"Andai dusun kita ini bisa digeser maju sedikit, ya, jadi dekat sama jalan raya, pasti lebih ramai, kita kalau mau main juga gampang," ujar salah seorang kawan hampir dua dekade lalu. Kami menyetujuinya. Paling tidak, jika dusun ini dimajukan barang 500 meter ke sisi utara, kami akan punya akses langsung ke jalan lebih besar.
Pada masa itu, agaknya tiada rasa bangga jika harus bicara tentang dusun tempat kami tinggal. Nama dusun kami terlampau sederhana --untuk tidak menyebutnya aneh. Jlegongan, demikian namanya. Nama ini sering salah disebutkan menjadi jeglongan yang berarti lubang jalanan saat pertama kali seseorang mendengarnya. Betapa anehnya, orang di kecamatan yang sama kadang mengernyitkan dahi kala mendengar nama dusun ini.
Jlegongan juga terlampau kecil. Kami, anak-anaknya, harus mengundang kawan dari dusun lain misal ingin bermain sepakbola secara ramai. Jika tidak, permainan hanya akan berlangsung dengan pemain tidak sampai 10 bocah. Hal serupa juga terjadi di kelompok bermain anak-anak perempuan.
Seiring berjalannya waktu, kami kian dewasa dan Jlegongan hampir tidak ada perubahan berarti. Ia tetap sepi, tetap sederhana. Ada fase ketika kami enggan berada di Jlegongan. Entah karena kawan sepermainan yang lebih memilih bermain di dusun lain atau karena tidak banyak opsi di dusun kecil ini. Ada pula fase ketika kami harus jujur mengakui merasa rindu dengan segala kesederhanaan tadi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lebih dari dua dekade telah berselang dan bocah-bocah tadi telah terpencar di berbagai arah langkah kehidupan, di berbagai kota, menyandang berbagai atribusi baru.
***
Mencipta rasa bangga pada suatu entitas yang melekat pada diri tentu saja bukan perkara sederhana. Setidaknya, hal macam ini butuh ruang perenungan, proses adu pemikiran, dan jalan panjang kegelisahan serta pemahaman. Sementara di tingkat kebijakan komunal, rasa bangga harus didukung serangkaian pengambilan keputusan, kebijaksanaan, sekaligus edukasi berkelanjutan.
Dulu, Soe Hok Gie pernah menulis bahwa nasionalisme tidak bisa lahir dari omong kosong belaka. Anak-anak muda perlu tahu realitas tentang nasion agar punya nasionalisme. Jawaban itu sama belaka dengan pertanyaan tentang, "Bisakah anak-anak punya rasa bangga pada dusun, kampung, desa, atau banjar mereka?"
Pandangan saya dan kawan-kawan sepermainan tentang dusun yang tidak membanggakan itu mungkin bisa jadi bias belaka. Bisa dianggap wajar, bisa saja dianggap tidak wajar. Wajar, karena kami masih anak-anak dan akan selalu diletakkan dalam kerangka "polos dan belum tahu apa-apa" tentang masyarakat. Kami dianggap hanya bisa bermain, ikut lomba 17 Agustus, atau takbiran menjelang Lebaran. Kami tentu luput dari ranah pengambilan kebijakan dan keputusan pada dusun.
Namun, itu juga bisa berarti tidak wajar ketika merunutnya. Tidak hadirnya rasa bangga bisa diartikan sebagai ketiadaan proses transfer informasi dan pengetahuan tentang daerah itu dari kelompok lebih tua. Anak-anak tidak pernah diberitahu tentang sejarah dusun, asal mula nama, kisah-kisah lampau, dan seluk beluk lainnya. Akibatnya, nama dusun hadir dan melekat di benak tetapi tidak di hati mereka.
Sebenarnya, desa punya mekanisme untuk hal macam ini lewat berbagai adat dan budaya di dalamnya. Sayang, itu semua tidak mampu menarik perhatian semua warga. Sayangnya lagi, hal semacam itu kadang tidak diimbangi dengan kebijakan komunal. Semuanya dibiarkan berjalan secara alami dengan beberapa pembenaran atas nama alasan, "Ya gimana, orang-orang di sini susah diajak!"
Hingga, ketika aspek-aspek modernisme menguat, mudah saja menebak siapa yang kalah, tentu saja: lokalitas. Hilangnya identitas dan kebanggaan pada nilai dan unsur lokal, termasuk tentang dusun, tentu tidak akan berpengaruh dalam satu-dua bulan. Masalah ini baru akan terlihat pada masa mendatang, bertahun-tahun lamanya, dan dampaknya pun bermacam ragamnya.
Mungkin, banyak orang akan mempertanyakan pentingnya rasa bangga pada dusun, desa, atau kampung mereka. Beberapa lainnya mungkin akan menganggap ini sebagai bentuk etnosentrisisme paling kecil. Toh, tidak mungkin semua anak desa tetap akan tinggal di desa, hidup harus berubah, nasib harus diperbaiki, mungkin begitu alasannya.
Jauh di masa mendatang, rasa bangga itu tadi akan membawa banyak pengaruh dalam diri seorang anak desa. Salah satu pengaruh itu ialah soal bagaimana ia memandang aneka realitas di dusunnya, tidak peduli di mana ia kelak akan tinggal dan menjadi apa.
Sudah banyak bertebaran contoh tentang perantau puluhan tahun yang ketika pulang ke dusun namun tetap mampu membumi. Ia tidak lupa bagaimana adat istiadat, kebiasaan masyarakat, dan masih ingat dengan tetangga-tetangganya. Sudah banyak pula contoh betapa seorang anak dusun yang merantau sebentar saja namun punya perubahan luar biasa. Ia tiba-tiba tidak bisa bahasa daerah, ia tiba-tiba merasa dusunnya kuno dan terbelakang, atau ia tiba-tiba merasa jauh lebih tinggi dibanding tetangga-tetangganya.
Dampak rasa bangga --sekaligus pemahaman pada realitas-- kelak juga akan membawa pembeda ketika anak-anak itu tumbuh besar dan menjadi penerus dusunnya. Sederhana saja, salah satu bocah di dusun itu kelak akan jadi kepala dusun, lainnya akan jadi Ketua RT atau RW, anak perempuannya akan mengurus PKK, dan lainnya lagi akan punya peran penting dalam kegiatan sosial.
Silakan bayangkan, seorang anak yang tidak paham realitas sosial dusunnya tiba-tiba menjadi kepala dusun atau Ketua RT. Di kepalanya, hanya ada anggapan bahwa dusunnya tidak maju. Maka, ia lantas mengimpor nilai-nilai kemajuan. Pembangunan ia galakkan di berbagai aspek. Sayang, karena ia tidak paham realitas, semuanya tidak cocok dengan karakter masyarakat sebagai kelompok yang seharusnya merasakan dampak pembangunan tadi.
Ia misalnya, memimpin sebuah dusun dengan pekerjaan mayoritas masyarakatnya petani. Namun karena ia tidak paham realitas kehidupan petani, ia tidak tahu betul harus berbuat apa demi kemajuan dunia pertanian dusunnya. Bisa-bisa, ia akan sembarangan meneken kontrak sewa lahan kas desa selama puluhan tahun tanpa pernah membayangkan dan peduli bagaimana dampak tindakannya pada para petani di sekitarnya.
Bayangkan pula seorang pemudi yang tidak pernah bersosialisasi tiba-tiba kelak diharuskan mengurus PKK. Ia tidak paham betul kebutuhan ibu-ibu di dusunnya. Karena bingung, ia lantas berburu ide kegiatan di internet. Penyuluhan dan sosialisasi digalakkan namun itu semua tidak cocok dengan karakteristik dusun dan gagal menyentuh akar permasalahan. Ketika akhirnya kesulitan berjalan, ia akan membawa alasan klasik: warga dusun susah diajak maju.
Gambaran di atas mungkin terlampau hitam putih. Seorang pemimpin misalnya, kelak bisa saja meminta pendapat dan masukan dari warga dan ketika berada di fase semacam itu juga membuat seseorang mau tidak mau belajar. Hal itu benar adanya dan banyak pula contohnya. Namun, sekali lagi, pemahaman atas realitas masyarakat dan pemetaan masalah tidak bisa selesai barang satu-dua tahun. Jalan panjang perlu ditempuh beserta ilmu, kebijaksanaan, dan pemahaman akumulatif di dalamnya.
Itu semua hanya bisa tercapai setidaknya dengan dua latar belakang psikologis: adanya rasa bangga atau adanya kepentingan pribadi.
***
Lebih dari dua dekade telah berselang dan bocah-bocah di cerita awal catatan ini telah berpisah. Momen-momen tertentu kadang mempertemukan mereka. Pengandaian-pengandaian baru diciptakan. Tentang apa yang bisa dilakukan demi 'membangun' dusun kecil ini. Sama seperti cerita awal tadi, itu semua hanya pengandaian belaka tanpa bisa dijalankan. Manusia semakin dewasa dan kesibukan baru telah melenakan dan menyita banyak perhatian.
Cerita tentang dusun kami sangat mungkin dialami banyak dusun, desa, atau kampung lain di luar sana. Sebuah cerita tatkala dekade-dekade telah terlewat dan akan terlupakan bahkan oleh anak-anaknya sendiri. Dusun hanya akan menjadi sebuah lokasi transit barang satu-dua kali setahun. Selebihnya, ia telah terkubur di sudut-sudut ingatan: tentang masa kecil yang lucu, tentang impian-impian kosong, dan tentang kawan sepermainan yang telah banyak berubah.
Jika memang ingin dicari salahnya, itu semua bukan salah satu kelompok semata. Anak-anak mungkin telah enggan ikut merti dusun dan acara-acara di dusunnya. Orang-orang dewasa masih seenaknya memperlakukan anak-anak sebagai kelompok yang tidak paham apa-apa. Sementara itu orangtua lebih mendorong anaknya pintar secara akademis dan melupakan sisi sosiologis. Ini semua, sejatinya, adalah sebuah kesalahan komunal masyarakat kita yang telah mencabut akar budaya seseorang dalam proses pelan dan panjang.
Maka, ingatan anak-anak bahwa dusun hanya sekadar tempat mereka bermain tatkala kecil adalah hal wajar adanya. Ketika kelak dusun akan terlupa dan dilupa juga tidak lagi terlalu mengejutkan. Masyarakat telah menciptakan itu semua dan masyarakat juga tinggal menunggu hasilnya.
Simak juga 'Momen APDESI Nobatkan Jokowi Sebagai Bapak Pembangunan Desa':