Istilah green economy diperkenalkan oleh badan yang menaungi urusan lingkungan di bawah organisasi PBB yakni United Nations Environment Programme (UNEP) pada tahun 1992. Konsep Green economy dihadirkan sebagai jawaban atas sistem ekonomi dunia yang dominan hanya menitikberatkan fokus pada kesejahteraan manusia, ekonomi unggul, dan berbagai upaya untuk membangun peradaban melalui kegiatan ekonomi namun tidak disertai dengan upaya memperhatikan keselamatan lingkungan (environment).
Banyak dari kegiatan ekonomi yang telah berlangsung dengan mengesampingkan aspek-aspek kebumian sehingga sebagai konsekuensinya, bumi yang manusia tempati saat ini memiliki beragam ancaman yang mengkhawatirkan dan patut untuk diselesaikan bersama-sama. Atas dasar permasalahan tersebut, muncul sebuah pembaruan yang diinisiasi oleh UNEP yakni sinergitas antara aspek ekonomi dengan aspek lingkungan, yaitu melalui sebuah konsep yang dinamai green economy.
Di Indonesia, green economy atau ekonomi hijau mulai diterapkan pada tahun 2021 sebagai langkah percepatan pemulihan ekonomi Indonesia pasca adanya pandemi COVID-19. Penerapan ekonomi hijau ini telah terealisasikan dalam Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional. Peraturan tersebut hadir sebagai upaya untuk menciptakan kemudahan dalam kegiatan perekonomian tanpa mengesampingkan standar kesehatan dan keselamatan lingkungan (Menko Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, 2022)
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sejalan dengan peraturan tersebut, berbagai sektor perekonomian mencanangkan pembaruan terhadap kegiatan perekonomian yang dijalankan demi mendukung gerakan ekonomi hijau. Kendati demikian, banyak dari kita yang beranggapan bahwa ekonomi hijau hanya bergantung pada sektor industri, karena sektor tersebut-lah yang bersinggungan langsung dengan lingkungan.
Akan tetapi, Tak hanya bagi sektor industri, sektor non-industri pun memiliki tanggung jawab yang sama dalam rangka menjaga dan melestarikan lingkungan melalui konsep ekonomi ini. Sektor non-industri yang turut berpartisipasi dalam mendukung green economy salah satunya yakni sektor perbankan. Bagaimana perbankan dapat berkontribusi dalam gerakan ekonomi hijau? Bank Syariah Indonesia memberikan jawaban melalui langkah-langkah yang akan diuraikan di bawah.
Sama halnya dengan lembaga keuangan lainnya, Bank Syariah Indonesia (BSI) telah berkomitmen untuk mengelola berbagai layanan nasabah secara digital, mulai dari mobile banking, layanan via situs web, hingga pelayanan informasi & komunikasi jarak jauh melalui kontak telepon, WhatsApp, hingga Instagram. Layanan tersebut merupakan wujud BSI dalam rangka mendukung ekonomi hijau melalui gerakan paperless. Tak hanya sekadar mengurangi penggunaan kertas, digitalisasi layanan juga mengurangi emisi karbon monoksida yang dikeluarkan oleh kendaraan ketika ingin mengakses layanan BSI dengan mendatangi kantor bank secara langsung.
Akan tetapi, dukungan BSI terhadap green economy tidak berhenti sampai di sini. Sebagai lembaga keuangan syariah di negara dengan total penduduk muslim mencapai lebih dari 80%, BSI memiliki pangsa pasar yang luas dan berpeluang besar menjadi bank tujuan masyarakat Indonesia dalam hal pengajuan kredit, terutama kredit usaha. Ini merupakan kesempatan besar bagi BSI untuk dapat berkontribusi dalam gerakan ekonomi hijau melalui upayanya memperhatikan rencana dan arah gerak nasabah sebelum memberikan kredit untuk usaha.
Dalam hal ini, yang perlu menjadi perhatian adalah soal apakah bakal usaha nasabah selaras dengan tujuan untuk mendukung gerakan kelestarian lingkungan atau justru sebaliknya. Jika BSI dapat memberlakukan peraturan demikian untuk nasabah, BSI secara tidak langsung telah membantu pemerintah Indonesia untuk menyeleksi perencanaan-perencanaan usaha oleh masyarakat sehingga tercipta suatu seleksi yang ketat berkaitan dengan persetujuan rencana usaha tersebut.
Sebagai konsekuensinya, perencanaan usaha yang tidak memenuhi kriteria green economy tidak mendapatkan kesempatan yang lebih besar dibandingkan dengan perencanaan usaha yang berdasar pada konsep green economy. Tindak lanjut dari adanya peraturan yang demikian adalah memberikan privilege dan dukungan yang maksimal bagi masyarakat yang ingin membuka usaha dengan jalan memperhatikan ekosistem lingkungan.
Contoh usaha rakyat atau UMKM yang sejalan dengan konsep green economy misalnya usaha yang bergerak di bidang daur ulang, pemanfaatan kembali barang barang bekas (lelang, thrifting clothes, produk second), serta usaha lain yang mendukung gerakan ekonomi hijau. BSI dapat memberikan dukungan baik secara materiil maupun non-materiil seperti dalam hal pembinaan dan controlling usaha. Dalam perkembangannya, BSI dapat menginisiasi program-program pemberdayaan untuk berbagai kegiatan berwawasan lingkungan. Langkah ini dapat ditempuh dengan jalan bekerja sama dengan sekolah, universitas, serta komunitas/lembaga pemerhati lingkungan. BSI berperan sebagai sumber pendanaan untuk kegiatan-kegiatan yang berorientasi pada kelestarian ekosistem.
Terakhir sekaligus paling penting, namun kerap kali luput dari perhatian kita semua, adalah penghematan energi untuk kegiatan operasional kantor bank, seperti misalnya listrik, AC, air, dan bahan bakar. Perkara tersebut merupakan hal sepele, akan tetapi jika ada konsistensi untuk melakukan ikhtiar penghematan energi, BSI menjadi bagian kecil dari langkah untuk menjaga sumber energi agar tetap tersedia.
Arizqa Novi Ramadhani, Pers Mahasiswa Mercusuar Universitas Airlangga
(akd/ega)