Saya terbiasa mendengar seseorang tidak dipanggil dengan nama pemberian orangtuanya. Semasa sekolah Aliyah, di lingkungan saya fenomena seperti itu lumrah, biasa saja, dan wajar kendati beberapa orang tentu tidak sepakat. Seorang teman dengan perawakan agak gemuk mendapat panggilan "babi". Seorang yang lain tanpa alasan yang jelas mendapat jatah disebut "katak". Saya meyakini itu hanya bentuk panggilan akrab, barangkali juga pembentuk identitas. Di sepak bola Brasil ada nama Hulk yang lebih familiar, alih-alih Givanildo Vieira de Sousa sebagai nama aslinya.
Selain dua hal yang saya yakini di atas, pastinya juga terdapat unsur candaan. Unsur ini yang mungkin relevan di lingkungan tempat saya belajar itu. Setidaknya, fenomena tersebut tidak pernah memantik cekcok yang serius. Orang yang biasa dipanggil dengan nama-nama fauna juga mengamalkan itu kepada teman yang lain. Perihal candaan, ada ungakapan Michael J. Fox yang menarik, setidaknya bagi orang humoris. Menurutnya, orang yang paling menyeramkan di muka bumi adalah mereka yang tidak memiliki selera humor.
Intinya, kita mengerti betapa candaan mempunyai posisi penting di hidup manusia. Sejenak kita boleh mengabaikan orang-orang yang tidak bisa bercanda. Katakanlah orang yang memberikan porsi yang terlalu sedikit terhadap candaan. Di media sosial, ada dua akun dan fanpage yang mempunyai jamaah relatif besar. Pertama, akun sepak bola. Kedua, akun dengan konten lucu-lucuan. Setidaknya, ini yang saya temui dan amati secara parsial. Saya juga tidak hendak mengabaikan massa K-Pop yang berjibun itu. Toh, mereka senang menjadikan idola mereka sebagai bahan lucu-lucuan juga.
Apapun alasannya, hal-hal lucu tetap menjadi pilihan. Jika Anda termasuk orang yang pragmatis, mungkin menganggap bahwa humor hanya sebatas pelarian. Maksudnya, pelarian dari hal yang terlalu serius. Sekali-kali kita memang perlu rehat memikirkan segalanya dengan serius. Akibatnya, hal-hal lucu nan menghibur menjadi pintu alternatif. Kesimpulannya, humor, candaan—dalam bentuknya yang terbarukan kita akrab dengan istilah meme—hanya sebatas media untuk tertawa. Betul, kita membutuhkannya hanya sebagai penggelitik untuk melepas tawa. Sesederhana itu pada awalnya.
Sekarang, apakah hal semacam itu masih dalam tugas pokoknya, sebagai bahan tertawaan? Anda boleh berada di posisi afirmatif, sementara saya akan berdiri di seberangnya. Namun, tidak lalu menutup fakta bahwa hal tersebut masih berada di posisi sebagai pemantik ketawa. Saya hanya ingin membuka kemungkinan lain betapa hal-hal lucu bisa melampaui itu. Tidak sebatas bahan tertawaan.
Beberapa waktu lalu, oknum polisi di Sumba Barat menewaskan warga sipil. Kita sudah tidak asing dengan berita seperti ini dengan ragam variasinya. Diwartakan bahwa pelaku dan korban adalah orang yang karib. Musabab teman dekat, tentu tidak asing dengan candaan. Sayangnya, si pelaku bercanda dengan melibatkan pistol. Sejujurnya, saya tidak asing dengan candaan yang melibatkan barang berbahaya. Sewaktu kecil, saya kerap mendapat teguran karena bercanda menggunakan pisau. Saya baru mengerti candaan semacam itu tidak ada sisi yang membuat bahagia. Nyaris tidak ditemukan aspek komedinya.
Ditambah lagi berita dua remaja membunuh seorang anak di Makassar. Setelah diusut, motifnya karena pelaku ingin menjual organ dalam korban. Kita paham organ dalam tubuh manusia adalah barang langka, tentu saja mahal. Sepintas memang tidak ada kaitannya dengan candaan. Tetapi jangan lupa, humor di kalangan anak muda kerap melibatkan organ dalam tubuh manusia. Saya punya cerita, tatkala salah satu perusahaan eletronik meliris keluaran terbaru smartphone. Seorang teman berani bersumpah harga tersebut murah.
Saya tahu persis harganya menyentuh belasan juta. Teman saya berani sesumbar demikian karena menurutnya dia masih punya dua ginjal. Saya menahan tawa karena sudah terbiasa dengan candaan sejenis. Di Twitter, Anda akan menemukan ribuan candaan serupa setiap ada barang baru lagi mahal. Siapa sangka candaan semacam itu menelan korban jiwa. Saya yakin dua remaja yang menjadi pelaku pembunuhan itu sangat akrab dengan candaan ginjal. Seminim-minimnya, mereka tahu ginjal mahal karena bertebaran candaan seputar itu.
Terakhir, jika Anda penyuka komedi gelap tentu tidak asing dengan nama Coki Pardede. Seorang komika yang candaan-candaannya diklaim mendobrak tabu. Candaan-candaan yang tidak jarang membawa pesan sensitif. Naifnya, seketika kita dilarang membawa perasaan ke gelanggang. Kita kehilangan hal alamiah berupa tersinggung. Candaan seperti itu hampir tercerabut dari akarnya. Ia kehilangan daya magisnya sebagai pelarian dari dunia yang rumit. Ia tidak lagi menghibur sebagaimana saya katakan di awal. Atau, mungkin memang ada kelainan di selera humor kita.
Moh. Rofqil Bazikh bergabung di gerakan Salawaku Movement; bermukim di Sleman, Yogyakarta
(mmu/mmu)