Kebohongan dan Martabat Manusia
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Catatan Akhir Tahun

Kebohongan dan Martabat Manusia

Jumat, 30 Des 2022 11:18 WIB
Ade Sudaryat
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Kasus Ferdi Sambo yang penuh kebohongan dan menyita perhatian publik
Jakarta -

Sebenarnya sebelum kasus kebohongan Ferdi Sambo, telah terjadi beberapa kasus kebohongan yang dilakukan orang-orang terpandang yang perilakunya dapat dipercaya atau dilakukan orang-orang yang kejadiannya diviralkan. Karenanya, ketika mereka menyampaikan sebuah kejadian, beritanya dengan cepat dapat dipercaya.

Taruhlah kasus yang dilakukan salah seorang anak Akidi Tio, Heryanty dengan kasus prank donasi sumbangan Rp 2 triliun kepada pemerintah Provinsi Sumatra Selatan sekitar Agustus 2021. Pada awalnya semua orang percaya akan apa yang dilakukan putri seorang pengusaha yang sangat kaya ini. Tentu saja kebohongan ini sangat menggegerkan semua orang. Beberapa pejabat dipermalukan kelakuan sang putri anak pengusaha tersebut.

Dua bulan kemudian, November 2021, jagat maya dihebohkan kasus Yana Suryana (40 tahun), warga Desa Sukajaya, Sumedang yang diviralkan karena ia mengacu diculik sekelompok orang di jalan sekitar Cadas Pangeran. Istrinya yang menerima pesan tersebut segera melaporkan kejadian tersebut kepada pihak berwajib dan memviralkannya di media sosial. Pihak berwajib dan pihak-pihak terkait lainnya segera turun tangan. Hasilnya, ternyata pengakuan Yana Suryana tersebut bohong.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tiga tahun sebelum peristiwa kebohongan salah seorang putri Akidi Tio dan Yana Suryana, menjelang akhir tahun 2018, Ratna Sarumpaet, seorang aktivis sosial dan politik menggegerkan khalayak. Betapa tidak, ia mengaku disiksa seseorang di Bandung. Wajahnya dibantingkan ke aspal sampai terluka cukup parah.

Tak tanggung-tanggung, ia menceritakan kejadian tersebut kepada Prabowo, Fadli Zon, dan Amien Rais. Semua orang percaya atas cerita sang aktivis tersebut. Polisi segera turun tangan melakukan penyelidikan. Hasilnya diketahui, cerita kejadian yang menimpa sang aktivis sosial tersebut bohong. Bengkak-bengkak di wajah Ratna Sarumpaet bukan karena dibanting ke aspal, namun akibat operasi plastik.

ADVERTISEMENT

Dua tahun kemudian, sekitar Agustus 2020 terjadi lagi peristiwa kebohongan lainnya. Kini pelakunya seorang oknum TNI, Prada Muhammad Ilham. Ia terluka di beberapa bagian tubuhnya karena mengalami kecelakaan tunggal di dekat kantor Polsek Ciracas Jakarta Timur. Kepada teman-temannya ia bercerita, luka di beberapa bagian tubuhnya tersebut akibat dipukuli beberapa orang yang salah satunya anggota kepolisian.

Cerita sang prada tersebut mengundang simpati teman-temannya, terjadilah penyerangan dan perusakan kantor Polsek Ciracas. Pihak-pihak yang berwenang segera melakukan penyelidikan. Hasilnya diketahui, ternyata peristiwa yang dialami Prada Muhammad Ilham tersebut hanya hoaks belaka.

Dua tahun setelah kejadian Prada Muhammad Ilham, pertengahan 2022 ini kita dihebohkan dengan kebohongan yang dilakukan Irjen Ferdi Sambo. Seperti kebohongan-kebohongan sebelumnya, pada mulanya para petinggi elit kepolisian percaya atas laporan Ferdi Sambo yang menyebutkan telah terjadi tembak menembak antarpolisi di kediamannya. Namun akhirnya laporan Sang Jenderal tersebut terbongkar, semuanya hanya rekayasa.

Skenario yang dibuat Sang Jenderal tersebut, kini menjadi berita "best seller" yang selalu diburu orang. Persidangan sang penyusun skenario tersebut selalu dinanti orang. Lebih dari itu, hampir setiap persidangan selalu saja ada cerita dan fakta yang membuat hakim, jaksa, penasihat hukum, dan khalayak greget atas jawaban Ferdi Sambo, Putri Candrawati, dan para saksi lainnya.

Tulisan ini tidak akan membahas keseruan persidangan Fredi Sambo Cs., namun mengajak para pembaca untuk mengambil hikmah dari perilaku Ferdi Sambo yang telah mengorbankan banyak orang. Ia begitu kejam telah memerintahkan Bharada Erliezer membunuh Brigadir Yosua, namun lebih kejam lagi, ulahnya telah membunuh karakter orang-orang tak bersalah.

