dalam perjalanannya, dapat dikatakan sistem tersebut menjadi suatu kemajuan demokrasi di Indonesia; rakyat yang sebelumnya bersifat pasif kemudian diberikan hak untuk memilih secara langsung guna menentukan perwakilannya dalam penyelenggaraan negara. Walaupun pemilu di tahun itu masih dapat dikatakan terbuka setengah hati, karena dalam penetapan calon terpilih, belum sepenuhnya berdasarkan daulat rakyat yang memilih, melainkan masih mengacu kepada ketercapaian angka Bilangan Pembagi Pemilihan (BPP) dan apabila angka BPP tersebut tidak tercapai maka penetapan calon terpilih dilakukan berdasarkan nomor urut.
Kemudian pada tahun 2008, lahir pula UU Nomor 10 tahun 2008 tentang Pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD yang mencabut UU sebelumnya. Namun pada prinsipnya tidak terdapat perbedaan yang signifikan terhadap penentuan keterpilihan anggota legislatif, karena BPP masih tetap dijadikan sebagai alat ukur keterpilihan anggota legislatif, di mana untuk dinyatakan terpilih calon harus mencapai suara 30% dari BPP dan apabila tidak ada yang memperoleh 30% dari BPP atau jika yang memperoleh 30% dari BPP lebih banyak dari jumlah kursi proporsional, maka penentuan calon terpilih dilakukan berdasarkan nomor urut yang terkecil.
Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan keterpilihan calon anggota legislatif yang seharusnya hasil keputusan rakyat yang berdaulat, bergeser menjadi keputusan pengurus partai politik (parpol) untuk mengubah pilihan rakyat yang telah dimandatkan. Sedangkan tujuan dari sistem proporsional terbuka yang sesungguhnya adalah untuk mewujudkan pemerintahan rakyat (demos cratos) yang diwakilkan kepada lembaga perwakilan berdasarkan mandat.
Awal dari Proporsional Terbuka
Sistem pemilu proporsional terbuka seutuhnya baru dilaksanakan pasca putusan MK nomor 22-24/PUU-VI/2008, yang membatalkan Pasal 214 huruf a, b, c, d dan e UU 10/2008 yang dirasa telah memasung hak calon yang tidak sesuai dengan prinsip pemilu jujur dan adil yang berdasarkan kedaulatan rakyat. Sehingga nomor urut calon tidak lagi mempengaruhi keterpilihan, melainkan sepenuhnya berasal dari kedaulatan rakyat dalam pemungutan suara.
Sehingga pada Pemilu 2009, sistem proporsional terbuka secara utuh mulai diterapkan di Indonesia hingga saat ini, dan masyarakat umum pun masih menerimanya dengan baik. Sebab, dengan sistem itu memberikan peluang yang adil bagi masyarakat dan calon yang dipilih. Lantas, jika demikian kegentingan apa yang menjadi alasan perlunya pengembalian sistem pemilu dengan proporsional tertutup? Kegentingan rakyat atau kegentingan golongan/parpol?
Sebagaimana risalah sidang pendahuluan perkara nomor 114/PUU-XX/2022, dalil permohonan uji materi tersebut akibat dari menonjolnya kekuatan individu calon dibandingkan kekuatan parpol yang melemahkan sistem kelembagaan parpol, sedangkan yang menjadi peserta pemilu menurut UUD 1945 adalah parpol. Sehingga calon terpilih kerap bertindak sesuai keinginannya sendiri bukan mewakili parpol pengusung.
Sedangkan faktanya, hingga saat ini wewenang parpol terhadap anggota legislatif masih sangat besar, misalnya dalam wewenang penggantian antar waktu (PAW). Sehingga ketergantungan anggota legislatif kepada parpol masih sangat besar bila dibandingkan ketergantungannya kepada masyarakat, bahkan pelibatan masyarakat dalam penentuan kebijakan pun masih minim.
Hal genting saat ini bukanlah tentang kuat atau lemahnya kedudukan parpol, namun kegentingan pembaharuan terhadap sistem representasi rakyat yang berdaulat dalam parpol itu sendiri. Karena representasi keterwakilan rakyat melalui parpol juga tidak begitu jelas, kebanyakan masyarakat saat ini masih berharap penuh kepada calon/individu yang memang dirasa dapat dijadikan tokoh yang merepresentasikan keterwakilannya tanpa mempermasalahkan apa parpol pengusungnya.
Lebih baik bila parpol bersama anggota legislatif yang diusung menciptakan strategi positif untuk menarik simpati masyarakat. Tersedianya sarana dan mekanisme yang terukur dalam ruang aspirasi masyarakat lebih dibutuhkan saat ini untuk menciptakan nilai demokrasi yang berkedaulatan rakyat. Ke depannya parpol, anggota legislatif dan masyarakat dapat berjalan bersama demi kemajuan bangsa dan negara. Dalam prinsip demokrasi yang sesungguhnya, peran masyarakat bukanlah hanya diperlukan pada saat pemilu saja; para anggota legislatif tersebut wajib merepresentasikan mandat yang telah diberikan kepadanya sebagai "wakil rakyat, bukan wakil partai".
