Tragedi Kucing Tarung
Catatan:
Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com

Jakarta - Kita sedang nanggap kucing kera. Mempagelarkan kucing tarung. Ini pameo Jawa, sebagai sinyal bakal terjadinya cekcok dalam rumah tangga. Sanepan (idiom) itu cocok, melihat kondisi aktual yang terjadi hari-hari ini.Carok massal yang sudah terpendam waktu tiba-tiba muncul di Pamekasan, Madura. Sedang tradisi pengayauan (kanibalisme) di Papua tampil dalam bentuk perang suku. Adakah bakal menjamur 'perang suku' di berbagai daerah yang lain?Dalam kebudayaan Jawa, kucing menempati posisi sebagai binatang sakral. Kesakralannya terbukti dalam kehidupan sehari-hari. Pengemudi apa saja yang melihat kucing menyeberang jalan, tanpa berhitung dengan risiko yang lebih besar langsung menginjak rem atau banting stir. Gara-gara menghindari kucing, korban jiwa manusia acap berjatuhan.Itu perlakuan terhadap kucing yang 'hanya' menyeberang jalan. Bagaimana kalau kucing itu sampai berkelahi? Tak perduli motif perkelahiannya itu untuk merebut wilayah kekuasaan atau sekadar menyalurkan hasrat birahi pada pasangannya?Dalam kepercayaan ini, perkelahian kucing diyakini sebagai tanda datangnya situasi yang chaostis. Lingkungan diprediksi bakal tidak tenteram. Antar-keluarga berkelahi, atau mungkin ada pihak luar yang menjadikan arena kucing ribut sebagai tempat untuk menggelar keributan.Jadi jangan kaget, selarut malam macam apa saja, kalau sedang ada kucing berkelahi, maka penghuni rumah yang mendengar akan terbangun. Beberapa keluarga ramai-ramai mengusir kucing itu dengan menyiramkan air ke tubuhnya. Dan tidak bakalan kembali ke peraduan sebelum kucing-kucing itu kabur atau menghentikan perkelahiannya.Nah di Indonesia sekarang, 'pagelaran kucing tarung' itu sedang marak. Malah di Papua masih bergolak. Kali ini bukan untuk merdeka, tetapi sedang meretas 'tradisi purba'. Perang suku yang berlarut-larut telah mengakibatkan beberapa orang terbunuh, dan ratusan menderita luka-luka. Peristiwa berdarah yang masih berlangsung itu mungkin bakal menambah korban lagi.Perang antara Suku Dani dan Suku Damal sangat disesalkan. Perang itu diidentifikasi sebagai 'kesaksian' untuk mempertahankan harga diri suku. Padahal tradisi pengayauan (kanibalisme) yang semula sebagai sarana untuk memperluas kekuasaan serta sebagai syarat ritus itu sudah lama ditinggalkan.Di Pamekasan, Madura, kriminalitas yang dilakukan ramai-ramai itu juga menyembul. Pengikut Kepala Desa (Kades) melakukan sabung nyawa (carok) melawan pengikut mantan Kades. Hasilnya, tujuh orang terkapar meradang nyawa. Mareka meninggal dunia dengan meninggalkan segudang masalah. Sebab diprediksi bakal muncul aksi balas dendam dengan menggelar kembali carok massal.Carok merupakan tradisi sabung nyawa khas Madura. Tradisi ini belum diketahui kapan bermula, dan dilakukan orang per orang untuk duel berkalang tanah. Motifnya soal wanita, warisan, atau hal lain yang dianggap sebagai bagian dari harga diri yang harus dipertahankan.Dalam duel macam ini, yang kalah bakal mati, sedang yang menang dengan ksatria akan menyerahkan diri beserta clurit (senjata tajam berbentuk melengkung) ke aparat penegak hukum. Malah tak jarang, saat menyerahkan diri itu pelaku juga membawa kepala korban yang dipancung.Dengan paparan di atas, maka tampak, bahwa keributan di dua daerah itu memang sudah menjadi bagian dari tradisi masa silam. Mereka melakukan itu demi harga diri perorangan atau suku, namun kemudian menghilang ketika nalar memberinya kesadaran bahwa tradisi itu merupakan bentuk kebudayaan yang tidak beradab. Tapi yang menjadi pertanyaan, kenapa tradisi barbar yang sudah lama tenggelam itu kembali muncul ke permukaan?Memang banyak alasan yang bisa dituding sebagai faktor penyebabnya. Tetapi jika dikaji, faktor terpenting dari peristiwa itu adalah penghidupan yang tak sejalan dengan dinamika informasi yang diterimanya. Akselerasi kemajuan tak memberinya ruang gerak yang sepadan. Dengan begitu, sensitivitas yang sebelumnya sedikit terkikis karena lingkungan yang kondusif dan perbaikan tingkat pendidikan kembali tampil sebagai ekspresi ketidakberdayaan. Tidak berdaya dalam memposisikan diri secara sosial dan ekonomi.Untuk itu, jika kucing berkelahi harus diredam dengan mengguyurkan air ke tubuh binatang yang disakralkan itu, maka untuk pembentukan sebuah 'peradaban' terasa sangat penting untuk memberi siraman berupa keteduhan. Teduh dalam memayungi kehidupan mereka dengan aturan yang tidak pilih kasih, teduh dalam memberi lahan untuk bekerja dan berusaha, serta teduh dalam memberi arahan agar berkesadaran sebagai bangsa yang bhinneka tunggal ika.Tanpa itu, maka ke depan kita bukan hanya mempagelarkan kucing tarung, tetapi menggelar tontonan yang lebih tragis dan dramatis lagi, yaitu nanggap macan tarung. Sebab, asumsi sementara, bangsa kita terdiri dari sekitar 500 suku bangsa. Jika ini tak dikelola secara baik, maka bukan tak mungkin tragedi yang lebih parah itu bakal menjadi bagian dari keprihatinan kita bersama.Keterangan Penulis:Djoko Su'ud Sukahar, pemerhati budaya, tinggal di Jakarta. Alamat e-mail jok5000@yahoo.com.
(/)