Pada November yang lalu, forum Halal 20 (H20) secara resmi ditutup di Semarang. Kegiatan tersebut dihadiri oleh perwakilan duta besar negara, lembaga halal luar negeri, peneliti dan penggiat halal. Luarannya adalah penandatanganan memorandum of understanding (MOU) untuk kerja sama membangun kemitraan halal global.
Adanya MOU lantas tidak serta merta dapat menjamin setiap negara memiliki satu suara terkait bagaimana standar halal yang tepat. Penyebabnya adalah masing-masing negara sudah memiliki standar sistem jaminan halal sendiri. Oleh karena itu, adanya forum Halal 20 diharapkan dapat dijadikan momentum untuk segera merumuskan standar manajemen sistem halal global.
Forum Halal 20 baru pertama kali diselenggarakan. Sebagai bagian dari rangkaian G20, forum ini mengangkat tema 'Global Halal Partnership for A Robust Sustainable Future'. Hal ini berarti bahwa dalam membangun ekosistem halal yang berkelanjutan diperlukan komitmen kerja sama dan kemitraan secara global. Tidak bisa dilakukan sendiri-sendiri.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara itu, Indonesia juga diharapkan dapat menjadi pusat industri, ekosistem, dan pasar halal global. Hal ini mengingat potensi industri halal di Indonesia sangat besar. Sebagai gambaran, jumlah konsumsi produk halal di Indonesia 2018-2019 mencapai USD 218.8 miliar. Meskipun sempat menurun saat pandemi menjadi USD 184 miliar, tetapi diproyeksikan pada 2022 meningkat USD 303 miliar berdasarkan data dari Kementerian Perindustrian.
Selain itu, forum H20 juga digunakan untuk sosialisasi peraturan dan kebijakan jaminan produk halal yang baru. Hal ini menyusul diterbitkannya UU Nomor 33 tahun 2014 mengenai kewajiban bahwa seluruh produk yang masuk, beredar dan diperdagangkan wajib bersertifikat halal.
Adanya peraturan tersebut tentu membawa dampak bagi seluruh sektor terkait. Mulai dari produsen, distributor, konsumen merasakan dampaknya. Sebelumnya, jaminan produk halal sifatnya sukarela; saat ini menjadi sebuah mandatory. Tidak ada lagi tawar menawar. Semua produk yang termasuk dalam daftar dan beredar dan dijual di Indonesia maka wajib bersertifikasi halal.
Oleh karena itu, sudah tepat kiranya forum H20 ini diselenggarakan. Lantas pertanyaannya, apakah sudah cukup dengan komitmen MOU? Jawabannya tentu tidak cukup.
Dalam membangun ekosistem halal global tentu tidak cukup hanya dengan sebatas upaya simbolis kerja sama saja. Tetapi yang jauh lebih penting adalah bagaimana dapat merumuskan sebuah langkah yang sistematis, berkelanjutan dan berstandar global. Artinya sebuah sistem yang disepakati di seluruh negara yang ingin mengimplementasikan sistem jaminan produk halal. Termasuk dengan bentuk sertifikat dan logo halal untuk global.
Hal ini mengingat setiap negara saat ini sudah memiliki standar sistem halal dan sertifikat dan logo halal yang berbeda-beda. Misalnya di Malaysia ada JAKIM, di Singapura ada MUIS, dan di Eropa ada HFCE. Lembaga tersebut yang diakui dan disetujui oleh MUI. Sementara masih banyak lembaga di luar negeri yang belum diakui oleh MUI.
Sejatinya sebuah standarisasi sistem manajemen bukanlah sesuatu yang baru. Banyak standar sistem yang sudah disepakati sebagai acuan internasional termasuk dengan sertifikat yang diakui dan terakreditasi. Sebagai contoh standar sistem manajemen mutu dan keamanan pangan yakni ISO 9001 dan ISO 22000. Kedua standar ini sudah menjadi referensi internasional dengan International Standard Organization (ISO) sebagai Badan Standar Internasional yang terdiri dari wakil-wakil dari badan standarisasi nasional setiap negara.
Setiap badan usaha atau perusahaan yang ingin mengimplementasi sistem tersebut dengan mudah mengajukan proses sertifikasi. Pengajuan dilakukan di lembaga yang sudah terakreditasi ISO sebagai auditor untuk sistem manajemen tersebut. Sehingga bagi perusahaan yang sudah tersertifikasi, bukti kelayakan dan sertifikasi pun dapat diakui di seluruh negara. Hal inilah yang sebaiknya bisa juga diadopsi untuk membuat sebuah standar sistem jaminan produk halal internasional.
Forum Halal 20 dapat dijadikan sebuah titik awal untuk merumuskannya dengan Indonesia sebagai inisiator. Tentu sangat beralasan mengapa Indonesia seyogianya dapat dengan berani untuk menginisiasi hal tersebut. Selain karena potensi konsumsi produk halal terbesar dunia, tetapi juga standar sistem jaminan halal yang dikembangkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah dijadikan referensi negara-negara lain.
Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) bersama MUI duduk bersama dengan perwakilan LHLN setiap negara untuk merumuskan standar halal internasional. Tentunya juga perlu mempertimbangkan titik kritis di masing-masing negara. Sehingga standar yang disusun dapat diimplementasikan untuk semua negara yang membutuhkan sertifikasi halal.
Selain standar acuan, nantinya juga perlu disusun metode akreditasi lembaga auditor yang berwenang untuk melakukan audit. Hal ini agar dapat memastikan lembaga-lembaga tersebut dapat memiliki mutu dan kompetensi yang sama. Mirip dengan daftar Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) yang dirilis oleh BPJPH. Total sudah ada 11 LPH yang termasuk dalam daftar BPJPH.
Harapannya nantinya juga ada daftar LPH global yang sudah disetujui. Sehingga, setiap perusahaan di masing-masing negara yang ingin mengimplementasikan dan tersertifikasi halal dapat memilih LPH global yang ditunjuk.
Sejatinya forum H20 tidak hanya untuk membangun kerja sama halal global. Tetapi juga momentum untuk membentuk ekosistem halal global yang berkelanjutan. Salah satunya dengan membentuk standar sistem manajemen jaminan produk halal internasional.
Moh Vicky Indra Pradicta bekerja di food industry sebagai Food Safety and Quality Leader, penggiat One Health