Persaingan tidak sehat yang berakibat politik uang juga dijadikan dalil dalam permohonan uji materi tersebut. Lantas, apakah dengan proporsional tertutup persaingan tidak sehat dan politik uang dimaksud dapat dihilangkan? Mungkin saja politik uang di masyarakat akan berkurang, namun tidak menutup kemungkinan politik uang tersebut malah berpindah ke internal parpol, sebagai konsekuensi logis atas kedaulatan penuh yang dimiliki pimpinan parpol yang memungkinkan terjadinya jual beli atau tawar menawar untuk perolehan posisi nomor urut terkecil.
Sejarahnya amandemen UUD 1945 telah mengubah sistem pemilu di Indonesia, yaitu dengan diterapkannya pemilihan langsung untuk memilih presiden dan pemilu langsung dengan proporsional terbuka untuk memilih DPR dan DPRD. Khususnya tentang proporsional terbuka, diawali dengan lahirnya UU No 12 Tahun 2003 Tentang Pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD. Hal ini yang juga merupakan implikasi dari Reformasi dan amandemen UUD tahun 1945, di mana pada tahun 2004 menjadi awal diselenggarakannya pemilu dengan sistem proporsional terbuka.
Dalam perjalanannya, dapat dikatakan sistem tersebut menjadi suatu kemajuan demokrasi di Indonesia; rakyat yang sebelumnya bersifat pasif kemudian diberikan hak untuk memilih secara langsung guna menentukan perwakilannya dalam penyelenggaraan negara. Walaupun pemilu di tahun itu masih dapat dikatakan terbuka setengah hati, karena dalam penetapan calon terpilih, belum sepenuhnya berdasarkan daulat rakyat yang memilih, melainkan masih mengacu kepada ketercapaian angka Bilangan Pembagi Pemilihan (BPP) dan apabila angka BPP tersebut tidak tercapai maka penetapan calon terpilih dilakukan berdasarkan nomor urut.
Kemudian pada tahun 2008, lahir pula UU Nomor 10 tahun 2008 tentang Pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD yang mencabut UU sebelumnya. Namun pada prinsipnya tidak terdapat perbedaan yang signifikan terhadap penentuan keterpilihan anggota legislatif, karena BPP masih tetap dijadikan sebagai alat ukur keterpilihan anggota legislatif, di mana untuk dinyatakan terpilih calon harus mencapai suara 30% dari BPP dan apabila tidak ada yang memperoleh 30% dari BPP atau jika yang memperoleh 30% dari BPP lebih banyak dari jumlah kursi proporsional, maka penentuan calon terpilih dilakukan berdasarkan nomor urut yang terkecil.
Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan keterpilihan calon anggota legislatif yang seharusnya hasil keputusan rakyat yang berdaulat, bergeser menjadi keputusan pengurus partai politik (parpol) untuk mengubah pilihan rakyat yang telah dimandatkan. Sedangkan tujuan dari sistem proporsional terbuka yang sesungguhnya adalah untuk mewujudkan pemerintahan rakyat (demos cratos) yang diwakilkan kepada lembaga perwakilan berdasarkan mandat.
Awal dari Proporsional Terbuka
Sistem pemilu proporsional terbuka seutuhnya baru dilaksanakan pasca putusan MK nomor 22-24/PUU-VI/2008, yang membatalkan Pasal 214 huruf a, b, c, d dan e UU 10/2008 yang dirasa telah memasung hak calon yang tidak sesuai dengan prinsip pemilu jujur dan adil yang berdasarkan kedaulatan rakyat. Sehingga nomor urut calon tidak lagi mempengaruhi keterpilihan, melainkan sepenuhnya berasal dari kedaulatan rakyat dalam pemungutan suara.
Sehingga pada Pemilu 2009, sistem proporsional terbuka secara utuh mulai diterapkan di Indonesia hingga saat ini, dan masyarakat umum pun masih menerimanya dengan baik. Sebab, dengan sistem itu memberikan peluang yang adil bagi masyarakat dan calon yang dipilih. Lantas, jika demikian kegentingan apa yang menjadi alasan perlunya pengembalian sistem pemilu dengan proporsional tertutup? Kegentingan rakyat atau kegentingan golongan/parpol?
Sebagaimana risalah sidang pendahuluan perkara nomor 114/PUU-XX/2022, dalil permohonan uji materi tersebut akibat dari menonjolnya kekuatan individu calon dibandingkan kekuatan parpol yang melemahkan sistem kelembagaan parpol, sedangkan yang menjadi peserta pemilu menurut UUD 1945 adalah parpol. Sehingga calon terpilih kerap bertindak sesuai keinginannya sendiri bukan mewakili parpol pengusung.
