Indonesia demam latto-latto! Pernyataan ini mungkin sedikit berlebihan, namun kenyataannya "virus" permainan latto-latto (versi nasional lato-lato) memang sedang melanda Indonesia. Latto-latto, permainan murah-meriah yang konon muncul pertama kali di Eropa atau Amerika Serikat pada era 1960-an dan sebelumnya pernah sangat populer di Indonesia pada dekade 1980-an itu, tiba-tiba hadir kembali di tengah-tengah kita dan langsung menggemparkan.
Nyaris tidak mengenal tempat dan waktu, anak-anak dan remaja di seluruh Tanah Air ramai memainkannya. Kaum muda dan orangtua, bahkan kakek-nenek pun tidak mau ketinggalan bermain latto-latto. Di tengah semua kehebohan itu, ada kabar tentang jatuhnya korban akibat kecelakaan ketika bermain latto-latto. Beragam komentar pro dan kontra bermunculan di mana-mana atas latto-latto yang reborn ini.
Bagi yang pro, permainan ini dianggap baik untuk perkembangan anak-anak, dan karena itu mereka sampai mengadakan perlombaan latto-latto. Di sisi lain, pihak-pihak yang kontra malah telah mengusulkan agar pemerintah segera melarang permainan ini, khususnya di lingkungan sekolah.
Suara latto-latto yang khas itu, yang bagi sebagian orang menyenangkan namun bagi sebagian lagi sangat menyebalkan, dalam beberapa bulan terakhir ini telah meramaikan ruang dan peristiwa pendengaran kita. Jika selama ini didominasi suara musik, mesin kendaraan, pengeras suara, suara hewan, bunyi berbagai fenomena alam, dan bunyian-bunyian lain, ruang dan peristiwa tersebut diisi juga oleh latto-latto.
Hanya waktu yang akan berbicara sampai kapan bunyi dan permainan latto-latto ini akan mewarnai kehidupan kita, walaupun kita tahu bahwa fenomena seperti ini biasanya hanyalah "keedanan" sementara. Yang tak kalah menarik adalah efek ekonomi dari booming-nya latto-latto ini. Di seluruh negeri, bahkan mungkin di seluruh dunia, banyak pedagang, baik yang berpengalaman maupun yang dadakan, grosiran maupun eceran, meraup cuan lumayan besar dari penjualan latto-latto.
Dengan harga rata-rata Rp10.000-15.000 sepasang, latto-latto bisa memberikan omzet ratusan ribu, konon hingga belasan juta rupiah, bagi para pedagang mainan ini di berbagai wilayah, perkotaan maupun pedesaan, di seluruh Indonesia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Permainan Sederhana
Latto-latto adalah sebutan untuk sebuah permainan sederhana menggunakan alat berupa dua bola kecil padat terbuat dari bahan plastik seukuran bola pingpong. Ada pula latto-latto besar yang bola-bolanya berukuran sebesar jeruk sunkist. Kedua bola tersebut masing-masing diikat dengan tali plastik, dan jika diayunkan ke atas dan ke bawah dengan ritme cepat, keduanya akan bergerak seperti bandul, bertabrakan, dan menimbulkan bunyi berdetak-detak cukup keras.
Permainan latto-latto akan terlihat dan terdengar menarik jika dimainkan dengan baik oleh pemain yang sudah mahir. Pemain yang kurang mahir mungkin akan lebih banyak mengeluh karena bunyi yang dihasilkannya kurang keras dan intens, atau tangannya sakit terkena benturan dari kedua bola plastik.
Selain rasa sakit itu, bahaya lain yang dapat ditimbulkan oleh latto-latto sesungguhnya cukup serius. Jika dimainkan dan pecah, bola latto-latto dapat melukai tangan, badan, dan wajah, terutama hidung dan mata pemainnya atau orang di sekitarnya. (Itu sebabnya permainan ini diwaspadai bahayanya secara resmi di Amerika Serikat, Eropa, dan sejumlah negara maju, khususnya pada masa ketika bola latto-latto masih terbuat dari kaca, bukan plastik seperti sekarang ini.)
Tak ayal lagi, tren latto-latto pun jadi bahan liputan dan pemberitaan luas oleh media massa arus utama seperti surat kabar, majalah, televisi, dan radio, yang membuatnya makin populer. Namun demikian, kepopuleran latto-latto juga merupakan kontribusi media sosial (medsos) seperti Instagram, TikTok, YouTube, Twitter, Facebook, dan lain-lain.
Jagad medsos Indonesia akhir-akhir ini diramaikan oleh berbagai konten, mulai dari yang menampilkan para "jagoan" latto-latto dari berbagai kelompok usia, tutorial memainkan latto-latto, perlombaan latto-latto, hingga peristiwa-peristiwa dalam masyarakat, seperti upacara pernikahan, yang diramaikan oleh para pemain latto-latto.
Dalam kunjungan kerjanya di sebuah wilayah di Jawa Barat baru-baru ini, Presiden Joko Widodo bahkan terekam kamera mencoba memainkannya bersama Gubernur Ridwan Kamil. Luar biasa!
Fenomena Sosial
Nama latto-latto sendiri berasal dari kata dasar latto' dalam bahasa Makassar yang merujuk pada bunyi yang ditimbulkan oleh dua benda yang berbenturan, bunyi benda yang berderak, pecah, atau patah, dan semacamnya. Latto-latto (dilafalkan lat-to'-lat-to' oleh penutur asli bahasa suku Makassar) bermakna bunyi latto' yang terjadi berulang-ulang. Di berbagai daerah lain di Indonesia, permainan ini dinamai nok-nok, toki-toki, katto-katto, letto-letto, etek-etek, dan sebagainya.
Di negara-negara lain, permainan ini dikenal dengan nama ker-bangers, click-clacks, clackers, knockers, dan, yang paling keren, Newton's Yo-yo. Selain nama terakhir yang berkonotasi fisika, nama permainan ini di berbagai penjuru dunia disesuaikan dengan persepsi dalam bahasa lokal untuk bunyi yang dihasilkan oleh dua benda yang berbenturan atau dibenturkan.
Di Indonesia, istilah latto-latto (atau variannya lato-lato) tampaknya lebih populer secara nasional, terbukti dengan penggunaannya oleh berbagai media-massa di seluruh Indonesia, bukan hanya di Sulawesi Selatan. Walaupun istilah latto-latto sudah digunakan oleh warga Sulawesi Selatan saat kemunculan permainan ini beberapa dasawarsa yang lalu, saya menduga bahwa kepopuleran istilah latto-latto saat ini disebabkan antara lain oleh viralnya video TikTok seorang bocah lugu dari Makassar bernama panggilan Arnol yang sangat mahir memainkan latto-latto.
Saking mahirnya, Arnol telah diliput secara luas oleh media massa se-Indonesia, bahkan diundang ke Jakarta dan mengisi acara live di beberapa stasiun televisi nasional. Alhasil, bocah ini sekarang disebut "Lord Arnol" oleh warganet Indonesia. Begitu populernya Arnol, dalam pencarian di Google pun kini ada frase "arnol latto latto".
Tak pelak lagi, latto-latto telah menjadi salah satu fenomena sosial kita saat ini. Namun, sebagaimana kita menyikapi berbagai fenomena sosial yang ada di sekitar kita, kita patut bertanya, apa yang dapat kita maknai dari kemunculan kembali dan wabah latto-latto ini? Pertama, euforia pasca-pandemi. Dengan berakhirnya pembatasan sosial secara resmi, Indonesia memasuki masa pasca-pandemi atau endemi Covid-19.
Sejak dimulainya secara resmi pandemi Covid-19 pada awal 2020 lalu hingga beberapa bulan terakhir ini, ruang gerak masyarakat terbelenggu pada lingkungan terbatas karena adanya berbagai restriksi oleh Pemerintah untuk mencegah penularan Covid-19. Mulai menurun drastisnya kasus Covid-19 sejak pertengahan 2022 mendorong masyarakat untuk mulai memanfaatkan semaksimal mungkin kesempatan untuk berada di luar ruangan dan berinteraksi kembali secara "normal" dengan warga masyarakat yang lain.
Jadi setelah dua tahun lebih membatasi aktivitas di ruangan tertutup atau terpaksa bermain dengan gawai elektronik atau digital, menonton televisi atau YouTube, menggunakan medsos untuk berinteraksi, masyarakat kita, khususnya anak-anak dan remaja, tiba-tiba menemukan (kembali) latto-latto. Permainan ini tiba-tiba menjadi cara untuk kembali beraktivitas bersama di luar ruangan. Singkatnya, latto-latto merupakan salah satu manifestasi eforia pasca-pandemi masyarakat Indonesia.
Kedua, sensasi liputan media. Media massa arus utama dan medsos sangat cepat memanfaatkan sensasi yang ditimbulkan oleh latto-latto. Tampak jelas bagaimana surat kabar, majalah, televisi, dan radio menjadikan demam latto-latto sebagai objek beritanya, baik sebagai inisiatif pemberitaan maupun sebagai respons atas keingintahuan masyarakat tentang latto-latto.
