Mengapa Prediksi Banjir Besar 28 Desember Meleset?
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Mengapa Prediksi Banjir Besar 28 Desember Meleset?

Senin, 02 Jan 2023 15:40 WIB
SUPARI
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
supari bmkg
Supari (Foto: dok. pribadi)
Jakarta -

Publik dihebohkan oleh tersebarnya isu tentang prediksi datangnya hujan ekstrem, badai dahsyat, dan banjir besar yang diramalkan melanda Jabodetabek pada 28 Desember. Isu ini mulai menyebar pada 26 Desember malam, berawal dari cuitan seorang peneliti iklim yang kemudian dikutip oleh media-media online. Prediksi ini didasarkan pada hasil pemodelan cuaca yang dikembangkan melalui sistem yang disebut SADEWA (satellite-based early warning system, https://sadewa.brin.go.id/).

Selanjutnya, isu tersebut benar-benar membuat heboh masyarakat luas hingga mengundang komentar dari berbagai pejabat negara. Di dunia maya, kehebohan lebih besar terjadi ketika netizen kemudian menunggu-nunggu apa yang terjadi pada 28 Desember. Tentu saja isu banjir besar Jabodetabek akan menyita perhatian publik karena jika benar terjadi sudah terbayang berapa banyak kerugian akibat terganggunya aktivitas masyarakat ibu kota.

Faktanya kemudian, tidak ada banjir besar di Jabodetabek. Dari 20 titik pengamatan hujan di wilayah Jakarta yang diukur BMKG, sepanjang 28 Desember jam 07.00 WIB hingga 29 Desember jam 07.00 WIB, hujan tertinggi yang terukur adalah sebesar 60 mm yaitu berlokasi di Pompa RW01 Semanan, Jakarta Barat (https://web.meteo.bmkg.go.id/id/pengamatan/).

Kemudian hujan tertinggi kedua terukur sebesar 55.8 mm dari alat Automatic Rain Gauge Mauk Tangerang. Kedua data hujan itu masuk kategori hujan lebat. Tentu saja ini jauh dari apa yang disebut dengan badai dahsyat. Mengapa prediksi itu meleset? Mengapa hasil pemodelan cuaca itu tidak sesuai kenyataan? Mari kita telaah berdasarkan konsep dasar pemodelan cuaca.

Pemodelan Cuaca

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Secara sederhana, pemodelan cuaca secara numeris (Numerical Weather Prediction) bisa diartikan sebagai metode prakiraan cuaca menggunakan program komputer yang didasarkan pada serangkaian persamaan matematis yang kompleks untuk menggambarkan pergerakan atmosfer. Menurut Joseph Smagorjnsky (1983) dalam makalah berjudul The Beginnings of Numerical Weather Prediction and General Circulation Modeling, pemodelan cuaca secara numerik ini sudah dikembangkan dengan sukses sejak 1950 oleh Grup Meteorologi di Institute for Advanced Study (IAS), Princeton, USA.

Saat ini, pemodelan cuaca secara numeris telah berkembang pesat dan terdapat banyak jenis model yang digunakan oleh negara-negara di dunia misalnya Model GFS (Global Forecast System) oleh NOAA USA, ACCESS oleh BoM Australia, GSM (Global Spectral Model) oleh JMA Japan, ICON (Icosahedral Nonhydrostatic) oleh DWD Jerman. Di antara sekian model-model cuaca itu ada model WRF (The Weather Research and Forecasting) yang dikembangkan oleh National Center for Atmospheric Research (NCAR) bersama dengan beberapa Lembaga riset lain di USA. Model ini bersifat open source sehingga bisa dimanfaatkan oleh siapa saja. Model inilah yang digunakan pada sistem SADEWA dan juga merupakan salah satu model yang dioperasionalkan di BMKG.

Badan Meteorologi Inggris (UK Met office), di halaman website-nya menjelaskan bahwa secara umum keandalan pemodelan cuaca secara numeris tergantung pada dua komponen yaitu kemampuan model dalam mereplika proses dinamika atmosfer dan keakuratan initial condition dalam merepresentasikan kondisi atmosfer terkini. Komponen pertama terkait dengan pengaturan dari sistem model itu sendiri misalnya oleh pemilihan skema parameterisasi, pemilihan sistem koordinat dan pemilihan resolusi spasial yang digunakan. Sedangkan komponen kedua terkait dengan seberapa baik hasil pengamatan cuaca di seluruh dunia dapat menggambarkan secara nyata kondisi cuaca yang terjadi. Kedua komponen itu memiliki keterbatasan yang menyebabkan kita tidak akan pernah bisa menghasilkan prakiraan cuaca yang sempurna.

ADVERTISEMENT

Komponen pertama, yaitu kondisi internal model, memiliki keterbatasan karena persamaan-persamaan matematis yang digunakan adalah sebuah penyederhanaan dari persamaan kompleks yang sulit untuk dipecahkan. Karena bersifat penyederhanaan, hal ini akan menghasilkan eror dalam prakiraan. Sementara itu, komponen kedua memiliki keterbatasan karena jaringan pengamatan cuaca yang ada di dunia ini tidak bisa mengukur kondisi cuaca di setiap jengkal lokasi.

