Belakangan, permainan lato-lato menjadi viral dan digandrungi anak-anak. Bahkan orang dewasa pun ikut menjajal permainan ini. Lato-lato sendiri merupakan salah satu jenis permainan tradisional yang sudah ada sejak tahun 1990 yang kini kembali populer. Lato-lato berasal dari bahasa Bugis, Latto-Latto.
Meskipun permainan tradisional ini sudah sejak lama dimainkan di Indonesia, namun lato-lato bukanlah permainan asli Indonesia. Permainan ini sudah muncul di Eropa dan Amerika Serikat dengan nama click-clacks, knockers, ker-bangers, dan clankers pada akhir tahun 1960-an dan semakin populer pada awal 1970-an.
Di tengah kegandrungan anak-anak di seantero negeri terhadap lato-lato, Dinas Pendidikan (Disdik) Kabupaten Pesisir Barat, Lampung, malah melarang para murid membawa lato-lato ke sekolah dengan alasan mengganggu fokus belajar mereka. Kebijakan ini terasa aneh dan konyol. Apalagi dikeluarkan oleh otoritas pendidikan yang semestinya memahami dengan baik esensi belajar itu sendiri.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bermain adalah dunia anak-anak dan merupakan salah satu arena belajar terbaik bagi mereka. Secara alamiah pula bermain sudah menjadi keinginan dan kebutuhan kodrati setiap anak. Stephanie Jones, seorang profesor anak usia dini dari Harvard University, Amerika Serikat, mengungkapkan bahwa bermain menumbuhkan rasa ingin tahu, eksplorasi, kreativitas dan memberikan ruang bagi anak-anak melatih keterampilan mengelola diri, memberi perhatian, serta mempraktikkan rangkaian kemampuan daya cipta.
Bahkan Finlandia sebagai kiblat sistem pendidikan dunia saat ini menghargai bermain sebagai aspek kunci dan bagian integral dari proses pembelajaran di sekolah. Model pendidikan Finlandia berfokus pada pentingnya bermain dan kegembiraan. Timothy D. Walker, seorang guru dan penulis buku 'Teach Like Finland' pernah suatu ketika mengunjungi taman kanak-kanak umum di Finlandia dan mencatat perbedaan dalam pendekatan yang dilakukan oleh guru-guru di sana.
Walker berbicara kepada beberapa pendidik di sekolah sambil melihat anak-anak melakukan hal terbaik yang ingin mereka lakukan, yaitu bermain. Anak-anak tampak belajar dengan sangat baik melalui permainan. Bahkan tidak menyadari bahwa mereka sedang belajar karena mereka terlihat begitu asyik dan tertarik.
Jika kemudian ada pihak yang menyalahkan permainan lato-lato menggangu fokus belajar siswa, dapat ditengarai bahwa Disdik setempat kurang memiliki daya kreatif dan imajinatif dalam memanfaatkan viralnya permainan lato-lato sebagai salah satu medium belajar yang menyenangkan bagi siswa.
Selama ini mungkin imajinasi kita tentang fokus belajar adalah hanya terpaku berada di ruang kelas, duduk rapi dengan tangan dilipat melihat ke arah papan tulis seraya mengangguk-anggukkan kepala mendengarkan penjelasan guru. Sedangkan suasana belajar yang riuh, dipenuhi gelak tawa dengan suguhan permainan-permainan menarik dalam konteks mempelajari topik/materi tertentu belum dianggap sebagai belajar yang sesungguhnya.
Padahal, Ki Hadjar Dewantara, Bapak Pendidikan Indonesia, mendirikan sebuah sekolah pada tanggal 3 Juli tahun 1922 di Yogyakarta yang dinamainya dengan Nationaal Onderwisj Institut Taman Siswa. Berdirinya sekolah ini dilatarbelakangi dengan filosofi yang sederhana sekali, menjadikan ruang pendidikan sebagai taman bermain dan tempat belajar yang menyenangkan bagi siswa.
