Seorang raja menaruh batu besar di tengah jalan yang menghubungkan desa dengan kerajaannya lalu bersembunyi di balik semak-semak. Apa yang akan dilakukan oleh orang-orang yang lewat? Para bangsawan dan orang-orang kaya di kerajaannya melihat batu besar itu dan jalan memutar untuk terus maju. Begitu juga orang banyak. Mereka rata-rata mengkritik raja yang tidak bekerja sehingga ada batu besar di tengah jalan pun dibiarkan.
Tidak lama kemudian, seorang petani dengan gerobak penuh sayuran menuju ke kota. Ketika melihat batu besar itu, dia berusaha keras untuk menyingkirkannya. Meskipun mula-mula mengalami kesulitan, dengan mencoba berbagai cara dan mengerahkan segenap tenaganya, akhirnya dia berhasil menggulingkan batu itu ke tepi jalan. Di bawah batu itu ternyata ada kantong berisi koin emas dan surat dari raja yang mengatakan bahwa koin emas itu merupakan hadiah bagi siapa pun yang mau memindahkan batu besar itu.
Engsel
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Raja Sulaiman menggambarkan orang-orang yang malas dengan begitu apiknya: "Seperti pintu berputar pada engselnya, begitu juga pemalas di tempat tidurnya." Orang yang malas memang pandai mencari alasan. Si pemalas, menurut raja paling bijak sedunia itu, berkata, "Ada singa di tengah perjalanan! Ada singa di jalan-jalan!"
Pemenang selalu mencari jalan sukses, sedangkan pecundang selalu punya alasan untuk tidak mengerjakan apa-apa kecuali membanggakan prestasinya yang tidak pernah diraih.
Katrol
Ketika anak saya masih kecil, saya ajak mengunjungi sebuah SD di New Castle. Kebetulan saya ada undangan bicara di sana. Saat memasuki bangunan kuno khas kerajaan Inggris itu, pemandangan kontras terjadi. Di luar archaic, di dalam sangat modern.
Di sebuah ruangan ada sebuah mobil dan katrol. Saya minta anak saya untuk mengangkat mobil itu dengan katrol. Mula-mula dia ragu-ragu karena membandingkan badannya yang kecil dan mobil yang cukup besar itu. Namun karena saya desak untuk mencobanya, dia menarik tali yang terhubung dengan katrol itu.
Ajaib. Tangan mungilnya ternyata berhasil mengangkat mobil besar. Itulah gunanya pulley. Saya ingin mengajarkan kepada anak saya bahwa kekuatan yang tidak seberapa jangan membuatnya putus asa. Ada alat bantu yang membuatnya perkasa.
Kecil-Kecil Cabe Rawit
Pernah dengar ungkapan itu? Meskipun dibandingkan Amerika dan China misalnya, Indonesia terbilang kecil. Namun, jika dibandingkan dengan Jepang dan bahkan Belanda yang dulu menjajah kita tiga setengah abad, Indonesia jauh lebih besar. Bukankah luas wilayah Belanda hanya sebanding dengan propinsi Jawa Barat saja? Namun mengapa Belanda yang kecil bisa menjajah Indonesia sekian lama?
Paling tidak ada dua jawaban. Pertama, negara adikuasa mencoba mendikte kita dengan memecah belah bangsa agar bisa menguasainya. Kedua, mental kita sendiri yang terbiasa jadi makhluk terjajah sehingga lebih mengagungkan orang luar negeri ketimbang bangsa sendiri. Coba lihat saja ke pusat-pusat wisata di Tanah Air. Bagaimana pelayanan orang Indonesia sendiri terhadap bangsa sendiri? Bandingkan service mereka terhadap bule-bule yang mungkin tidak lebih kaya dari sebagian kita. Itulah sebabnya orang-orang Bali dan Jogja terus belajar untuk ramah dan profesional baik terhadap turis manca negara maupun domestik.
"Winter is coming," kata Presiden Jokowi. Benar. Peringatan Sri Mulyani pun senada. Namun, semua itu mereka katakan agar kita berjaga-jaga dan tidak terlena. Bukan menakut-nakuti agar kita tidak melakukan apa-apa seperti pintu yang bergeser di engsel saja.
Quo Vadis?
Dari akar permasalahan yang kita ketahui-mudah dipecah belah dan bermental budak-marilah kita berangkat dari dua hal itu. Pertama, percayalah bahwa kita secara perlahan tapi pasti bisa berdiri di atas kaki sendiri. Perusahaan-perusahaan asing yang menanamkan modal di Indonesia mau tidak mau, rela tidak rela, memberi kita kesempatan untuk belajar. Alih teknologi terus-menerus berjalan. Oleh sebab itu, sikap gampang curiga dengan "aseng" harus kita singkirkan jika kita ingin maju. Kaum diaspora-khususnya yang terdidik dan punya modal besar-alangkah indahnya jika mau kembali ke tanah air.
Saat makan di sebuah hotel bintang lima, di samping saya ada seorang lelaki mirip Koh Afuk (Chew Kin Wah). Saat mengobrol saya baru tahu kalau dia seorang doktor di bidang kimia yang sudah mapan di Amerika. "Saya pulang ke Indonesia karena mau menyumbangkan keahlian saya," ujarnya dengan senyum ramah. Ada nada bangga dalam suaranya.
Kedua, sudah saatnya perpecahan --bahkan polarisasi ekstrem-- di antara dua kelompok anak bangsa harus diakhiri. Devide et impera hanya menguntungkan para penjajah. Apakah mereka sudah hengkang sepenuhnya dari Indonesia? Belum. Lihat saja apa yang mereka lakukan. Lewat LSM tertentu mereka senantiasa kritis setiap kali kita ingin membangun sesuatu.
Alasan HAM dan kerusakan lingkungan terus-menerus mereka embuskan agar apinya semakin membesar, padahal apa yang mereka dulu lakukan persis dengan apa yang mereka kritisi saat ini. Bisa juga mereka 'masuk' ke Indonesia lewat jasa konsultan politik yang bisa jadi menghalalkan berbagai cara agar yang membayar jasanya bisa memang pemilu.
Bagaimana "toko besar" kita bernama Indonesia bisa maju jika sesama karyawan saling cakar-cakaran? Bukankah lebih baik cek toko sebelah untuk perbandingan. Apa yang baik dari mereka yang bisa kita tiru? Apa yang tidak cocok dan kita buang?
Cek "Koko" Sebelah
Mengapa negara jiran yang jauh lebih kecil seperti Malaysia dan Singapura bisa semaju sekarang, sedangkan kita terus-menerus bangga dengan julukan negara berkembang, padahal sering mengempis kembali? Jawabannya karena kita terlena dengan comfort zone sehingga tidak mau beranjak. Kita lebih suka menjual bahan mentah meskipun dengan harga murah karena komisi besar yang menggiurkan. Kita ogah belajar untuk berakit-rakit ke hulu agar bisa berenang ke tepian. Atau, bisa jadi karena takut di-KO WTO?
Di samping "cek toko" (baca: negara) sebelah, kita pun perlu cek "koko" sebelah. Mengapa mereka bisa cepat maju dan kita tidak? Bisa jadi mereka memangkas birokrasi perizinan sehingga calon investor tidak tercekik oleh belalai gurita mulai yang raksasa sampai tingkat kepala daerah. Bisa pula karena "koko" sebelah lebih ramah terhadap investasi asing dan tidak menyerang dengan kata-kata "aseng" yang menunjukkan kita anti kemajuan.
Kita perlu juga melakukan benchmark dengan negara-negara di Uni Emirate Arab yang mau membuka diri dengan agresif dan ekspansif agar bisa mengikuti irama gendang yang ditabuh negara-negara yang jauh lebih berkembang dan mengembang ke sana kemari.
The Way of the Water
Untuk itu diperlukan sikap kerendahan hati. Bangsa Navi harus terus-menerus belajar dengan suku Avatar lainnya, bahkan jika perlu belajar beradaptasi dengan lingkungan yang baru. Manusia hutan pun mau tidak mau belajar menjadi manusia air karena habitat yang berbeda, bahkan bertolak belakang. Lebih baik lagi kalau bisa berkolaborasi dengan prinsip menang-memang.
Sudah saatnya kita menggunakan katrol agar bisa mengejar ketertinggalan kita. Voice of Baceprot (VOB) dari Garut yang digawangi oleh Marsya, Sitti, dan Widi ini bisa jadi contoh. Mereka berjuang agar bisa eksis tanpa kehilangan jati diri. Dengan tetap berjilbab, tiga gadis cantik --gitaris, basis dan drummer-- ini tampil garang di panggung musik metal dunia tetapi punya kelemahlembutan dan keluhuran bangsa Indonesia.
Siapa saja bisa jadi guru kita mulai Ernest Prakasa --yang ingin menghapus polarisasi Tionghoa-Pribumi dan Kaum Borju dengan penjual burjo-- sampai Marvel dan DC yang terus-menerus membanjiri pasar dengan film bermutu.
"If you want something new, you have to stop doing something old," ujar Peter Drucker
Inilah tamparan Albert Einstein: "Insanity is doing the same thing over and over again and expecting different results."
Ayo, bangkit dengan beragam pengungkit!
Xavier Quentin Pranata pelukis kehidupan di kanvas jiwa
Simak Video 'Daftar Fenomena Astronomi di Tahun 2023, Akan Ada 4 Gerhana!':