Wilayah lautan yang begitu luas adalah bagian yang tidak teramati kondisi cuacanya dengan rapat. Begitu juga daerah-daerah hutan dan pegunungan yang susah dijangkau, juga tidak teramati oleh alat pengamatan cuaca. Memang sekarang ada teknologi penginderaan jauh yang memungkinkan kita mengukur kondisi cuaca melalui satelit dan radar. Namun kedua alat ini juga memiliki bias. Alhasil, kita tidak bisa membuat sebuah initial conditian yang sempurna seperti cuaca yang sesungguhnya terjadi, karena keterbatasan manusia dalam mengamati cuaca secara keruangan.

WMO, badan meteorologi dunia, dalam dokumen berjudul Guidelines on Ensemble Prediction Systems and Forecasting (2012) menjelaskan bahwa bahkan dengan jaringan pengamatan terbaik sekalipun, kita tidak akan pernah bisa membuat sebuah representasi cuaca yang sempurna, sehingga mustahil membuat prediksi cuaca yang sempurna.

Jelas kiranya bahwa hasil pemodelan cuaca "bukanlah sebuah kepastian" alias bukanlah sesuatu yang pasti terjadi. Hasil pemodelan cuaca memiliki eror yang bersumber dari keterbatasan sistem model dan keterbatasan representasi cuaca sebenarnya pada initial condition. Dalam bahasa sains dikatakan hasil pemodelan cuaca mengandung ketidakpastian (uncertainty).

Untuk mengukur seberapa besar ketidakpastian ini, sekarang ilmuwan menggunakan metode yang disebut ensemble prediction system, yaitu sebuah pendekatan prakiraan cuaca yang memanfaatkan berbagai hasil pemodelan. Metode ini bisa dilakukan dengan cara menggunakan satu model lalu menjalankan berbagai initial condition, atau dengan cara menggunakan multimodel.

Pendekatan Multimodel

BMKG saat ini menerapkan pendekatan multimodel, yaitu menggunakan berbagai pemodelan untuk memprakirakan cuaca dengan peluang yang tinggi. Model-model yang digunakan oleh BMKG di antaranya adalah WRF hasil running BMKG sendiri, Model ECMWF-Eropa, model ARPEGE-Prancis, Model ACCESS-Australia, dan model GFS-USA.

Jika berbagai model itu sepakat bahwa akan terjadi hujan lebat, maka dikatakan prakiraan hujan lebat itu memiliki tingkat robustness yang tinggi dan karenanya kita menjadi confident untuk mengatakan akan terjadi hujan lebat. Sebaliknya jika hujan lebat hanya muncul pada satu model, maka kita tidak cukup confident untuk membuat prediksi hujan lebat. Hasil dari satu model hanyalah menunjukkan satu peluang dari sekian kemungkinan cuaca yang akan terjadi.

Kita perlu melihat apakah hasil pemodelan itu konsisten dengan model yang lain. Perbedaan hasil antarmodel adalah suatu yang wajar karena masing-masing model menggunakan pengaturan sistem yang berbeda. Bahkan dengan sama-sama menggunakan model WRF dan inputan model global GFS, hasil yang dikeluarkan oleh SADEWA berbeda dengan hasil BMKG. Dalam hal ini, BMKG telah memanfaatkan hasil pengamatan cuaca nasional melalui jaringan pengamatan synoptic, pengamatan udara atas dan radar untuk diasimilasikan ke dalam input-an model WRF sehingga initial condition yang digunakan lebih bisa merepresentasikan cuaca yang terjadi di Indonesia.

Ebert (2020) dalam makalah yang diterbitkan di Journal of Hydrology menyebutkan bahwa kesalahan model dalam memprediksi hujan bisa dibedakan dalam beberapa jenis di antaranya kesalahan lokasi kejadian hujan, kesalahan dalam luasan cakupan hujan dan kesalahan dalam besaran atau intensitas hujan. Untuk hujan yang dibangkitkan oleh sistem cuaca yang besar, misalnya oleh sabuk ITCZ (Intertropical Convergence Zone) seperti yang saat ini terjadi di atas Pulau Jawa memanjang hingga NTT, maka semua model umumnya bisa memprediksinya. Hanya saja, tidak semua detail dari kejadian sesungguhnya dapat disimulasikan oleh model.

Sebagai contoh kasus hujan pada 28 Desember. Kejadian hujannya benar terjadi, namun tampaknya intensitasnya tidak sebesar apa yang diprakirakan oleh model (biasa disebut sebagai overestimate). Atau, bisa juga hujan ekstremnya benar terjadi, namun tidak di Jabodetabek sebagaimana yang diprakirakan.

Demikianlah, pemodelan cuaca adalah sebuah metode modern dalam dunia peramalan cuaca. Metode ini memiliki basis ilmiah yang kuat dan fondasi persamaan matematis yang mapan. Namun tetap saja, hasil pemodelan cuaca bukanlah sebuah kepastian, tapi dia mengandung ketidakpastian. Oleh karenanya, para pakar cuaca dan iklim haruslah berhati-hati menginterpretasikan hasil pemodelan. Jadi mengapa prediksi banjir besar 28 Desember meleset? Karena hasil pemodelan cuaca memiliki ketidakpastian.

Supari pakar iklim BMKG

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads