Catatan Akhir Tahun

Utusan Khusus Presiden dan Kerja Sama Pengentasan Kemiskinan

Mokhamad Farid Fauzi - detikNews
Jumat, 30 Des 2022 13:50 WIB
Pelantikan Mardiono sebagai Utusan Khusus Presiden (Foto: Kanavino-detikcom)
Jakarta -

Menjelang akhir tahun, tepatnya pada 23 November 2022, Presiden Jokowi melantik Mardiono sebagai Utusan Khusus Presiden (UKP) Bidang Kerjasama Pengentasan Kemiskinan dan Ketahanan Pangan. Mardiono sebelumnya adalah anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres). Momen pengangkatan Mardiono kurang begitu terekspose media, karena pada saat yang sama terdapat berbagai isu yang lebih menarik media seperti politik, kepolisian, tragedi Kanjuruhan hingga KTT G-20.

Mardiono sendiri adalah Plt Ketua Umum PPP, salah satu partai pendukung Presiden Jokowi. Terlepas dari latar belakang politik, pemilihan jabatan UKP Kerjasama Pengentasan Kemiskinan dan Ketahanan Pahan menarik, karena tentunya banyak sektor lain yang bisa dipilih Presiden. Misalnya sektor pembangunan infrastruktur karena Presiden Jokowi dikenal banyak membangun infrastruktur dan infrastruktur juga membutuhkan keterlibatan banyak pemangku kepentingan yang bersifat lintas sektor atau lintas kementerian.

Selain itu pengentasan kemiskinan juga menunjukkan perkembangan yang baik. Prosentase jumlah penduduk miskin terus menurun dari 11,25% tahun 2015 menjadi 9,90% di awal tahun 2022. Artinya sudah menjadi 1 digit. Secara regulasi, penanganan kemiskinan sudah tertuang dalam UUD 1945, dengan bunyi pasal yang legendaris yaitu "Fakir Miskin dan Anak Terlantar Dipelihara Oleh Negara". Saya sebut legendaris karena sudah ada sejak UUD 1945 yang asli dan dihafalkan oleh murid-murid sejak zaman saya sekolah puluhan tahun lalu.

Istilah kerja sama pengentasan kemiskinan yang dipilih dalam Keputusan Presiden ini juga menarik karena menurut saya faktor kerja sama inilah tantangan besarnya. Secara substansi dan regulasi penanganan kemiskinan memang harus melibatkan banyak pemangku kepentingan. Prinsip pengentasan kemiskinan harus terpadu/sinergi dan kerja sama antar pemangku kepentingan.

Terdapat contoh jelas dalam regulasi yang menyebutkan kerja sama dalam pengentasan kemiskinan baik secara prinsip (implisit) maupun eksplisit. Dalam Pasal 5 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin disebutkan Penanganan Fakir Miskin dilaksanakan secara terarah, terpadu dan berkelanjutan oleh pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat. Bahkan dalam Pasal 7 Ayat 2 (d) secara jelas menyebutkan penanganan fakir miskin dapat dilakukan melalui kemitraan dan kerja sama antar pemangku kepentingan.

UU No. 13 Tahun 2011 juga menyebutkan peran sektor lain, misalnya peran pemerintah desa; Pasal 21 menyebutkan penguatan kelembagaan masyarakat dan pemerintah desa. Hal setara juga disebutkan dalam UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa. Pasal 78 Ayat (1) Pembangunan Desa bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa dan kualitas hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan melalui pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan sarana dan prasarana desa, pengembangan potensi ekonomi lokal, serta pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan.

Regulasi di sektor lain juga menyebutkan pengentasan kemiskinan secara jelas. Contohnya dalam Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2021 Penyelenggaraan Kehutanan, Pasal 226 yang menyebutkan persetujuan pengelolaan Perhutanan Sosial dalam bentuk HTR sebagai upaya Pemerintah dalam Menyelesaikan Pengentasan Kemiskinan. Artinya kerja sama atau sinergi antar sektor dalam pengentasan kemiskinan menjadi suatu keniscayaan.

Regulasi Lain

Kembali ke "frasa" Kerjasama Pengentasan Kemiskinan. Secara prinsip maupun eksplisit kerja sama pengentasan kemiskinan juga disebutkan dalam regulasi lainnya. Kalimat pembuka Inpres No. 4 Tahun 2022 tentang Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem menyebut "Dalam rangka penghapusan kemiskinan ekstrem di seluruh wilayah Republik Indonesia pada tahun 2O24, melalui keterpaduan dan sinergi program, serta kerja sama antar kementerian/lembaga maupun pemerintah daerah, dengan ini menginstruksikan: dan seterusnya…."

Strategi pengentasan kemiskinan juga harus sinergi atau terpadu atau koordinatif, bahkan sejak dari data, sesuai dengan UU No. 13 Tahun 2011 Pasal 10, yang pada prinsipnya menjelaskan data bersifat terpadu. Hal tersebut juga didukung oleh Perpres No. 39 Tahun 2019 tentang Satu Data yang secara prinsip menjelaskan bahwa satu data untuk mewujudkan keterpaduan perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. Bahkan dalam Perpres Satu Data disebutkan prinsip inter-operabilitas yang artinya data dapat dibagipakaikan antar sistem elektronik yang saling berinteraksi.

Sekarang mari kita lihat bersama apakah kerja sama atau koordinasi atau terpadu dapat diimplementasikan dengan mudah dalam konteks pengentasan kemiskinan? Menurut saya masih sulit. Sebagai contoh dalam konteks data, apakah saat ini sudah terdapat sinergi data antarsektor dalam pengentasan kemiskinan?

Saat ini terdapat Basis Data Terpadu (BDT) yang dikelola oleh Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K). BDT dibentuk berbasis berbasis nama dan alamat (by name by address) dengan berbagai kriterianya. Di sektor desa terdapat data Indeks Desa Membangun (IDM) dan di sektor perhutanan sosial terdapat data tingkatan Kelompok Perhutanan Sosial atau Kelompok Usaha Perhutanan Sosial.

Untuk membuktikan apakah kerja sama pengentasan kemiskinan dilakukan dilakukan mudah dapat melalui sebuah pertanyaan kunci. Pertanyaan kuncinya, apakah seorang penduduk miskin terdapat di BTD dan tinggal di level Desa Mandiri (level IDM tertinggi) serta menjadi anggota KPS/KUPS level Platinum (level tertinggi) masih berhak mendapatkan bantuan? Masing-masing pengelola data akan menjawab "tidak tahu.

Tidak akan bisa dijawab secara langsung dan lugas karena tidak terdapat prinsip sinergi dan inter-operabilitas data sebagaimana disebutkan dalam Perpres Satu Data. Hal ini karena masing-masing produsen data terkait kemiskinan memiliki kriteria sendiri dan sistem pengelolaan sendiri.

Menurut saya di sinilah peran krusial Utusan Khusus Presiden (UKP) Bidang Kerjasama Pengentasan Kemiskinan dan Ketahanan Pangan karena terdapat kata "kerja sama" itu sendiri. UKP harus mampu membuat antar pemangku kepentingan bekerja sama. Hal ini dapat dimulai dari lembaga pemerintah, khususnya instansi-instansi pengelola data agar menjadi sinergi karena data yang sinergis dan valid menjadi langkah awal perumusan strategi dan evaluasi.

Termasuk, apakah keberadaan UKP Bidang Kerjasama Pengentasan Kemiskinan dan Ketahanan Pangan akan membuat kerja sama penanggulangan kemiskinan menjadi lebih baik? Misalnya apakan UKP akan mampu membuat kerja sama lebih erat antar sektor (misalnya) desa dengan kehutanan menjadi lebih erat. Di sisi lain bagaimana UKP akan bekerja sama dengan TNP2K yang diketuai oleh Wakil Presiden. Makin banyak pemangku kepentingan belum tentu membuat koordinasi menjadi lebih mudah.




(mmu/mmu)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork