Wacana untuk memakai sistem proporsional tertutup pada Pemilu Legislatif 2024 menuai pro dan kontra. Antarpartai politik di parlemen terbelah dalam menyikapi munculnya isu ini. Dalam istilah hukum pemilu, sistem proporsional tertutup merupakan sistem pemilu di mana keterpilihan wakil rakyat didasarkan pada nomor urut yang ditentukan oleh partai politik. Pemilih hanya memilih partai politik dan penetapan calon terpilih ditentukan berdasarkan nomor urut.
Di Parlemen, PDIP menjadi partai pendukung utama dan hanya satu-satunya parpol yang mengusulkan sistem proporsional tertutup. Sementara 8 (delapan) fraksi lain yaitu Golkar, Gerindra, Nasdem, PKB, PPP, PAN, Demokrat, dan PKS tetap ingin mempertahankan sistem proporsional terbuka. Dalam sistem proporsional terbuka, keterpilihan calon legislatif ditentukan oleh dukungan rakyat dengan metode suara terbanyak.
Di luar Parlemen, sudah terdapat beberapa pihak yang melakukan uji materi Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilu terkait pengaturan sistem proporsional terbuka ke Mahkamah Konstitusi (MK). Menurut para pemohon uji materi, mereka menginginkan sistem proporsional tertutup dan pemilih hanya cukup mencoblos partai. Artinya, parpol berwenang menentukan kader yang ingin ditempatkan di parlemen.
Jika ditarik ke belakang, perdebatan penggunaan sistem proporsional terbuka atau tertutup sebenarnya bukan hal yang baru. Hal ini sudah diperdebatkan ketika proses pembahasan Undang-Undang 7/2017 tentang Pemilu. Tetapi perdebatan ini diakhiri dengan bulatnya sikap semua fraksi untuk menetapkan sistem proporsional terbuka sebagai sistem yang akan digunakan dalam pemilu. Hal ini tertuang dalam Pasal 168 ayat (2) yang berbunyi "Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka."
Putusan MK Terdahulu
Terhadap sistem yang telah disepakati ini, tentu sistem proporsional terbuka harus dipilih dan dikawal menjadi sistem yang nantinya juga akan dilaksanakan pada Pemilu 2024. Pilihan atas sistem pemilu terbuka ini sebenarnya beresonansi dengan putusan MK Nomor 22/PUU-IV/2008 yang menyatakan bahwa dasar penetapan calon terpilih adalah berdasarkan calon yang mendapatkan suara terbanyak secara berurutan, bukan atas dasar nomor urut terkecil yang telah ditetapkan oleh partai.
Pilihan sistem terbuka sangat sejalan dengan putusan MK tersebut. Sistem terbuka sesuai dengan spirit putusan MK yang mengisyaratkan bahwa penetapan calon terpilih berdasarkan prinsip suara terbanyak. Sistem proporsional terbuka lebih 'memuliakan' daulat rakyat dibanding sistem proporsional tertutup. Oleh karena itu MK harus memiliki komitmen sebagai lembaga pengawal demokrasi (the guardians of democracy) dalam menguji gugatan UU Pemilu ini.
Manifestasi Kedaulatan Rakyat
Memang kita bisa melihat bahwa dalam sistem proporsional terbuka terdapat berbagai kelemahan, di antaranya biaya politik yang tinggi dan "benturan persaingan" antara caleg dan parpol. Begitupun dalam sistem lain seperti sistem tertutup, potensi benturan persaingan pun juga sangat terbuka dan kursi parlemen dapat "dijual" serta dimanfaatkan oleh orang-orang yang dekat dengan pucuk pimpinan parpol. Tiap sistem punya kelebihan dan kekurangan.
Setidaknya ada beberapa keunggulan mengapa sistem proporsional terbuka masih relevan digunakan untuk Pemilu 2024 nantinya. Pertama, sistem proporsional terbuka lebih mencerminkan prinsip kedaulatan rakyat sebagaimana amanat Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945. Dalam paham kedaulatan rakyat, rakyatlah yang sebenarnya memiliki kekuasaan tertinggi dalam penyelenggaraan pemerintahan termasuk dalam memilih pemimpin. Keterpilihan caleg tidak boleh bergeser dari keputusan rakyat yang berdaulat kepada keputusan pengurus partai politik.
Kedua, rakyat bisa secara bebas memilih dan menentukan caleg yang dipilih dan yang terpilih nanti adalah calon yang memang memperoleh suara atau dukungan rakyat paling banyak. Ketiga, dasar filosofi sistem proporsional terbuka sejalan dengan daulat rakyat, dengan asumsi penentuan calon terpilih harus pula didasarkan pada "caleg yang terpilih adalah yang mendapat suara terbanyak secara berurutan, dan bukan atas dasar nomor urut terkecil yang telah ditetapkan."
Keempat, sistem terbuka akan memperkuat partisipasi dan kontrol publik terhadap calon wakil rakyat yang nantinya akan duduk di parlemen. Partisipasi dan kontrol publik tersebut berangkat dari hubungan antara caleg dengan konstituennya. Hubungan tersebut menurut Harold J Laski merupakan ciri dari suatu sistem demokrasi di mana demokrasi memberikan saluran kepada warga negara untuk berhubungan langsung dengan sumber kewenangan sehingga warga negara memiliki hak untuk kekuasaan politik.
Berdasarkan beberapa keunggulan di atas, sistem proporsional terbuka merupakan sistem yang lebih demokratis serta 'setia' menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Tidak ada alasan untuk kembali ke sistem proporsional tertutup.
Allan Fatchan Gani Wardhana pengajar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UII, Dewan Pakar Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) UII
Di Parlemen, PDIP menjadi partai pendukung utama dan hanya satu-satunya parpol yang mengusulkan sistem proporsional tertutup. Sementara 8 (delapan) fraksi lain yaitu Golkar, Gerindra, Nasdem, PKB, PPP, PAN, Demokrat, dan PKS tetap ingin mempertahankan sistem proporsional terbuka. Dalam sistem proporsional terbuka, keterpilihan calon legislatif ditentukan oleh dukungan rakyat dengan metode suara terbanyak.
Di luar Parlemen, sudah terdapat beberapa pihak yang melakukan uji materi Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilu terkait pengaturan sistem proporsional terbuka ke Mahkamah Konstitusi (MK). Menurut para pemohon uji materi, mereka menginginkan sistem proporsional tertutup dan pemilih hanya cukup mencoblos partai. Artinya, parpol berwenang menentukan kader yang ingin ditempatkan di parlemen.
Jika ditarik ke belakang, perdebatan penggunaan sistem proporsional terbuka atau tertutup sebenarnya bukan hal yang baru. Hal ini sudah diperdebatkan ketika proses pembahasan Undang-Undang 7/2017 tentang Pemilu. Tetapi perdebatan ini diakhiri dengan bulatnya sikap semua fraksi untuk menetapkan sistem proporsional terbuka sebagai sistem yang akan digunakan dalam pemilu. Hal ini tertuang dalam Pasal 168 ayat (2) yang berbunyi "Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka."
Putusan MK Terdahulu
Terhadap sistem yang telah disepakati ini, tentu sistem proporsional terbuka harus dipilih dan dikawal menjadi sistem yang nantinya juga akan dilaksanakan pada Pemilu 2024. Pilihan atas sistem pemilu terbuka ini sebenarnya beresonansi dengan putusan MK Nomor 22/PUU-IV/2008 yang menyatakan bahwa dasar penetapan calon terpilih adalah berdasarkan calon yang mendapatkan suara terbanyak secara berurutan, bukan atas dasar nomor urut terkecil yang telah ditetapkan oleh partai.
Pilihan sistem terbuka sangat sejalan dengan putusan MK tersebut. Sistem terbuka sesuai dengan spirit putusan MK yang mengisyaratkan bahwa penetapan calon terpilih berdasarkan prinsip suara terbanyak. Sistem proporsional terbuka lebih 'memuliakan' daulat rakyat dibanding sistem proporsional tertutup. Oleh karena itu MK harus memiliki komitmen sebagai lembaga pengawal demokrasi (the guardians of democracy) dalam menguji gugatan UU Pemilu ini.
Manifestasi Kedaulatan Rakyat
Memang kita bisa melihat bahwa dalam sistem proporsional terbuka terdapat berbagai kelemahan, di antaranya biaya politik yang tinggi dan "benturan persaingan" antara caleg dan parpol. Begitupun dalam sistem lain seperti sistem tertutup, potensi benturan persaingan pun juga sangat terbuka dan kursi parlemen dapat "dijual" serta dimanfaatkan oleh orang-orang yang dekat dengan pucuk pimpinan parpol. Tiap sistem punya kelebihan dan kekurangan.
Setidaknya ada beberapa keunggulan mengapa sistem proporsional terbuka masih relevan digunakan untuk Pemilu 2024 nantinya. Pertama, sistem proporsional terbuka lebih mencerminkan prinsip kedaulatan rakyat sebagaimana amanat Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945. Dalam paham kedaulatan rakyat, rakyatlah yang sebenarnya memiliki kekuasaan tertinggi dalam penyelenggaraan pemerintahan termasuk dalam memilih pemimpin. Keterpilihan caleg tidak boleh bergeser dari keputusan rakyat yang berdaulat kepada keputusan pengurus partai politik.
Kedua, rakyat bisa secara bebas memilih dan menentukan caleg yang dipilih dan yang terpilih nanti adalah calon yang memang memperoleh suara atau dukungan rakyat paling banyak. Ketiga, dasar filosofi sistem proporsional terbuka sejalan dengan daulat rakyat, dengan asumsi penentuan calon terpilih harus pula didasarkan pada "caleg yang terpilih adalah yang mendapat suara terbanyak secara berurutan, dan bukan atas dasar nomor urut terkecil yang telah ditetapkan."
Keempat, sistem terbuka akan memperkuat partisipasi dan kontrol publik terhadap calon wakil rakyat yang nantinya akan duduk di parlemen. Partisipasi dan kontrol publik tersebut berangkat dari hubungan antara caleg dengan konstituennya. Hubungan tersebut menurut Harold J Laski merupakan ciri dari suatu sistem demokrasi di mana demokrasi memberikan saluran kepada warga negara untuk berhubungan langsung dengan sumber kewenangan sehingga warga negara memiliki hak untuk kekuasaan politik.
Berdasarkan beberapa keunggulan di atas, sistem proporsional terbuka merupakan sistem yang lebih demokratis serta 'setia' menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Tidak ada alasan untuk kembali ke sistem proporsional tertutup.
Allan Fatchan Gani Wardhana pengajar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UII, Dewan Pakar Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) UII
Simak juga 'Prabowo Tegaskan Gerindra Pilih Sistem Pemilu Proporsional Terbuka':
(mmu/mmu)