Yang Tak Kalah Penting dalam Penyelesaian Pelanggaran HAM

ADVERTISEMENT

Kolom

Yang Tak Kalah Penting dalam Penyelesaian Pelanggaran HAM

Aloysius Eka Kurnia - detikNews
Kamis, 26 Jan 2023 14:26 WIB
Presiden Joko Widodo (kiri) menerima laporan terkait pelanggaran HAM masa lalu dari Ketua Dewan Pengarah Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu Mahfud MD (kanan) di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (11/1/2023). Pemerintah Indonesia mengakui terjadinya 12 pelanggaran HAM berat di masa lalu dan akan memulihkan hak-hak korban secara adil dan bijaksana tanpa menegasikan penyelesaian yudisial.
Presiden Jokowi menerima laporan pelanggaran HAM di masa lalu (Foto: Akbar Nugroho Gumay/Antara)
Jakarta -

"Dengan pikiran yang jernih dan hati yang tulus, saya sebagai kepala Negara Republik Indonesia mengakui bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat memang terjadi di berbagai peristiwa," ucap Presiden Jokowi. Pidato Presiden Jokowi pada Rabu (11/1) yang lalu boleh diakui sebagai langkah progresif yang dapat diambil oleh seorang Presiden sepanjang sejarah perjalanan Indonesia. Betapa tidak, selama lebih dari setengah abad berjalan dalam bayang-bayang pelanggaran HAM akhirnya Presiden RI secara perdana memberikan pernyataan yang mengakui terjadinya peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM berat di masa lalu.

Selain mengakui dan memberikan simpati terhadap keluarga korban atas terjadinya peristiwa pelanggaran HAM berat di masa lalu, Presiden dalam pidatonya juga menekankan tiga hal yang akan dilakukan pemerintah. Pemulihan hak korban tanpa menegasikan penyelesaian yudisial, upaya terarah agar pelanggaran serupa tidak terjadi lagi di masa depan, serta penugasan Menkopolhukam untuk mengawal kedua arahan tersebut menjadi poin utama dalam pidato yang turut dihadiri oleh Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM yang Berat.

Bukan Sekadar Konflik Korban dan Pelaku

Pelanggaran HAM berat terutama yang terjadi di masa lalu memiliki dimensi yang sangat luas dan berpengaruh terhadap perjalanan sebuah bangsa. Adalah sebuah kesalahan apabila kita menggambarkan pelanggaran HAM berat dengan cara terbatas dalam bingkai konflik penguasa dan masyarakat atau pelaku dan korban saja. Pembiaran tanpa adanya upaya penuntasan terhadap terjadinya pelanggaran HAM berat yang menempatkan Penguasa Negara sebagai pelaku bukan tidak mungkin akan kembali terulang terhadap kelompok masyarakat lain di negara yang sama.

Terkait dengan hal tersebut, Indonesia tidak dapat menutup mata bahwa rentetan peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu merupakan resultan dari tindak pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelumnya tanpa adanya upaya penyelesaian yang menyeluruh. Oleh karena itu sesungguhnya korban dari pelanggaran HAM berat juga meliputi seluruh anak bangsa, bahkan seluruh umat manusia yang dipaksa untuk menjalani hidup dalam ketidakpastian dan ketakutan bahwa sewaktu-waktu tindakan agresif penguasa dapat menimpa dirinya.

Mencermati dimensi yang luas dari pelanggaran HAM berat di masa lalu yang ikut memperluas perspektif tentang korban pada akhirnya akan membawa diskusi ini pada keberadaan konsep Keadilan Transisional yang pernah diteliti oleh Ruti G. Teitel seorang guru besar dari New York University. Menurutnya penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu yang menyeluruh dapat terjadi bukan hanya dengan memenuhi keadilan hukum bagi korban melalui penuntutan terhadap pelaku secara yudisial. Lebih jauh dari itu, keadilan reparatoris, keadilan administratif, keadilan konstitusional, hingga keadilan historis perlu untuk dipenuhi dalam bentuk upaya non-yudisial.

Keadilan Historis untuk Seluruh Bangsa

Keadilan historis merupakan salah satu komponen yang tidak kalah penting untuk diwujudkan dalam proses penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu. Pentingnya pemenuhan keadilan historis akan memperluas pemahaman kita bahwa pelanggaran HAM berat masa lalu pada kenyataannya juga ikut mendudukkan kita sebagai korban dalam peristiwa yang mungkin sudah terjadi puluhan tahun yang lalu.

Seperti kita ketahui bahwa masih banyak peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu yang kebenarannya hingga saat ini patut untuk dipertanyakan. Informasi terkait latar belakang pembantaian 1965 – 1966, peristiwa penembakan misterius (petrus), peristiwa Talangsari, atau peristiwa Tanjung Priok selalu dinarasikan sebagai bentuk tindakan pengamanan yang dilakukan aparat untuk menghalau serangan dari kelompok masyarakat yang berpotensi mengganggu stabilitas negara. Narasi itulah yang selama ini secara turun temurun diterima oleh masyarakat sebagai sebuah kebenaran dan alasan pembenar dari tindakan agresif yang dilakukan oleh penguasa.

Selain keluarga korban yang harus ikut menanggung luka serta sanksi pengucilan masyarakat akibat labelling pemberontak, ketiadaan upaya pelurusan sejarah sebagai upaya perwujudan Keadilan Historis hanya akan membuat upaya penuntasan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu menjadi semu. Mengambil contoh seperti penuntasan pelanggaran HAM berat masa lalu yang terjadi di Cile melalui upaya pelurusan sejarah, sebuah komisi berhasil mengungkap kekejaman rezim Pinochet ketika berkuasa dan membersihkan nama baik korban pembunuhan massal yang selama ini dianggap sebagai pemberontak negara.

Melalui pelurusan sejarah Negara tidak hanya sedang berupaya menulis ulang kejadian sesungguhnya yang terjadi di masa lalu atas nama kebenaran, namun juga hendak memberikan bekal pembelajaran bagi masa depan seluruh anak bangsa. Lebih dari itu, perwujudan keadilan historis diharapkan akan menjadi salah satu komponen yang semakin memperkokoh persatuan di antara anak bangsa.

Aloysius Eka Kurnia dosen Hukum Tata Negara dan Administrasi Negara Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta

Simak Video 'Soal Pelanggaran HAM Berat, Jokowi Minta Kementerian Tindaklanjuti':

[Gambas:Video 20detik]



(mmu/mmu)


ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT