Pro-kontra perlunya motif dalam pembunuhan berencana (moord) kembali menuai problematik pasca salah seorang ahli hukum pidana yakni Mahrus Ali memberikan keterangannya pada persidangan kasus pembunuhan berencana Brigadir Josua Hutabarat di PN Jakarta Selatan, (Kamis, 22/12/2022).
Menurutnya, delik pembunuhan berencana Pasal 340 KUHP memerlukan motif guna mengetahui apakah pelaku pada saat memutuskan kehendak dalam keadaan tenang ataukah tidak. Jika pelaku pada saat memutuskan kehendak tidak dalam keadaan tenang, maka unsur perencanaan tidak terbukti, kata Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta itu.
Apa yang disampaikan oleh ahli hukum pidana di atas menarik untuk ditinjau kembali guna memahami hakikat dari konstruksi Pasal 340 KUHP/WvS tentang pembunuhan berencana. Di sisi lain sebagai upaya guna menghindari kekeliruan dalam penerapan norma hukum a quo pada peristiwa konkret.
Motif dalam Hukum Pidana
Pengertian motif atau motivasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) merupakan suatu dorongan, sebab, alasan, atau latar belakang seseorang melakukan suatu perbuatan. Motif dalam kaitannya terhadap pembunuhan berencana berarti dorongan atau latar belakang pembunuhan berencana tersebut dilakukan.
Dalam pengetahuan ilmu hukum pidana, urgensitas motif dapat saja meliputi ketiga corak kesengajaan, yang terdiri dari kesengajaan sebagai maksud (oopzet als oogmerk), kesengajaan sebagai kepastian (noodzakellijkheidsbewustzjin), dan kesengajaan sebagai kemungkinan (opzet bij mogelijkjeidsbewustzjin) (Abidin, 2010).
Ketiga corak kesengajaan di atas bisa jadi tidak terlepas dari adanya motivasi yang melatarbelakangi pelaku dalam mewujudkan perbuatannya. Kendati demikian, pertanyaan hukum (rechstsvraagen) yang seringkali muncul, apakah motif perlu dibuktikan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam setiap dakwaannya?
Walaupun seorang pelaku tindak pidana seringkali didasari adanya motif, namun tidak berarti JPU harus membuktikan motif pada setiap tindak pidana yang ia dakwakan. Sebab JPU hanya memiliki kewajiban membuktikan unsur atau bestandeel delict dari suatu rumusan pasal.
Adakalanya dalam suatu rumusan pasal menempatkan motif sebagai bagian dari bestandeel delict; mengenai hal ini biasanya terdapat kata-kata atau unsur "dengan maksud". Jika terdapat formulasi yang demikian, maka pembentuk KUHP/WvS hanya menghendaki satu corak kesengajaan, yaitu kesengajaan sebagai maksud (opzet als ogmerk).
Menurut doktrin (pendapat para ahli), corak kesengajaan sebagai maksud/tujuan selalu menghendaki perlunya motif. Kendati sebaliknya jika unsur dengan maksud tidak terdapat dalam suatu rumusan delik, maka motif bukan merupakan hal yang harus dibuktikan.
Sebagai contoh rumusan delik pada KUHP yang mencantumkan unsur dengan maksud diantaranya; delik pemalsuan surat (Pasal 263), delik pencurian (Pasal 362), delik pemerasan dan ancaman (Pasal 368), serta delik penipuan (Pasal 378). Anasir motif sangat penting dalam membuktikan delik-delik tersebut.
Berbeda dengan delik pembunuhan yang terdapat pada Pasal 338 pembunuhan biasa, Pasal 340 pembunuhan berencana (moord,premeditatus) yang pada hakikatnya menempatkan motif jauh dari rumusan delik, lantaran tidak menggunakan kata-kata atau unsur 'dengan maksud' (opzet als ogmerk), melainkan menggunakan kata atau unsur "dengan sengaja" (opzettellijk).
Pembunuhan Berencana
Primo executienda est verbis vis, ne sermonis vitio obstruatur oratio, sive lex sine argumentis --perkataan adalah hal utama yang harus diperiksa, guna menghindari kesalahan dalam pengertian maupun kekeliruan dalam penerapan hukum.
Delik pembunuhan berencana diatur dalam Pasal 340 KUHP/WvS sebagai berikut: "Barangsiapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama 20 tahun."
Andi Hamzah (2009) mengemukakan bahwa yang membedakan antara pembunuhan berencana (moord) dan pembunuhan biasa (dodslag) hanya terletak pada ditambahkannya unsur "dengan rencana lebih dulu" (met voorbedachte rade) pada delik pembunuhan berencana.
Di dalam Memori Van Toelichting (MvT), istilah met voorbedachte rade (direncanakan lebih dulu) merupakan pendiskripsian suatu saat tertentu untuk menimbang dengan tenang (Tongat, 2003). Adapun dalam literature hukum pidana, unsur direncanakan lebih dulu dalam konstruksi Pasal 340 KUHP mengarah pada tiga keadaan/syarat; pertama, pelaku pada saat memutuskan kehendak dalam keadaan tenang.
Kedua, ada ketersediaan waktu yang cukup sejak timbulnya kehendak sampai dengan pelaksanaan kehendak. Ketiga, pelaksanaan kehendak (perbuatan) dalam suasana tenang (Chazawi, 2001). Syarat di atas bersifat kumulatif serta memiliki keterkaitan yang erat antara satu sama lain.
Memutuskan kehendak dalam keadaan tenang sangat berkorelasi pada syarat kedua, yaitu adanya ketersediaan waktu yang cukup. Pembunuhan berencana mensyaratkan antara timbulnya kesengajaan untuk membunuh orang lain dan pelaksanaan kesengajaan tersebut ada waktu bagi pelaku untuk memikirkan dengan tenang (Abidin & Hamzah, 2010).
Artinya bahwa memutuskan kehendak dalam keadaan tenang bukan merupakan suatu kondisi kebatinan atau kondisi psikologis pelaku sebelum ia memutuskan kehendak untuk berbuat (merencanakan), melainkan suatu kondisi yang mengarah pada perbuatan konkret, yaitu dengan melihat apakah ada ketersediaan waktu yang cukup bagi pelaku untuk memikirkan, mempersiapkan, hingga melaksanakan perbuatannya.
Ketersediaan waktu yang cukup itulah sebagai dasar bagi Majelis Hakim dalam menimbang apakah pelaku memutuskan kehendak dalam keadaan tenang ataukah tidak. Oleh karenanya pendapat yang mengatakan bahwa syarat memutuskan kehendak dalam keadaan tenang berkorelasi terhadap "motif" sehingga menjadi syarat dalam membuktikan unsur 'direncanakan lebih dulu' menurut penulis tidaklah tepat, sebab hukum pidana tidak menjangkau lebih jauh terhadap apa yang ada dalam pikiran manusia.
Di sisi lain, unsur "direncanakan lebih dulu" maupun unsur "menghilangkan nyawa orang lain" pada delik pembunuhan berencana Pasal 340 KUHP merupakan unsur objektif yang mana penilaiannya terfokus pada keadaan atau perbuatan konkret. Maka tidaklah tepat jika menempatkan ketiga syarat pada unsur "direncanakan lebih dahulu" sebagai penilaian subjek delik (unsur subjektif/pelaku).
Ningrum nunguam axcedere debet rubrum --substansi pasal tidak boleh ditafsirkan sedemikian rupa sehingga bertentangan dengan maksud dari pasal itu sendiri.
Ivan Lippu pendiri Community of Criminal Law Study FH UAD Yogyakarta
Simak juga 'Jaksa Soal Sambo Lakukan Pembunuhan Berencana: Motif Tak Jadi Fokus':