Pemilihan Umum yang akan diselenggarakan pada Februari 2024 (legislatif) dan November 2024 (Pemilihan Kepala Daerah) tampaknya belum final pada sistemnya. Padahal telah diundangkan oleh pemerintah pusat.
Belum lama ini, ada salah satu partai besar di republik mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan keputusan penghitungan suara sistem proporsional terbuka. Sejalan dengan itu, pernyataan Ketua Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Hasyim Asy'ari terhadap kemungkinan pemberlakuan sistem proporsional tertutup mengindikasikan akan ada perubahan sistem penghitungan suara pada Pemilu 2024 nanti.
Paling Ideal
Sistem proporsional terbuka merupakan metode paling ideal dalam sistem kepemiluan kita. Dan, inilah sistem yang dianggap paling merepresentasikan sistem demokrasi yang telah kita pilih sejak 24 tahun lalu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sistem proporsional terbuka memberikan kebebasan kepada para calon anggota legislatif yang dianggap berkualitas untuk mewakili mereka dan menjadi perpanjangan lidah rakyat di lembaga legislatif. Rakyat benar-benar bisa melihat dan kemudian menyeleksi mana caleg yang bisa mewakili dan menyampaikan aspirasi mereka di DPR. Sebab sistem ini memang membuka ruang yang sangat besar bagi rakyat untuk menentukan pilihan sesuai keinginannya.
Selain itu, pada caleg juga diberi ruang besar untuk menyampaikan isi kepalanya di hadapan rakyat sebagai upaya meyakinkan dan mengambil hati rakyat. Sebab, faktanya memang bahwa politisi selalu membiayai dirinya sendiri dalam setiap perhelatan politik lima tahunan.
Lain halnya dengan sistem proporsional tertutup, partai politik akan menentukan siapa yang akan menjadi anggota legislatif di setiap level. Rakyat hanya disuruh memilih atau mencoblos partai politik, nanti partai politik yang memilih dan menentukan anggota legislatif yang akan duduk di kursi empuk.
Sistem ini memungkinkan partai politik bisa menjadi sebuah lembaga yang terlalu kuat dalam sistem bernegara kita, yang memungkinkannya untuk menjadi alat kontrol paling berkuasa pada pejabat bahkan negara. Ini sangat berbahaya bagi masa depan demokrasi di Indonesia.
Padahal dalam sistem demokrasi yang kita anut, rakyat adalah pemegang kedaulatan tertinggi. Rakyatlah yang paling berhak untuk menentukan pejabat mana yang akan memimpinnya dan membuatnya sejahtera. Sehingga partai politik harusnya hanya menjadi semacam event organizer dalam setiap penyelenggaraan pemiliu. Begitu kadernya terpilih secara langsung oleh rakyat, maka seharusnya dia menjadi milik rakyat yang memilihnya dan bukan menjadi milik partai yang mengusungnya.
Merugikan Caleg
Pemilihan dengan sistem proporsional tertutup akan sangat merugikan caleg yang berpotensi menang. Sebab pada akhirnya yang menentukan ia jadi atau tidak bukan pada jumlah perolehan suara yang diberikan oleh rakyat kepada. Melainkan, karena keputusan partainya yang belum tentu mendapat mandat dari rakyat pada pemilihan umum.
Dalam kerangka sistem seperti ini, rakyat hanya akan benar-benar menjadi objek, bukan subjek. Rakyat hanya dipaksa tunduk pada keputusan partai politik dan bukan karena kehendaknya sendiri. Sistem ini lebih mirip sistem Komunis, di mana partai politik yang mengontrol semua jalannya bernegara. Rakyat hanya akan terus menjadi korban kepentingan para elite politik --semacam sistem "given". Rakyat tidak lagi punya kebebasan menentukan nasibnya sendiri untuk kepentingannya sendiri.
Kita telah memilih demokrasi dalam sistem bernegara yang memberikan kebebasan kepada rakyat untuk mengontrol pemerintahan di semua level. Rakyatlah yang membiayai jalannya sebuah negara. Tanpa rakyat negara tidak akan kuat membiayai dirinya. Bahkan tidak ada negara tanpa rakyat.
Berilah kebebasan pada rakyat. Jadikanlah rakyat sebagai subjek, bukan objek kepentingan partai politik. Jangan rakyat dan seluruh elemen negara ini digiring mundur ke belakang dan ketinggalan kereta dari negara-negara maju di dunia.
Zafiludin Sekretaris KNPI Kab. Teluk Wondama, Papua Barat