Sedangkan faktanya, hingga saat ini wewenang parpol terhadap anggota legislatif masih sangat besar, misalnya dalam wewenang penggantian antar waktu (PAW). Sehingga ketergantungan anggota legislatif kepada parpol masih sangat besar bila dibandingkan ketergantungannya kepada masyarakat, bahkan pelibatan masyarakat dalam penentuan kebijakan pun masih minim.
Hal genting saat ini bukanlah tentang kuat atau lemahnya kedudukan parpol, namun kegentingan pembaharuan terhadap sistem representasi rakyat yang berdaulat dalam parpol itu sendiri. Karena representasi keterwakilan rakyat melalui parpol juga tidak begitu jelas, kebanyakan masyarakat saat ini masih berharap penuh kepada calon/individu yang memang dirasa dapat dijadikan tokoh yang merepresentasikan keterwakilannya tanpa mempermasalahkan apa parpol pengusungnya.
Lebih baik bila parpol bersama anggota legislatif yang diusung menciptakan strategi positif untuk menarik simpati masyarakat. Tersedianya sarana dan mekanisme yang terukur dalam ruang aspirasi masyarakat lebih dibutuhkan saat ini untuk menciptakan nilai demokrasi yang berkedaulatan rakyat. Ke depannya parpol, anggota legislatif dan masyarakat dapat berjalan bersama demi kemajuan bangsa dan negara. Dalam prinsip demokrasi yang sesungguhnya, peran masyarakat bukanlah hanya diperlukan pada saat pemilu saja; para anggota legislatif tersebut wajib merepresentasikan mandat yang telah diberikan kepadanya sebagai "wakil rakyat, bukan wakil partai".
Persaingan tidak sehat yang berakibat politik uang juga dijadikan dalil dalam permohonan uji materi tersebut. Lantas, apakah dengan proporsional tertutup persaingan tidak sehat dan politik uang dimaksud dapat dihilangkan? Mungkin saja politik uang di masyarakat akan berkurang, namun tidak menutup kemungkinan politik uang tersebut malah berpindah ke internal parpol, sebagai konsekuensi logis atas kedaulatan penuh yang dimiliki pimpinan parpol yang memungkinkan terjadinya jual beli atau tawar menawar untuk perolehan posisi nomor urut terkecil.
Wewenang yang Dibarengi Sikap Negarawan
Pada akhirnya, penentuan ada di tangan MK, kenegarawanan yang arif dan bijaksana sangat diharapkan dalam membuat keputusan yang dibarengi dengan wewenang negative legislator-nya menafsirkan konstitusi, demi kebutuhan negara yang berkedaulatan rakyat.
Jika hanya tentang penafsiran semata, tidak tertutup kemungkinan terjadinya pergeseran terhadap tafsir MK sebelumnya dalam putusan Nomor 22-24/PUU-VI/2008 di tahun 2008 lalu, yang telah menyepakati bahwa sistem pemilu yang berkedaulatan rakyat adalah yang dilakukan secara terbuka. Karena dalam UUD 1945 juga tidak diatur secara eksplisit mengenai sistem pemilu apakah secara terbuka atau tertutup, sehingga akan lumrah terjadi pergeseran dikarenakan kedinamisan dalam hukum dan masyarakat dari masa ke masa.
Dalam perkara khusus terkait pemilu saja, pergeseran penafsiran MK sangat sering terjadi. Misalnya tentang verifikasi parpol calon peserta pemilu, di mana dalam putusan tahun 2012 dan tahun 2017 MK mengharuskan semua parpol mengikuti verifikasi untuk menjadi peserta pemilu, namun di tahun 2020 lalu MK memutuskan khusus parpol yang memenuhi Parliamentary Threshold (PT) tidak perlu dilakukan verifikasi faktual lagi, sedangkan parpol yang tidak memenuhi PT diperlakukan sama dengan parpol baru yang wajib diverifikasi administrasi dan faktual.
Pergeseran tafsir lainnya adalah saat MK membatalkan norma UU tentang pembentukan peradilan khusus penyelesaian sengketa hasil pemilukada melalui putusannya di tahun 2022 lalu, yang telah menggeser tafsirnya terdahulu dalam Putusan Nomor 97/PUU-XI/2013 tentang wewenang MK dalam penyelesaian peselisihan hasil pemilukada yang bersifat sementara sampai terbentuknya suatu peradilan khusus. Serta masih ada lagi pergeseran penafsiran dalam perkara terkait pemilu lainnya.
Oleh sebab itu, kenegarawanan MK dalam memutuskan perkara a quo sangat diharapkan dengan berpegang kepada Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang secara gamblang menyatakan bahwa kedaulatan negara berada di tangan rakyat, yang artinya negara adalah rakyat dan rakyat adalah negara. Maka sudah sepatutnya pula kedaulatan tersebut dimandatkan kepada orang yang dikehendakinya menjadi wakilnya dalam penyelenggaraan negara. Karena hingga saat inipun masyarakat masih menerima dengan baik pelaksanaan pemilu dengan proporsional terbuka.
Christo Sumurung Tua Sagala, SH, MH dosen dan peneliti di Fakultas Hukum Universitas Jember