Medsos apalagi! Bukan rahasia lagi bagaimana latto-latto menjadi inspirasi untuk membuat konten-konten medsos khususnya YouTube, Instagram, dan TikTok yang ketika dipublikasikan langsung dilahap jutaan bahkan puluhan pengguna dan pemirsa medsos. Proses inipun melahirkan content creators dan pesohor-pesohor baru (baca: dadakan) dalam dunia medsos.
Ketiga, fenomena fear of missing out (FOMO). Sudah jamak dalam kemunculan atau kemunculan ulang suatu fenomena sosial bahwa banyak anggota masyarakat yang tiba-tiba merasa butuh atau ingin menjadi bagian dari fenomena sosial itu. Ada kekhawatiran bahwa jika mereka tidak terlibat di dalamnya maka mereka akan dicibir orang lain atau merasa rendah diri karena ketinggalan.
Perasaan FOMO atas wabah latto-latto pun menjalar khususnya di kalangan anak-anak dan remaja. FOMO ini mendorong pertambahan jumlah penyuka, pemain, penjual, dan pembeli latto-latto. Jika sebelumnya orang-orang ketakutan terjangkit virus Covid-19 dan menghindarinya sedapat mungkin, maka kini orang-orang malah senang terjangkiti "virus" latto-latto dan turut menyebarkannya dengan penuh kebahagiaan.
Keempat, kebangkitan permainan tradisional non-gawai (?). Kalangan orangtua, pendidik, dan pengamat sosial sudah lama menggaungkan kekhawatiran mereka akan meningkatnya penggunaan permainan atau tontonan berbasis gawai elektronik dan digital di antara anak-anak dan remaja masa kini. Akibatnya, permainan-permainan tradisional zaman dahulu ("jadul") yang menuntut pelakunya untuk beraktivitas fisik, berada di luar rumah, bermain bersama, berinteraksi, dan berkreasi sudah makin banyak ditinggalkan, tidak saja di masyarakat perkotaan yang makin individualistis namun bahkan terjadi di tengah masyarakat pedesaan yang dipersepsikan masih hidup secara komunal.
Kemunculan latto-latto menjadi sangat menarik dalam konteks ini sehingga sejumlah pihak mengaitkannya dengan dugaan akan kembalinya anak-anak dan remaja kita kepada permainan tradisional jadul (non-gawai) yang dulu dimainkan oleh mereka sendiri, orangtua, atau kakek-nenek mereka. Dugaan ini tidak keliru karena fakta menunjukkan bahwa latto-latto merupakan salah satu permainan atau permainan pertama berciri non-gawai yang muncul di era permainan gawai belakangan ini.
Kemunculan latto-latto sudah disusul oleh permainan-permainan lain serupa atau variasi dari latto-latto. Bukan tidak mungkin ini akan disusul permainan-permainan yang baru atau reborn, termasuk yang tradisional atau khas daerah, bersifat fisik, luar-ruang, interaktif, kolektif, murah, meriah, dan tetap rekreasional.
Terakhir, peristilahan desentralistik. Bagi saya sebagai dosen ilmu kebahasaan yang bermukim di Makassar, Sulawesi Selatan, diadopsinya istilah lokal Makassar latto'-latto' menjadi istilah nasional lato-lato adalah fenomena sosiolinguistik yang sangat menarik. Selama ini, masyarakat Indonesia di seluruh penjuru negeri, termasuk di bagian timur Indonesia sering menyerap dan menggunakan kata, istilah, atau pernyataan populer yang pada umumnya berasal dari bahasa-bahasa di wilayah barat Indonesia (misalnya Melayu, Batak, Minangkabau, dialek Melayu Jakarta, Sunda, Jawa, Madura, dan Bali).
Serapan-serapan tersebut biasanya dipopulerkan melalui media massa, sinetron, film, atau ucapan para pejabat dan pesohor nasional yang pada umumnya berbasis di Jakarta dan Jawa. Masuknya istilah Makassar latto-latto ke dalam perbendaharaan kata bahasa Indonesia kontemporer (menjadi lato-lato) mungkin dapat disebut sebagai proses serapan yang desentralistik (bahasa lokal ke bahasa nasional).
Mungkin selain yang dibahas di atas, masih ada implikasi-implikasi lain dari fenomena latto-latto. Namun dapat disimpulkan bahwa sebagai suatu fenomena sosial kontemporer, latto-latto dan berbagai aspeknya sesungguhnya menyiratkan diri kita sebagai individu, warga masyarakat, dan bangsa.
Chairil Anwar Korompot dosen Jurusan Bahasa Inggris Universitas Negeri Makassar
Simak juga 'Banyak Daerah Larang Bawa Lato-Lato ke Sekolah, Ini Kata Psikolog':