Pemikiran pendidikan Ki Hadjar Dewantara dalam membangun dan mengembangkan Taman Siswa ini dipengaruhi oleh dua tokoh pendidikan dunia lainnya; Maria Montessori di Italia dan Rabindranath Tagore di India. Dalam konteks pendidikan yang mereka kembangkan di negara masing-masing, keduanya meyakini bahwa pendidikan adalah untuk mengembangkan kodrat anak, memfasilitasi anak, menekankan pada kemandirian dan keaktifan anak dengan konsep pembelajaran langsung melalui praktik dan permainan kolaboratif, serta mendorong mereka menjadi manusia dewasa.
Oleh karena itu, tidak tepat rasanya ketika ruang pendidikan malah menjauhkan peserta didik dari apa yang mereka senangi. Lalu bagaimana jika anak-anak sudah terlanjur gandrung dan lalai dengan belajarnya akibat bermain lato-lato?
Sejatinya, boleh dikatakan hampir setiap permainan yang disukai anak-anak sifatnya melalaikan. Di sinilah tugas pendidik dan lingkungan pendidikan untuk mengarahkan mereka agar belajar bertanggungjawab dengan apa yang mereka sukai. Terdapat kebolehan untuk bersenang-senang dengan mainan atau permainan dalam proporsi tertentu, namun di sisi lain juga harus bertanggungjawab memenuhi kewajibannya sebagai seorang pelajar.
Sama halnya seperti kekhawatiran kebanyakan orangtua yang anak-anaknya keranjingan gawai selama ini. Narasi yang dibangun lebih banyak mengenai hal-hal negatif akibat penggunaan gawai. Lalu secara membabi buta melarang penggunaannya. Tetapi lupa untuk hadir guna menjelaskan, mengarahkan, dan mendampingi si anak mengenai sisi baik dan buruk penggunaan gawai itu sendiri. Supaya si anak kelak mampu secara mandiri mencerna dan menyaring tindakan yang akan dilakukannya meskipun di luar pemantauan kita. Di sinilah mereka belajar untuk bertanggungjawab terhadap diri mereka sendiri.
Lebih menggelikan lagi ketika alasan Disdik Kabupaten Pesisir Barat tersebut melarang lato-lato dibawa ke sekolah karena akan dijadikan sebagai senjata untuk berkelahi. Apa bedanya dengan kelereng yang juga bisa jadi senjata untuk menimpuk orang?
Bahkan jika kita sering menonton film laga; pulpen, pensil, dan buku pun dapat dijadikan senjata berbahaya untuk bertarung. Dalam hal ini mungkin saja kita sering terjebak dalam logical fallacy ketika memandang sesuatu. Hasty generalization atau overgeneralization merupakan salah satu bentuk sesat pikir yang sering kita alami. Menggeneralisasi suatu objek atas satu atau beberapa kejadian buruk yang menimpanya.
Percayalah bahwa lato-lato hanya euforia sesaat saja sebagaimana lazimnya hal-hal lain yang terlebih dulu viral sebelumnya. Pada waktunya akan hilang dengan sendirinya. Tidak perlu khawatir berlebihan hingga mengeluarkan kebijakan yang sifatnya malah kontraproduktif bagi dunia pendidikan. Berikan saja ruang yang proporsional bagi anak-anak untuk menikmati bermain lato-lato bersama teman-teman di sekolahnya. Tentu dengan pengawasan dan pendampingan yang baik dari para guru.
Melalui sikap tersebut, kita telah menyediakan ruang dan hak yang memerdekakan bagi anak-anak untuk menikmati hal yang mereka senangi, namun di saat sama kita juga mengajarkan mereka untuk selalu bertanggungjawab atas kewajiban yang mereka miliki.
Marthunis, M.A. Direktur Sekolah Sukma Bangsa Pidie, Aceh.