Sejumlah polisi telah diberi sanksi administrasi, etik, dan diberhentikan dengan tidak hormat, padahal mereka hanya melaksanakan tugas karena percaya atas laporan Ferdi Sambo sebagai polisi elit papan atas. Jika Brigadir Yosua sudah berakhir di tempatnya yang abadi, orang-orang korban Ferdi Sambo akan terus menanggung beban malu dan derita sepanjang mereka hidup. Karakter mereka telah dibunuh Ferdi Sambo dan Putri Candrawati.

Dari sinilah kita dapat mengambil pelajaran berharga, perilaku bohong merupakan perbuatan yang akan mencelakakan seseorang dan orang lain. Perilaku bohong mengantarkan seseorang hidup menderita.

Seseorang yang berperilaku bohong akan berupaya menutup kebohongannya agar tidak diketahui orang lain, tidak terkena sanksi hukum dengan melakukan kebohongan lainnya, bahkan berani mengorbankan orang lain yang tak berdosa. Selain itu, seseorang yang berbohong dia akan melupakan harga dirinya. Ketika berbohong seolah-olah ia sedang membela kedudukan dan martabatnya, padahal hakikatnya sedang membuka jalan lebar menuju jurang kehancuran.

Benarlah yang dikatakan seorang filsuf asal Spanyol, Baltasar Gracian (1601-1658) yang menyebutkan, "Satu kebohongan menghancurkan seluruh reputasi dan integritas." Kata-kata filsuf ini kini telah dialami Ferdi Sambo. Reputasi dan integritas yang ia bangun di dunia kepolisian yang pernah menjadi kebanggaan diri dan keluarganya, bahkan kebanggaan orang lain, kini hancur tak berbekas. Satu hal yang tersisa hanyalah penyesalan yang entah sampai kapan akan menyelimuti kehidupannya.

Dari kasus ini pun kita mendapatkan pelajaran, sehebat apapun seseorang menutupi kebohongannya, pada akhirnya terbongkar pula. Ferdi Sambo dengan kekuasaan dan jabatannya telah berupaya berbohong, bahkan melibatkan banyak orang, namun akhirnya terbuka pula kebohongannya.

Ironisnya, meskipun kebohongannya sudah terbuka di depan publik dan penyidik, di depan persidangan, Ferdi Sambo dan beberapa orang yang menjadi saksi masih berkelit. Ia dan kawan-kawannya sering ditegur hakim dan jaksa. Beberapa keterangannya sering dianggap tidak runut dan tidak masuk akal. Ia dan beberapa saksi lainnya masih berusaha berkelit, berlari cepat dengan kebohongannya.

Seandainya Michel Jackson (1958-2009), penyanyi legendaris asal Negeri Paman Sam, masih hidup dan bertemu Ferdi Sambo Cs, pasti ia akan mengingatkan untuk tidak berbohong dan harus secara terus terang mengakui perbuatannya. Dalam suatu kesempatan, sang penyanyi legendaris tersebut pernah berujar, "Kebohongan sanggup berlari cepat, sedangkan kebenaran hanya bisa berlari maraton. Namun di pengadilan, kebenaran itu akan memenangkan maraton."

Kebohongan juga mampu membunuh jiwa kesatria, sikap jantan, pemberani yang dimiliki seorang pria pada umumnya. Jiwa kesatria Ferdi Sambo sebagai seorang Jenderal dengan jabatan elit di institusinya telah hancur luluh oleh kebohongan yang diperbuatnya. Dirinya yang dulu disegani, dihormati karena wibawa dan jabatannya, kini tak berarti apa-apa lagi.

Seragam kepolisian dengan beragam tanda pangkat yang menempel, kini tergantikan dengan baju oranye bertuliskan "tahanan" benar-benar telah menghancurkan martabatnya sebagai seorang kesatria. Dahulu dirinya bertugas memborgol orang lain, kini ia sendiri yang diborgol.

Dari sini mari kita renungkan kata-kata Immanuel Kant (1724-1804) seorang filsuf asal Jerman yang mengatakan, "Dengan sebuah kebohongan, seorang laki-laki sedang menghancurkan martabatnya sebagai laki-laki atau kesatria."

Sudah berbulan-bulan lamanya, Ferdi Sambo Cs sedang berusaha berperilaku seperti yang ditulis Michael P. Lynch (2004) dalam karyanya True to Life: Why Truth Matters. Sang penulis ini menyebutkan, banyak ragam alasan yang melatari seseorang berani berbuat bohong seperti demi menjaga keamanan diri; menarik simpati orang lain; agar dianggap dirinya lebih baik daripada orang lain; mengalihkan perhatian terhadap suatu masalah; untuk merahasiakan kelakuan buruk atau keadaan yang sebenarnya.

Sampai hari ini, tak ada seorang pun yang menyebutkan, perilaku bohong merupakan perbuatan terpuji. Sebaliknya semua orang menilai perilaku bohong sebagai perbuatan keji.

Kita harus berupaya keras menghindari perilaku bohong, dan menumbuhkan sikap jujur. Aristoteles pernah memberikan wejangan agar kita senantiasa bersikap jujur, mencintai dan bangga karena memiliki kebajikan. Kebanggaan terhadap sikap kejujuran dan kebajikan akan mengantarkan seseorang kepada megalopsuchia, yakni kehidupan mulia dan bermartabat.

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads